
Ketua Komnas Perlindungan Anak Arist Merdeka Sirait (kanan) berbincang dengan Saut Aritonang (kiri) perwakinan Dinas Pendidikan Sumut di Jalan Cik Ditiro Medan, Rabu (18/10). Kunjungan Arist Merdeka Sirait untuk melihat permasalahan penerimaan siswa dan dianggap ada proses pelanggaran hak anak yang terjadi sejak empat bulan terakhir kepada 180 siswa yang masuk tidak melalui jalur PPDB.
MEDAN, SUMUTPOS.CO – Komisi Nasional (Komnas) Perlindungan Anak (PA) mendesak Dinas Pendidikan (Disdik) Sumatera Utara (Sumut) untuk memoratorium (menghentikan sementara) kasus siswa sisipan yang terjadi di beberapa Sekolah Menengah Atas (SMA) Negeri Medan. Moratorium dilakukan untuk menyelamatkan hak siswa atas pendidikan.
Ketua Komnas PA, Arist Merdeka Sirait mengatakan, kebijakan yang dilakukan Disdik Sumut dalam persoalan ini seharusnya tidak mengorbankan hak-hak anak atas pendidikan. Oleh karenanya, moratorium dalam konflik tersebut merupakan pilihan terbaik.
“Maladministrasi yang memicu persoalan ini berdampak terhadap hak anak untuk mendapatkan pendidikan. Oleh sebab itu, Komnas PA hadir untuk menyelamatkan hak anak dengan menawarkan moratorium terhadap konflik yang terjadi. Apalagi sudah empat bulan berjalan tak kunjung terselesaikan,” ungkap Arist bersama orang tua siswa saat menyambangi kantor Disdik Sumut, Jalan T Cik Ditiro Medan, Rabu (18/10).
Menurutnya, moratorium yang ditawarkan terhadap kasus itu untuk mencari solusi yang lebih baik, dengan tidak mempersalahkan anak atau tetap mendapatkan haknya. Selain itu, hal-hal yang perlu diperbaiki dapat segera dilakukan.
“Pada saat moratorium diberlakukan, anak-anak tetap sekolah seperti biasa. Masa moratorium tergantung kesepakatan bersama,” tutur Arist.
Diutarakan dia, dalam kasus ini pihaknya telah melakukan pertemuan dan berdialog kepada siapa saja yang terlibat termasuk pihak sekolah. Hasilnya, setelah dipelajari ternyata ada pelanggaran yang terjadi terhadap hak anak atas pendidikan.
Seperti, anak-anak sekolah di tempatnya mendaftar tidak aman dan nyaman lantaran ada perlakukan diskriminasi misalnya disebut siswa ‘siluman’. Artinya, ada intimidasi atau bullying. Untuk itu, hal-hal demikian harus segera dipulihkan kembali dan dapat dijaga kenyamanan anak-anak tersebut dalam mendapatkan hak pendidikannya.
“Selain kepada Disdik Sumut, kita juga akan menyampaikan kepada gubernur Sumut supaya menggunakan hak diskresinya. Tujuannya, supaya persoalan ini tidak terjadi lagi ke depannya dan hak anak dapat terjaga,” cetus Arist.
Disinggung tentang kebijakan Disdik Sumut yang memutuskan siswa sisipan dipindahkan ke sekolah swasta, di mana hak anak atas pendidikan tetap dipenuhi, Arist menyatakan bahwa hal itu kurang tepat. Sebab, ketika dipindahkan maka psikologis anak terancam.
“Penjelasan dari anak-anak bahwa mereka lebih nyaman di sekolah tempat mendaftar, ketimbang yang baru. Sebab, ketika dipindahkan kemungkinan mereka akan mendapat intimidasi atau bullying yang berdampak terhadap psikologisnya,” tutur Arist.