24.7 C
Medan
Friday, June 14, 2024

Polemik Tambang Emas Martabe

Selesai Pipa, Baru Negosiasi

MEDAN-Langkah Plt Gubsu Gatot Pujo Nugroho meminta agar PT Agincourt Resources menaikkan jatah saham Pemprovsu di tambang emas Martabe Desa Aek Pining, Batangtoru, Tapanuli Selatan, menuai kritik dari ekonom. Meski demikian, pihak manajemen G-Resources tidak menutup peluang membicarakan permintaan tambahan saham menjadi 10 persen itu.

Juru bicara PT Agincourt Resources, Katarina Hardono, kembali menegaskan kalau pihaknya sedang mengupayakan pemasangan pipa limbah agar segera terpasang agar segera beroperasi. “Kami benar-benar mengharapkan bantuan seluruh jajaran pemerintah agar membantu menyelesaikan persoalan yang sangat urgent ini tersebih dahulu. Kalau soal saham, CSR, dan lain-lain, kan bisa dibicarakan nanti kalau tambangnya sudah berjalan baik,” pinta Katarina yang dihubungi tadi malam.

Ditegaskannya, Martabe sudah punya goodwill dengan pemberian saham 5 persen, tanpa dilusi pula. “Belum ada tambang lain di Indonesia yang melakukan ini,” bebernya.

Katarina yakin perusahaan terbuka untuk berdiskusi lebih lanjut. “Kita baru benar-benar masuk masa produksi lho,” harap wanita berdarah Batak bermarga Siburian itu.

Beberapa hambatan yang sering menjadi latarbelakanginya, antara lain infrastruktur jalan yang tidak memadai di Sumut, kemudian adanya berita-berita negatif tentang kondusvitas daerah, seperti demo, ricuhnya masyarakat atau kerusuhan-kerusuhan yang terjadi di daerah. Dan yang juga sangat sering dialami adalah kepengurusan izin yang sangat lama dan berbelit-belit. Itulah yang membuat investor bisa mundur. Kalau investor asing yang datang dan berkeinginan untuk menanamkan investasinya di Sumut, dan bertemu dengan pihak kita (Kadinsu) per bulannya sangat banyak. Seperti bulan lalu (Agustus, red) ada dari Polandia,” tambahnya.

Sementara itu, dukungan atas permintaan permintaan penambahan saham untuk pemprov, mendapat dukungan anggota legislatif di Komisi VI DPR, Irmadi Lubis. Ia mengatakan, memang sudah semestinya Gatot memperjuangkan penambahan jatah saham, yang sebelumnya hanya mendapat 5 persen. Bahkan, politisi dari PDIP yang duduk di komisi yang membidangi industri dan perdagangan itu, mendesak agar Pemda mendapat saham lebih besar lagi, tidak hanya 10 persen seperti dituntut Gatot.

“Idealnya, saham mayoritas, minimal 51 persen, untuk pemerintah, yang nantinya dibagi-bagi lagi untuk pusat, pemprov, dan pemkab,” ujar Irmadi Lubis kepada Sumut Pos di Jakarta, kemarin (20/9).

Dia mengatakan, Gatot harus bisa memerankan diri sebagai pendobrak dari kebiasaan-kebiasaan buruk pembagian saham tambang-tambang emas, yang selalu saja mayoritas sahamnya justru dikuasai asing.

“Jangan seperti di Freeport dan Newmont, dimana pemerintah hanya mendapat saham sekian persen saja. Sumut harus berani memulai bahwa pemerintah harus menguasai saham mayoritas tambang emas,” urai anggota DPR pengganti Panda Nababan itu.

Sekadar perbandingan, komposisi saham Newmont terdiri dari 24 persen milik PT Multi Daerah Bersaing (konsorsium Group Bakrie dan Pemerintah Daerah),  49 persen milik Newmont, dan 20 persen milik Pukuafu dan 7 persen masih diperebutkan Pemerintah Pusat dengan Bakrie.
Sementara, komposisi pemegang saham Freeport Indonesia adalah Pemerintah Indonesia sebesar 9,36 persen dan Freeport-McMoran Copper & Gold Inc 90,64 persen.

Sedang pemegang saham Tambang Emas Martabe adalah G-Resources Group Ltd sebesar 95 persen, dan pemegang 5 persen saham lainnya adalah PT Artha Nugraha Agung, yang 70 persen sahamnya dimiliki Pemerintah Kabupaten Tapanuli Selatan dan 30 persen dimiliki oleh Pemerintah Propinsi Sumatra Utara.

Jadi, jatah saham pemda yang hanya lima persen di Tambang Emas Martabe itu, jelas sangat jauh dibanding dengan kepemilikan saham pemda NTB di Newmont yang bisa mendapatkan 24 persen.

Angka 24 persen itu pun dianggap sangat sedikit oleh Irmadi, apalagi cuman 5 persen. Bersama pemerintah pusat, lanjut Irmadi, pemda mestinya mendapat saham mayoritas. Dasar tuntutan itu adalah pasal 33 UUD 1945. “Bahwa kekayaan alam Indonesia itu harus dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Kalau cuman lima persen, ya namanya bukan menguasai,” ujar Irmadi.
Bukankah pemda juga harus menyiapkan dana penyertaan sesuai saham yang didapat? Yang artinya semakin besar saham yang didapat, modal juga harus besar? Darimana uang itu?

Irmadi mengatakan, proses minta tambahan saham dan bagaimana model penyertaan modalnya, harus dilakukan lewat proses re-negosiasi. Dijelaskan, bahwa modal tidak harus disetor sekaligus, alias bisa dicicil. “Dari deviden yang didapat bisa langsung dikonversi sebagai modal yang disetor. Jadi tidak harus disetor sekaligus. Nah, itu juga bagian yang harus dinego ulang,” ulasnya.

Meski mendukung Gatot menuntut tambahan jatah saham, Irmadi tidak sreg cara politisi PKS itu. Menurutnya, mestinya Gatot menyelesaikan dulu masalah limbah tambang tersebut, yang mendapat tentangan sebagian warga.

“Mestinya pastikan dulu bahwa keberadaan tambang itu tidak merugikan warga sekitar. Ingat, sumber daya alam itu bisa berarti bencana, bisa juga menjadi berkah. Tapi lebih banyak menjadi bencana, rakyat di sekitar tambang malah miskin, ditembaki, dianggap maling. Nah, di Sumut jangan seperti itu,” imbuhnya.

Menurutnya, kepentingan rakyat yang mestinya didahulukan. Alasannya, kalau soal jatah saham, itu tidak bisa langsung dinikmati rakyat. “Jatah saham tidak ada hubungannya dengan masalah yang ditentang rakyat di situ,” kata Irmadi. (sam/tms)

Selesai Pipa, Baru Negosiasi

MEDAN-Langkah Plt Gubsu Gatot Pujo Nugroho meminta agar PT Agincourt Resources menaikkan jatah saham Pemprovsu di tambang emas Martabe Desa Aek Pining, Batangtoru, Tapanuli Selatan, menuai kritik dari ekonom. Meski demikian, pihak manajemen G-Resources tidak menutup peluang membicarakan permintaan tambahan saham menjadi 10 persen itu.

Juru bicara PT Agincourt Resources, Katarina Hardono, kembali menegaskan kalau pihaknya sedang mengupayakan pemasangan pipa limbah agar segera terpasang agar segera beroperasi. “Kami benar-benar mengharapkan bantuan seluruh jajaran pemerintah agar membantu menyelesaikan persoalan yang sangat urgent ini tersebih dahulu. Kalau soal saham, CSR, dan lain-lain, kan bisa dibicarakan nanti kalau tambangnya sudah berjalan baik,” pinta Katarina yang dihubungi tadi malam.

Ditegaskannya, Martabe sudah punya goodwill dengan pemberian saham 5 persen, tanpa dilusi pula. “Belum ada tambang lain di Indonesia yang melakukan ini,” bebernya.

Katarina yakin perusahaan terbuka untuk berdiskusi lebih lanjut. “Kita baru benar-benar masuk masa produksi lho,” harap wanita berdarah Batak bermarga Siburian itu.

Beberapa hambatan yang sering menjadi latarbelakanginya, antara lain infrastruktur jalan yang tidak memadai di Sumut, kemudian adanya berita-berita negatif tentang kondusvitas daerah, seperti demo, ricuhnya masyarakat atau kerusuhan-kerusuhan yang terjadi di daerah. Dan yang juga sangat sering dialami adalah kepengurusan izin yang sangat lama dan berbelit-belit. Itulah yang membuat investor bisa mundur. Kalau investor asing yang datang dan berkeinginan untuk menanamkan investasinya di Sumut, dan bertemu dengan pihak kita (Kadinsu) per bulannya sangat banyak. Seperti bulan lalu (Agustus, red) ada dari Polandia,” tambahnya.

Sementara itu, dukungan atas permintaan permintaan penambahan saham untuk pemprov, mendapat dukungan anggota legislatif di Komisi VI DPR, Irmadi Lubis. Ia mengatakan, memang sudah semestinya Gatot memperjuangkan penambahan jatah saham, yang sebelumnya hanya mendapat 5 persen. Bahkan, politisi dari PDIP yang duduk di komisi yang membidangi industri dan perdagangan itu, mendesak agar Pemda mendapat saham lebih besar lagi, tidak hanya 10 persen seperti dituntut Gatot.

“Idealnya, saham mayoritas, minimal 51 persen, untuk pemerintah, yang nantinya dibagi-bagi lagi untuk pusat, pemprov, dan pemkab,” ujar Irmadi Lubis kepada Sumut Pos di Jakarta, kemarin (20/9).

Dia mengatakan, Gatot harus bisa memerankan diri sebagai pendobrak dari kebiasaan-kebiasaan buruk pembagian saham tambang-tambang emas, yang selalu saja mayoritas sahamnya justru dikuasai asing.

“Jangan seperti di Freeport dan Newmont, dimana pemerintah hanya mendapat saham sekian persen saja. Sumut harus berani memulai bahwa pemerintah harus menguasai saham mayoritas tambang emas,” urai anggota DPR pengganti Panda Nababan itu.

Sekadar perbandingan, komposisi saham Newmont terdiri dari 24 persen milik PT Multi Daerah Bersaing (konsorsium Group Bakrie dan Pemerintah Daerah),  49 persen milik Newmont, dan 20 persen milik Pukuafu dan 7 persen masih diperebutkan Pemerintah Pusat dengan Bakrie.
Sementara, komposisi pemegang saham Freeport Indonesia adalah Pemerintah Indonesia sebesar 9,36 persen dan Freeport-McMoran Copper & Gold Inc 90,64 persen.

Sedang pemegang saham Tambang Emas Martabe adalah G-Resources Group Ltd sebesar 95 persen, dan pemegang 5 persen saham lainnya adalah PT Artha Nugraha Agung, yang 70 persen sahamnya dimiliki Pemerintah Kabupaten Tapanuli Selatan dan 30 persen dimiliki oleh Pemerintah Propinsi Sumatra Utara.

Jadi, jatah saham pemda yang hanya lima persen di Tambang Emas Martabe itu, jelas sangat jauh dibanding dengan kepemilikan saham pemda NTB di Newmont yang bisa mendapatkan 24 persen.

Angka 24 persen itu pun dianggap sangat sedikit oleh Irmadi, apalagi cuman 5 persen. Bersama pemerintah pusat, lanjut Irmadi, pemda mestinya mendapat saham mayoritas. Dasar tuntutan itu adalah pasal 33 UUD 1945. “Bahwa kekayaan alam Indonesia itu harus dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Kalau cuman lima persen, ya namanya bukan menguasai,” ujar Irmadi.
Bukankah pemda juga harus menyiapkan dana penyertaan sesuai saham yang didapat? Yang artinya semakin besar saham yang didapat, modal juga harus besar? Darimana uang itu?

Irmadi mengatakan, proses minta tambahan saham dan bagaimana model penyertaan modalnya, harus dilakukan lewat proses re-negosiasi. Dijelaskan, bahwa modal tidak harus disetor sekaligus, alias bisa dicicil. “Dari deviden yang didapat bisa langsung dikonversi sebagai modal yang disetor. Jadi tidak harus disetor sekaligus. Nah, itu juga bagian yang harus dinego ulang,” ulasnya.

Meski mendukung Gatot menuntut tambahan jatah saham, Irmadi tidak sreg cara politisi PKS itu. Menurutnya, mestinya Gatot menyelesaikan dulu masalah limbah tambang tersebut, yang mendapat tentangan sebagian warga.

“Mestinya pastikan dulu bahwa keberadaan tambang itu tidak merugikan warga sekitar. Ingat, sumber daya alam itu bisa berarti bencana, bisa juga menjadi berkah. Tapi lebih banyak menjadi bencana, rakyat di sekitar tambang malah miskin, ditembaki, dianggap maling. Nah, di Sumut jangan seperti itu,” imbuhnya.

Menurutnya, kepentingan rakyat yang mestinya didahulukan. Alasannya, kalau soal jatah saham, itu tidak bisa langsung dinikmati rakyat. “Jatah saham tidak ada hubungannya dengan masalah yang ditentang rakyat di situ,” kata Irmadi. (sam/tms)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/