26 C
Medan
Friday, November 22, 2024
spot_img

Makin Lama Disimpan, ‘Kotoran’ Itu Makin Mantap

Ketika luwak ‘dimanjakan’ dengan pepaya, pisang, nangka, aren, hingga daging ayam, kapan luwak makan kopi? Bukankah 130 luwak alias musang yang dibiarkan di lahan milik PT Mujur Sari itu ‘bertugas’ memilihkan kopi terbaik?

Luwak sedang memakan kopi
Luwak sedang memakan kopi

M Sahbainy Nasution, Sidikalang

Sang pengawas, Samri (61), luwak tak bisa setiap hari mengonsumsi kopi. Bahkan, hewan ini secara insting alaminya tak bisa memakan kopi setiap hari karena ada persilangan makanan. Biasanya, luwak makan kopi tiga atau empat kali dalam sepekan.

“Jika tak ada kopi yang tumbuh di kebun ini, kita beli di tempat lain yang berjenis kopi arabika dan robusta,” ujarnya.

Tapi, jangan heran luwak akan memproduksi setiap hari sampah kopi yang dimakannya. Kata Samri hewan ini secara alamiah memfermentasi kopi itu dalam tubuhnya untuk dikeluarkan kembali.”Kalau kita berikan secara manual kopi kepada hewan ini sekitar 30 kg, itu bisa menghasilkan kopi luwak sebanyak 40 persen (sekitar 12 kg) dari pemberian itu,” katanya.

Samri pun menunjukkan kotaran itu. Ternyata, biji kopi yang dikeluarkan oleh hewan ini tak banyak yang hancur. Bahkan, hewan ini hanya memakan kulit ari kopi itu saja. Secara otomatis biji kopi itu masih utuh. “Memang hewan ini makan kulitnya saja, jadi dia meninggalkan biji kopi itu,” katanya.

Setelah kotaran itu dikumpuli barulah dilakukan pengeringan baik dari panas matahari maupun melalui mesin. Biasanya pengeringan itu dilakukan dua atau tiga hari. Setelah itu, dilakukan pemisahan kopi yang masih utuh. “Ya, setelah itu kita kemas ke dalam karung untuk diletakkan di gudang. Kopi yang baik itu disimpan harus berbulan-bulan. Bila perlu sampai setengah tahun setelah itu barulah digiling karena aromanya sangat bagus,” ujarnya.

Sumut Pos akhirnya diberi kesempatan untuk merasakan kopi yang cukup mahal itu. Memang benar, aroma yang khas dan menyengat itu sudah menusuk ke hidung ini. “Bagaimana rasanya, pasti bedakan  dengan kopi biasa?” tanya Samri.

Ternyata, kopi yang diperkirakan secangkir Rp500 ribu itu memiliki ciri khas yang berbeda. Aroma yang menyengat dan rasa pahit yang khas terasa di lidah. Bahkan, saat kopi ini sampai ke tenggorok rasanya pun masih melekat. Pantas kopi ini menjadi fenomenal. “Ya, kopi ini tak banyak orang lokal yang beli, karena harganya cukup mahal,” katanya.

Saat ditanya pemasaran sudah sampai dimana saja, Samri tak banyak mengetahui. Dia pun menyarakan Sumut Pos langsung bertanya pada sang pemilik melalui saluran telepon. Saat dihubungi, Pemilik PT Mujur Sari, Karimin (68) mengatakan untuk pemasaran kopi Luwak ini kebanyakan diekspor. Pasalnya, kecendrungan masyarakat lokal jarang mengonsumsi kopi ini. “Mungkin saja ini mahal karena 1 kg saja untuk Sidikalang Rp1 juta. Sementara untuk di Medan, Rp 1,5 juta per kilonya,”ujarnya.

Negara yang dituju untuk pemasaran yakni Singapura,Malaysia, Thailand, Tiongkok, Hongkong, Korea, Taiwan, Prancis, dan Italia. “Taiwan  dan Tiongkok itu satu bulan bisa sampai satu ton,” ujarnya.

Taiwan dan Tiongkok menganggap kopi luwak memiliki kelebihan sebagai obat untuk kencing manis, diabetes, ginjal, dan lainnya. “Bahkan Taiwan dan negara yang kita ekspor itu sampai datang ke tempat ini untuk melakukan penelitian karena dianggap kopi ini lebih baik, bahkan bisa dikatakan kopi terbaik di dunia,” katanya.

Menurutnya, mutu kopi luwak adalah alasan bagi penikmat kopi luar negeri menjadi pelanggan. “Mereka menganggap kopi luwak Sidikalang lebih baik dari segi aroma dan rasa dibandingkan pada daerah Jawa maupun di Bali,” katanya.

Tak pelak, keadaan ini membuat bisnis kopi luwak cukup menjanjikan. Untuk omset yang didapat bisa mencapai Rp500 sampai Rp800 juta per bulan. Namun, bisnis ini bisa bertambah jika sertifikat Majelis Ulama Indonesia (MUI) sudah melekat di produknya. “Sampai sekarang kita belum mendapatkan label itu, pasalnya sampai sekarang masih perdebatan halal atau haram.Padahal, untuk Pemkab Dairi sudah menyetujui pemasaran kopi luwak ini,”aku Karimin.

Dari seberang telepon, Karimin pun menegaskan, jika sertifikat halal keluar maka pasar akan makin meluas. Pasalnya, pemasaran kopi bisa menerobos ke negara-negara Arab. Bukan rahasia lagi kalau warga Arab juga penikmat kopi. “Ya,kita harap juga ada kepastian dari MUI untuk sertifikat halal itu. Selama belum ada, target pemasaran kita ke Amerika dan Australia,” pungkasnya. (rbb)

Ketika luwak ‘dimanjakan’ dengan pepaya, pisang, nangka, aren, hingga daging ayam, kapan luwak makan kopi? Bukankah 130 luwak alias musang yang dibiarkan di lahan milik PT Mujur Sari itu ‘bertugas’ memilihkan kopi terbaik?

Luwak sedang memakan kopi
Luwak sedang memakan kopi

M Sahbainy Nasution, Sidikalang

Sang pengawas, Samri (61), luwak tak bisa setiap hari mengonsumsi kopi. Bahkan, hewan ini secara insting alaminya tak bisa memakan kopi setiap hari karena ada persilangan makanan. Biasanya, luwak makan kopi tiga atau empat kali dalam sepekan.

“Jika tak ada kopi yang tumbuh di kebun ini, kita beli di tempat lain yang berjenis kopi arabika dan robusta,” ujarnya.

Tapi, jangan heran luwak akan memproduksi setiap hari sampah kopi yang dimakannya. Kata Samri hewan ini secara alamiah memfermentasi kopi itu dalam tubuhnya untuk dikeluarkan kembali.”Kalau kita berikan secara manual kopi kepada hewan ini sekitar 30 kg, itu bisa menghasilkan kopi luwak sebanyak 40 persen (sekitar 12 kg) dari pemberian itu,” katanya.

Samri pun menunjukkan kotaran itu. Ternyata, biji kopi yang dikeluarkan oleh hewan ini tak banyak yang hancur. Bahkan, hewan ini hanya memakan kulit ari kopi itu saja. Secara otomatis biji kopi itu masih utuh. “Memang hewan ini makan kulitnya saja, jadi dia meninggalkan biji kopi itu,” katanya.

Setelah kotaran itu dikumpuli barulah dilakukan pengeringan baik dari panas matahari maupun melalui mesin. Biasanya pengeringan itu dilakukan dua atau tiga hari. Setelah itu, dilakukan pemisahan kopi yang masih utuh. “Ya, setelah itu kita kemas ke dalam karung untuk diletakkan di gudang. Kopi yang baik itu disimpan harus berbulan-bulan. Bila perlu sampai setengah tahun setelah itu barulah digiling karena aromanya sangat bagus,” ujarnya.

Sumut Pos akhirnya diberi kesempatan untuk merasakan kopi yang cukup mahal itu. Memang benar, aroma yang khas dan menyengat itu sudah menusuk ke hidung ini. “Bagaimana rasanya, pasti bedakan  dengan kopi biasa?” tanya Samri.

Ternyata, kopi yang diperkirakan secangkir Rp500 ribu itu memiliki ciri khas yang berbeda. Aroma yang menyengat dan rasa pahit yang khas terasa di lidah. Bahkan, saat kopi ini sampai ke tenggorok rasanya pun masih melekat. Pantas kopi ini menjadi fenomenal. “Ya, kopi ini tak banyak orang lokal yang beli, karena harganya cukup mahal,” katanya.

Saat ditanya pemasaran sudah sampai dimana saja, Samri tak banyak mengetahui. Dia pun menyarakan Sumut Pos langsung bertanya pada sang pemilik melalui saluran telepon. Saat dihubungi, Pemilik PT Mujur Sari, Karimin (68) mengatakan untuk pemasaran kopi Luwak ini kebanyakan diekspor. Pasalnya, kecendrungan masyarakat lokal jarang mengonsumsi kopi ini. “Mungkin saja ini mahal karena 1 kg saja untuk Sidikalang Rp1 juta. Sementara untuk di Medan, Rp 1,5 juta per kilonya,”ujarnya.

Negara yang dituju untuk pemasaran yakni Singapura,Malaysia, Thailand, Tiongkok, Hongkong, Korea, Taiwan, Prancis, dan Italia. “Taiwan  dan Tiongkok itu satu bulan bisa sampai satu ton,” ujarnya.

Taiwan dan Tiongkok menganggap kopi luwak memiliki kelebihan sebagai obat untuk kencing manis, diabetes, ginjal, dan lainnya. “Bahkan Taiwan dan negara yang kita ekspor itu sampai datang ke tempat ini untuk melakukan penelitian karena dianggap kopi ini lebih baik, bahkan bisa dikatakan kopi terbaik di dunia,” katanya.

Menurutnya, mutu kopi luwak adalah alasan bagi penikmat kopi luar negeri menjadi pelanggan. “Mereka menganggap kopi luwak Sidikalang lebih baik dari segi aroma dan rasa dibandingkan pada daerah Jawa maupun di Bali,” katanya.

Tak pelak, keadaan ini membuat bisnis kopi luwak cukup menjanjikan. Untuk omset yang didapat bisa mencapai Rp500 sampai Rp800 juta per bulan. Namun, bisnis ini bisa bertambah jika sertifikat Majelis Ulama Indonesia (MUI) sudah melekat di produknya. “Sampai sekarang kita belum mendapatkan label itu, pasalnya sampai sekarang masih perdebatan halal atau haram.Padahal, untuk Pemkab Dairi sudah menyetujui pemasaran kopi luwak ini,”aku Karimin.

Dari seberang telepon, Karimin pun menegaskan, jika sertifikat halal keluar maka pasar akan makin meluas. Pasalnya, pemasaran kopi bisa menerobos ke negara-negara Arab. Bukan rahasia lagi kalau warga Arab juga penikmat kopi. “Ya,kita harap juga ada kepastian dari MUI untuk sertifikat halal itu. Selama belum ada, target pemasaran kita ke Amerika dan Australia,” pungkasnya. (rbb)

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/