SUMUTPOS.CO – Amuk Topan Yolanda (Haiyan) tidak hanya meluluhlantakkan Kota Tacloban di Provinsi Leyte dan beberapa kota lain di Pulau Samar. Lebih dari itu, badai dahsyat yang oleh media dijuluki supertopan tersebut juga meremukkan hati warga Filipina yang bekerja di luar negeri. Sebab, mereka tidak bisa menghubungi orang-orang terkasih pascabadai tersebut.
Tenerio Tabiola tidak kuasa membendung air mata saat melihat bocah perempuan itu berlari ke arahnya. ’’Papa! Papa!’’ teriak Marife sambil merentangkan dua tangannya lebar-lebar kemarin (19/11). Bapak dan anak tersebut lantas berpelukan erat. Tidak hanya melepas rindu, Tabiola pun tidak berhenti mengucap syukur karena bisa bertemu putri kecilnya yang berusia delapan tahun itu.
Yolanda yang menyapu kawasan tengah Filipina 8 November lalu sudah merenggut kebahagiaan Tabiola. Pria yang bekerja di Kota Jubail, Provinsi Timur, Arab Saudi, itu kehilangan istri dan seorang buah hatinya dalam bencana nasional yang menewaskan sekitar 4.000 orang tersebut. Kini hanya Marife yang tersisa dari keluarganya.
Karena jauh dari keluarga, Tabiola selalu mengandalkan media dan komunikasi telepon untuk bertukar kabar dengan sanak-saudara di Filipina. Begitu mendengar Tacloban porak-poranda karena Yolanda, bapak dua anak itu pun langsung berusaha mengontak sang istri. Hatinya ciut saat telepon genggam istrinya tidak bisa dihubungi. Tidak putus asa, Tabiola pun langsung beralih ke internet untuk mencari tahu nasib keluarganya.
Di layar komputer, dia mengetik Tabiola sebagai kata kunci. Dia berusaha keras menggali informasi tentang anak-anak dan istrinya. Pada waktu yang sama, Nora Maano pun menelusuri jejak Tabiola di internet. Sebab, dia menemukan Marife yang sebatang kara di antara kekacauan Tacloban. Maano yang pekerja sosial itu juga menggunakan Tabiola sebagai kata kunci untuk mencari akun Facebook ayah Marife.
Saat itu Maano menemukan tidak hanya satu akun Facebook yang mengandung nama Tabiola. Tidak mau kehilangan peluang, dia lantas meninggalkan pesan beserta foto Marife di setiap akun Facebook Tabiola. Upaya itu membuahkan hasil.
Tabiola yang mencari tahu nasib keluarganya tersebut membaca pesan Maano. Saat itu juga penduduk Tacloban tersebut memutuskan pulang ke Filipina.
Tabiola dan Marife patut bersyukur. Sebab, sebagian besar korban Yolanda tidak bisa berkumpul kembali dengan keluarga. Angin ribut yang menerjang Filipina dengan kecepatan 315 km per jam itu telah membuat ribuan warga tercerai-berai dengan keluarga. Hingga kemarin, sedikitnya 1.600 warga dinyatakan hilang.
Selama sekitar sepuluh hari terakhir, Balai Kota Tacloban tidak pernah sepi pengunjung. Sebab, salah satu bangunan pemerintah yang masih tegak berdiri tersebut dijadikan pusat informasi. Sekitar 400 foto penduduk Tacloban yang nasibnya belum jelas terpampang di salah satu dinding bangunan tersebut. Setiap hari ratusan warga mendatangi balai kota untuk mendapatkan informasi terbaru.
Bahkan, yang masih muda berusaha mencari sendiri informasi mengenai kerabat mereka yang hilang, langsung ke lokasi bencana. Jim Pagatpat, misalnya. Pria 45 tahun yang tercatat sebagai pegawai negeri sipil (PNS) Kota Manila itu sengaja bertolak ke Kota Guiuan di Samar. Tujuannya hanya satu, mencari sang ibu yang berusia 95 tahun. ’’Tayangan televisi benar-benar membuat saya takut,’’ ujarnya.
Pagatpat rela menempuh jarak 600 km dari ibu kota Filipina untuk menemukan ibunya. ’’Saya sangat bersyukur karena ibu saya selamat. Tapi, tidak ada apa pun yang tersisa dari rumah kami,’’ ujarnya. Kini setelah memastikan ibunya di tempat penampungan yang aman, Pagatpat kembali ke Manila. Dia berjanji kembali ke Guiuan dalam waktu dekat untuk melawat sang ibu.
Pendeta Robert Reyes tidak ingin penduduk Tacloban terus-menerus berkubang dalam duka dan derita karena badai. Kemarin dia memimpin puluhan umatnya untuk berpawai keliling kota. ’’Kita pasti mampu melewatinya,’’ kata rohaniwan yang juga dikenal sebagai aktivis sosial tersebut. Sambil berkeliling kota, Reyes berusaha membangkitkan kembali semangat warga.
’’Ini bukan sekadar pawai. Kami menyebutnya gerakan untuk bangkit,’’ ujar Reyes. Sambil berkeliling, dia menilik para korban di tempat-tempat penampungan. Bersama timnya, Reyes menyemangati para korban. Tidak hanya menjalarkan semangat kebangkitan, mereka juga mendengarkan keluh-kesah korban. Reyes yakin bahwa terapi psikososial itu akan membuahkan hasil yang positif. (AP/AFP/Reuters/hep/c15/dos)