MEDAN- Setelah sempat menyebut angka 45 orang, polisi akhirnya mengurangi jumlah tersangka dalam kerusuhan unjuk rasa mahasiswa di depan kampus Universitas HKBP Nommensen, Senin (17/6) malam, menjadi 44 orang. Sementara 19 nama lain masuk Daftar Pencarian Orang. Adapun kerusuhan diketahui melibatkan aktor intelektual yang sosoknya dikenal sebagai orang berpengaruh.
“Berdasarkan hasil penyelidikan intelijen kita dan keterangan sejumlah tersangka, ditemukan keterlibatan aktor intelektual dalam kasus itu (kerusuhan, Red). Barang bukti sementara juga mengarah ke aktor intelektual dimaksud. Aktor intelektual itu orang berpengaruh dan ada indikasi ia menyalurkan dana ke pendemo. Namun kita tidak bisa memaparkan lebih jauh. Kita khawatir kalau kita gembar-gemborkan, dia akan melarikan diri dan menghilangkan barang bukti,” ungkap Wakapolresta Medan, AKBP Yusuf Hondrawanti Naibaho, dalam konferensi pers di Polresta Medan, Rabu (19/6). Ia didampingi Kasat Reskrim Polresta Medan, Kompol Yoris Marzuki.
AKBP Hondrawanti menyebutkan, selain menetapkan 44 tersangka terdiri dari mahasiswa dan masyarakat, pihaknya juga memasukkan 19 nama dalam Daftar Pencarian Orang (DPO). Untuk itu, ia meminta para DPO segera menyerahkan diri sebelum dilakukan penjemputan paksa.
“Kita sudah mengantongi identitas dan gambar wajah para DPO itu. Kita sangat mengapresiasi bila mereka menyerahkan diri. Kalau untuk keringanan hukuman, masih akan kita pertimbangkan sesuai kesalahan yang dilakukannya,” katanya, tapi tidak bersedia merinci nama-nama DPO dimaksud.
Terpisah, Kapolresta Medan, AKBP Nico Afinta yang dikonfirmasi via telepon menyebutkan, dari 44 tersangka kerusuhan di kampus UHN, 39 orang di antaranya sudah ditahan di ruang tahanan (Tahti) Polresta Medan. Sedangkan 5 tersangka lagi masih menjalani perawatan di Rumah Sakit Bhayangkara. “Sementara 41 orang dari 85 yang diamankan malam itu, sudah dipulangkan ke keluarga masing-masing,” jelasnya.
Pasal yang dikenakan terhadap para tersangka yakni pasal 211 subs 212 subs 214 subs 170 subs 406 dan 362/363 KUHPidana, dengan ancaman hukuman penjara di atas 5 tahun. “”Pemeriksaan masih terus berlangsung, dan dimungkinkan terjadi penambahan tersangka,” ungkapnya.
Pantauan Sumut Pos di Mapolresta Medan, Rabu (19/6), tamu yang ingin mengunjungi para tersangka terus berdatangan. Sejumlah keluarga tersangka yang masih dirawat di RS Bhayangkara, juga tampak datang. Mereka memegang kertas berwarna merah muda dan kuning yang disebut-sebut surat penangkapan dan penahanan.
“Anakku tidak salah dan dia hanya korban, kenapa pula jadi tersangka? Rencananya kami mau minta penangguhan saja dan membuat surat pernyataan penjaminan,” ungkap seorang ibu, sembari melangkah cepat meninggalkan Mapolresta Medan.
UHN Tunggu Pengadilan
Terkait penetapan status tersangka terhadap sejumlah mahasiswa UHN dalam kerusuhan yang merusak gedung KFC dan Hotel Grand Angkasa, Senin malam lalu, Rektor UHN, Ir Jonkers Tampubolon, mengatakan pihak universitas belum menentukan sikap terhadap para tersangka.
Menurutnya, status tersangka belum menentukan seseorang itu bersalah atau tidak. “Bukan polisi yang menentukan seseorang itu bersalah atau tidak, melainkan keputusan pengadilan. Bisa saja dari sekian mahasiswa UHN yang menjadi tersangka, hanya 2 atau 3 orang yang benar-benar dinyatakan bersalah. Jadi, UHN belum bisa memberikan sanksi kepada mahasiswa yang belum dinyatakan bersalah,” katanya kepada Sumut Pos via telephon seluler, Rabu (19/6).
Namun, lanjutnya, apabila terbukti bersalah, maka mahasiswa tersebut akan diberikan sanki sesuai ketentuan yang berlaku, mulai dari sanksi teguran, skorsing, hingga pemecatan. “Sekarang kita tidak bisa berandai-andai. Tunggu saja sampai putusan dari pengadilan keluar,” pungkasnya.
Terkait ancaman pemecatan yang Selasa dua hari lalu sempat dilontarkan Rektor UHN terhadap para mahasiswanya yang terlibat, Kordinator Perguruan Tinggi Swasta (Kopertis) Wilayah I Sumut-Aceh, Prof Dr. Dian Armanto, menyarankan hukuman skorsing saja.
“Mahasiswa juga harus dibimbing. Kalau dia salah, diingatkan. Hukuman skorsing mungkin lebih mendidik dibanding pemecatan,” kata Dian Armanto kepada Sumut Pos.
Misalnya, kata dia, mahasiswa yang melakukan demo anarkis diskorsing selama setahun, orangtuanya dipanggil, dan diwajibkan membuat pernyataan agar tidak mengulangi lagi. “Surat pernyataan di-skorsing, dan tidak melakukan perbuatan yang sama disebarkan kepada masyarakat agar memberikan efek jera kepada mahasiswa tersebut. Aturan itu lebih mendidik dan tidak ada salahnya dicoba,” tambahnya.
Namun, apabila UHN telah menetapkan aturan pemecatan kepada mahasiswa yang melakukan aksi anarkis, juga tidak bisa disalahkan.
Dian mengaku telah menerima tembusan surat dari masyarakat yang isinya memindahkan UHN dari tempatnya saat ini. “Saya hanya terima tembusan. Surat ini langsung ditujukan kepada Menteri,” akunya.
Untuk menindaklanjuti usulan dari masyarakat tersebut, pihaknya akan berkoordinasi secepatnya dengan Rektor UHN untuk membicarakannya lebih jauh. “Paling lama minggu depan saya akan bertemu Rektor UHN,” bilangnya.
Terpisah, pengamat pendidikan, Mutsyuhito Solin, manyebutkan pendidikan dan hukum adalah dua hal berbeda. Sesuatu hal yang bersifat hukum maka ketika itu pendidikan sudah tidak berlaku lagi.
Melihat aksi anarkis yang dilakukan oleh mahasiswa UHN, menurutnya, hokum harus ditegakkan. “Tindakan itu sudah murni criminal. Jadi harus ditindak tegas,” katanya.
Kebijakan mengeluarkan mahasiswa yang melakukan aksi anarkis sudah tepat adanya, di mana akan memberikan efek jera kepada orang lain dan pelaku itu sendiri.
“Mahasiswa yang melakukan aksi kerusuhan seperti itu merupakan mahasiswa yang kemampuan akademisnya kurang baik. Kalau mereka pintar, tidak akan melakukan tindakan seperti itu. Dalam hal ini kampus harus aktif memberikan pembinaan,” bilangnya.
Keluarga Melapor ke Propam
Masih terkait kerusuhan oleh mahasiswa yang berujung anarkis, seorang penarik becak motor (betor) bernama Josep Ginting (21), menjadi korban salah tangkap polisi anti hura-hara Polresta Medan, yang saat itu mengamankan pendemo yang anarkis di sekitar lokasi aksi. Ia luka-luka dipukul polisi.
Atas kejadian yang dialami warga Jalan Malengko Medan ini, keluarganya mendatangi Bidang Profesi dan Pengamanan (Bid Propam) Polda Sumut, meminta keadilan. “Anak saya bukan pendemo. Dia cuma tukang becak. Dari mana pula pendemo,” ungkap Arita Murni Boru Purba (45), ibunda Josep Ginting, saat menyambangi Propam Poldasu, Rabu (19/6) sore.
Menurut Arita, Josep mengalami luka-luka akibat dipukuli polisi. Giginya rontok. Kini Josep dirawat di ruangan Mawar RSU dr Pirngadi Medan.
“Anak saya dirawat di rumah sakit sekarang. Mana saya orang miskin, tidak punya uang. Anak saya yang memberi saya makan dari hasil narik becaknya setiap hari,” kata wanita tua ini dengan nada sedih.
Arita menuturkan kronologis yang dialami anaknya. Malam itu usai menarik becak, Josep dengan abang sepupunya ingin menikmati kopi sambil nongkrong di sebuah warung kopi (warkop) di Jalan Sena, persis di Mako Polisi Milter (PM). Keduanya datang ke warkop menumpang sepeda motor Yamaha RX-King warna hitam.
Ternyata saatnya bersamaan dengan demo anarkis mahasiswa yang berbuntut bentrokan dengan polisi. Selanjutnya, polisi mendatangi Josep, dan tanpa bertanya langsung memukuli Josep. Kemudian polisi mengambil dompet Josep yang berisi uang hasil menarik becak, STNK bettor, dan dua e-KTP.
“Anak saya dipukuli, berulang-ulang dek. Kata anakku, dia dituduh sebagai pendemo, namun dia membantah. Sementara sepupunya disuruh pulang sama polisi. Josep dipukuli dan diludahi. Kejam kali orang itu (polisi, Red). Sudah dipukuli, dompetnya pun diambil dan hingga sekarang belum dikembalikan,” kata ibu 3 anak ini. Atas kejadian itu, Josep diwakili orangtua dan keluarganya meminta keadilan.
Setelah mendatangi Propam Poldasu, petugas menyarankan keluarga Josep untuk membuat surat kepada Kapolda Sumut, Irjend Pol Syarief Gunawan, karena Josep tidak mengenal polisi yang memukuli dirinya. “Kami disuruh buat surat ke Kapoldasu. . Karena kalau kami melapor ke Polresta Medan, bakal tidak ditanggapi,” sebut Arita.
Petugas Propam juga menyarankan keluarga Josep untuk melengkapi bukti-bukti dan surat-surat dari rumah sakit. “Kami meminta keadilan hukum dan biaya rumah sakit anakku ini. Sampai sekarang polisi belum menjenguk anakku,” tandasnya.
Kabid Humas Polda Sumut, Kombes Pol Raden Heru Prakoso mengatakan, akan menerima keluhan keluarga korban. “Setahu saya ada 5 orang dirawat di rumah sakit, itupun di rumah sakit Brimob. Kalau di rumah sakit Pirngadi saya tidak tahu. Tapi kita tampunglah,” ungkapnya. (mag-10/dik/gus)