25 C
Medan
Monday, July 1, 2024

Disita dalam Kasus Tipikor yang Menjerat Tamin Sukardi, MA Alihkan Lahan PTPN ke Swasta

ilustrasi lahan

MEDAN, SUMUTPOS.CO – Mahkamah Agung (MA) memutuskan menyerahkan aset negara berupa lahan seluas 106 hektar, kepada pihak swasta. Padahal lahan tersebut merupakan eks HGU PTPN 2 Kebun Helvetia, Kabupaten Deliserdang hasil sitaan dalam kasus tindak pidana korupsi (Tipikor), yang menjerat pengusaha Tamin Sukardi.

SEBAGAIMANA tertuang dalam Surat Putusan Nomor : 1331.K/PID.SUS/2019, MA telah menghukum Tamin Sukardi dengan hukuman 5 tahun penjara. Dalam amar putusan itu, MA juga menetapkan aset negara seluas 106 hektare beralih kepemilikan. Rinciannya, lahan seluas 32 hektare dikembalikan kepada Dewan Pengurus Al-Washliyah, dan lahan seluas 74 hektare menjadi hak kuasa PT Agung Cemara Realty (ACR), melalui Mujianto selaku direktur.

Berdasarkan putusan MA tersebut, Kejaksaan Negeri Deliserdang memasang spanduk eksekusi terhadap dua objek lahan tersebut di Pasar 4, Desa Helvetia, Kecamatan Labuhandeli, Deliserdang.

Menyikapi putusan MA ini, Sekjend Komite Tani Menggugat (KTM) Sumut, Syaifal Bahry SE memangku kecewa. Menurutnya, berdasarkan salinan putusan 6 lembar yang ia pegang terdapat kekeliruan terhadap peralihan lahan negara kepada pihak swasta.

“Lahan itukan milik negara, kenapa Mahkamah Agung menetapkan aset negara ini kepada Al-Washliyah dan PT ACR. Harusnya lahan itu dikembalikan ke negara, kasus ini sudah jelas ranah Tipikor yang dirugikan negara, bukan pihak swasta. Jadi, putusan tentang pengalihan lahan negara ke pihak swasta kita duga ada kekeliruan,” ucap pria akrab disapa Sefal kepada wartawan, Selasa (20/8).

Selain itu, kata aktivis petani ini, dalam putusan soal luas lahan tidak sesuai dengan objek yang dimaksud. Pasalnya, dalam putusan MA itu disebutkan 126 hektare untuk lahan tersebut, padahal lahan yang sebenarnya adalah 106 hektare. Sefal menduga, ada kesalahan terhadap putusan yang dianggap proses hukum yang telah berjalan tidak menguasai tentang luas lahan tersebut. “Saya sudah baca 6 lembar salinan putusan yang ditetapkan Mahkamah Agung. Ini ada yang aneh, di mana 20 hektare lagi lahan yang dimaksud,” beber Sefal.

Putusan Mahkamah Agung pengalihan aset negara ke swasta, cetus Sefal, tidak berdasar. Alasannya, tidak ada menerangkan tentang alas hak dari PT ACR dan Al-Washliyah untuk lahan 106 hektare tersebut. “Kasus ini adalah ranah Tipikor bukan perkara perdata. Jadi, lahan itu harus dikembalikan ke negara. Harusnya, kejaksaan tidak menerima begitu saja keputusan dari Mahkamah Agung, tapi harus melakukan Peninjauan Kembali (PK) atas putusan itu,” pungkas Sefal.

Pria yang sudah lama bergelut di aktivis petani ini menduga adanya bentuk mafia peradikan persengkongkolan yang sangat besar. Sebab, kasus yang menjerat Tamin Sukardi telah menyeret hakim yang terlibat suap. Jadi, ia menduga keputusan Mahkamah Agung juga bentuk konspirasi buruknya peradilan.

“Intinya Kejagung harusnya PK, bukan menerima keputusan begitu saja. Jangan, kebobrokan peradilan kita kembali disorot KPK. Jadi, harapan kami kepada Bapak Presiden bisa melihat kasus ini, agar menjadi perhatian serius terhadap mafia yang merusak peradilan di Indonesia khsususnya di Sumatera Utara,” tegas Sefal.

Sebelumnya, saat proses hukum terhadap Tamin Sukardi berjalan di PN Medan, manajemen PTPN 2 telah membatalkan penghapus bukuan 106 hektar eks HGU di Desa Helvetia, Kecamatan Labuhandeli, Deliserdang. Dalam agenda sidang yang digelar di PN Medan, untuk mendengar kesaksian dari pihak PTPN 2 yang menghadirkan Direktur PTPN 2 Teten Djaka Triana. Dalam kesaksian Direktur PTPN 2 yang dipertanyakan majelis hakim, yakni soal lahan eks HGU PTPN 2 seluas 106 hektare itu.

Pada Desember 2017 telah dilakukan penghapus bukuan, namun telah dibatalkan. Alasan pembatalan ini dilakukan secara profesionalisme dan perinsip kehati-hatian, langkah ini diambil oleh pihak PTPN 2 guna menghormati proses hukum yang saat ini sedang berjalan dengan terdakwa Tamin Sukardi.

Mengenai dipanggilnya Teten serta dua orang anak buahnya yaitu Direktur Operasional Marisi Butarbutar dan Kabag Hukum Kennedy Sibarani oleh penyidik Kejaksaan Agung, Teten menegaskan, pemanggilan tersebut tidak ada pengaruhnya terhadap pihak PTPN 2 untuk membatalkan penghapus bukuan.

Hal itu menurut dia, karena terdakwa Tamin Sukardi yang proses hukumnya saat ini sedang berjalan telah melakukan proses jual beli terhadap lahan eks HGU sebelum penghapus bukuan yang kini telah dibatalkan. Dalam sidang ini, pihak PTPN 2 juga mengungkapkan bahwa tanah yang masih tercatat secara administratif sebagai aset perusahaan BUMN ini walaupun sudah eks HGU, namun pihak perusahaan PTPN 2 masih tetap membayar kewajiban atas lahan tersebut. (fac)

ilustrasi lahan

MEDAN, SUMUTPOS.CO – Mahkamah Agung (MA) memutuskan menyerahkan aset negara berupa lahan seluas 106 hektar, kepada pihak swasta. Padahal lahan tersebut merupakan eks HGU PTPN 2 Kebun Helvetia, Kabupaten Deliserdang hasil sitaan dalam kasus tindak pidana korupsi (Tipikor), yang menjerat pengusaha Tamin Sukardi.

SEBAGAIMANA tertuang dalam Surat Putusan Nomor : 1331.K/PID.SUS/2019, MA telah menghukum Tamin Sukardi dengan hukuman 5 tahun penjara. Dalam amar putusan itu, MA juga menetapkan aset negara seluas 106 hektare beralih kepemilikan. Rinciannya, lahan seluas 32 hektare dikembalikan kepada Dewan Pengurus Al-Washliyah, dan lahan seluas 74 hektare menjadi hak kuasa PT Agung Cemara Realty (ACR), melalui Mujianto selaku direktur.

Berdasarkan putusan MA tersebut, Kejaksaan Negeri Deliserdang memasang spanduk eksekusi terhadap dua objek lahan tersebut di Pasar 4, Desa Helvetia, Kecamatan Labuhandeli, Deliserdang.

Menyikapi putusan MA ini, Sekjend Komite Tani Menggugat (KTM) Sumut, Syaifal Bahry SE memangku kecewa. Menurutnya, berdasarkan salinan putusan 6 lembar yang ia pegang terdapat kekeliruan terhadap peralihan lahan negara kepada pihak swasta.

“Lahan itukan milik negara, kenapa Mahkamah Agung menetapkan aset negara ini kepada Al-Washliyah dan PT ACR. Harusnya lahan itu dikembalikan ke negara, kasus ini sudah jelas ranah Tipikor yang dirugikan negara, bukan pihak swasta. Jadi, putusan tentang pengalihan lahan negara ke pihak swasta kita duga ada kekeliruan,” ucap pria akrab disapa Sefal kepada wartawan, Selasa (20/8).

Selain itu, kata aktivis petani ini, dalam putusan soal luas lahan tidak sesuai dengan objek yang dimaksud. Pasalnya, dalam putusan MA itu disebutkan 126 hektare untuk lahan tersebut, padahal lahan yang sebenarnya adalah 106 hektare. Sefal menduga, ada kesalahan terhadap putusan yang dianggap proses hukum yang telah berjalan tidak menguasai tentang luas lahan tersebut. “Saya sudah baca 6 lembar salinan putusan yang ditetapkan Mahkamah Agung. Ini ada yang aneh, di mana 20 hektare lagi lahan yang dimaksud,” beber Sefal.

Putusan Mahkamah Agung pengalihan aset negara ke swasta, cetus Sefal, tidak berdasar. Alasannya, tidak ada menerangkan tentang alas hak dari PT ACR dan Al-Washliyah untuk lahan 106 hektare tersebut. “Kasus ini adalah ranah Tipikor bukan perkara perdata. Jadi, lahan itu harus dikembalikan ke negara. Harusnya, kejaksaan tidak menerima begitu saja keputusan dari Mahkamah Agung, tapi harus melakukan Peninjauan Kembali (PK) atas putusan itu,” pungkas Sefal.

Pria yang sudah lama bergelut di aktivis petani ini menduga adanya bentuk mafia peradikan persengkongkolan yang sangat besar. Sebab, kasus yang menjerat Tamin Sukardi telah menyeret hakim yang terlibat suap. Jadi, ia menduga keputusan Mahkamah Agung juga bentuk konspirasi buruknya peradilan.

“Intinya Kejagung harusnya PK, bukan menerima keputusan begitu saja. Jangan, kebobrokan peradilan kita kembali disorot KPK. Jadi, harapan kami kepada Bapak Presiden bisa melihat kasus ini, agar menjadi perhatian serius terhadap mafia yang merusak peradilan di Indonesia khsususnya di Sumatera Utara,” tegas Sefal.

Sebelumnya, saat proses hukum terhadap Tamin Sukardi berjalan di PN Medan, manajemen PTPN 2 telah membatalkan penghapus bukuan 106 hektar eks HGU di Desa Helvetia, Kecamatan Labuhandeli, Deliserdang. Dalam agenda sidang yang digelar di PN Medan, untuk mendengar kesaksian dari pihak PTPN 2 yang menghadirkan Direktur PTPN 2 Teten Djaka Triana. Dalam kesaksian Direktur PTPN 2 yang dipertanyakan majelis hakim, yakni soal lahan eks HGU PTPN 2 seluas 106 hektare itu.

Pada Desember 2017 telah dilakukan penghapus bukuan, namun telah dibatalkan. Alasan pembatalan ini dilakukan secara profesionalisme dan perinsip kehati-hatian, langkah ini diambil oleh pihak PTPN 2 guna menghormati proses hukum yang saat ini sedang berjalan dengan terdakwa Tamin Sukardi.

Mengenai dipanggilnya Teten serta dua orang anak buahnya yaitu Direktur Operasional Marisi Butarbutar dan Kabag Hukum Kennedy Sibarani oleh penyidik Kejaksaan Agung, Teten menegaskan, pemanggilan tersebut tidak ada pengaruhnya terhadap pihak PTPN 2 untuk membatalkan penghapus bukuan.

Hal itu menurut dia, karena terdakwa Tamin Sukardi yang proses hukumnya saat ini sedang berjalan telah melakukan proses jual beli terhadap lahan eks HGU sebelum penghapus bukuan yang kini telah dibatalkan. Dalam sidang ini, pihak PTPN 2 juga mengungkapkan bahwa tanah yang masih tercatat secara administratif sebagai aset perusahaan BUMN ini walaupun sudah eks HGU, namun pihak perusahaan PTPN 2 masih tetap membayar kewajiban atas lahan tersebut. (fac)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/