SUMUTPOS.CO – Dari sebuah desa di Tulungagung, Jawa Timur, Mahmudi Fukumoto hijrah ke Jepang dan sukses menjalankan bisnis di Negeri Sakura. Kisahnya menginspirasi banyak orang.
Seperti apa?
Kiprah Mahmudi Fukumoto dikenal publik saat menghadiri kongres diaspora di Jakarta medio Agustus lalu. Mahmudi diundang langsung oleh panitia untuk kembali ke tanah airn
dan berbagi cerita tentang suksesnya membangun jaringan bisnis di Jepang. Nama yang unik, campuran Jawa dan Jepang, membuat Mahmudi seolah menjadi “bintang” di antara ratusan diaspora yang hadir dari penjuru dunia. Dia pun menjadi buruan awak media. Foto dan kisah sukses Mahmudi menghiasi sejumlah media cetak dan elektronik.
Kini cerita sukses pria 39 tahun itu bisa dengan mudah dibaca di dunia maya. Ada ribuan artikel tentang Mahmudi yang muncul dari mesin pencari Google. Meski begitu, bapak dua anak itu tetap menjadi sosok yang santun dan bersahaja. Mahmudi selalu menjunjung tinggi ajaran sopan santun yang didapat sejak lahir hingga besar di Desa Tanen, Rejotangan, Tulungagung.
Nilai-nilai luhur tersebut dia praktikkan saat menjalankan bisnis di Jepang. Mahmudi tidak segan-segan turun langsung melayani pengguna jasa travel yang dikelolanya. Padahal, dia adalah pemilik bisnis tersebut. “Saya sudah biasa seperti ini. Saya ini seneng nyopir. Bahkan, kalau bisa, saya sendiri yang nyopir,” kata Mahmudi. Kebetulan Jawa Pos bersama rombongan dari PT Astra Honda Motor (AHM) menggunakan kendaraan dari perusahaan travel milik Mahmudi di Tokyo pekan lalu. Mahmudi siap menjadi sopir sekaligus guide untuk pelanggannya. Terutama bila mereka berasal dari kalangan istimewa seperti pejabat negara.
Selain turun langsung mendampingi customer, Mahmudi cekatan dalam pelayanan. Dia tidak malu untuk naik turun mobil menurunkan barang milik penumpang. Jebolan Madrasah Aliyah Negeri (MAN) 3 Tanen itu benar-benar total. “Ini sudah tugas saya,” katanya.
Mengusung bendera Keihin Group, bisnis yang dijalankan Mahmudi merambah berbagai bidang. Mulai konstruksi sampai biro perjalanan. Perusahaan Mahmudi berhasil mendapatkan tender untuk menggarap proyek pembangunan kilang minyak di lepas pantai Jepang. Sukses di bisnis konstruksi, pria yang menyunting perempuan Jepang bernama Noriko Fukumoto itu melebarkan sayap bisnis ke sektor jasa. Dia mendirikan Keihin Tour yang bergerak dalam bidang biro perjalanan.
Bagaimana Mahmudi mendapatkan proyek” Lapangan golf. Ya, di antara proyek-proyek yang berhasil didapat, Mahmudi mengaku mayoritas berawal dari lapangan golf. “Jelek-jelek gini, saya jago main golf. Pukulan saya keras. Karena itu, banyak yang pengin main bareng saya,” ungkap pria yang tinggal di kawasan Kawasaki tersebut.
Seperti halnya di Indonesia, di Jepang pun banyak keputusan bisnis yang lahir dari lapangan golf. Olahraga yang identik dengan kalangan atas itu menjadi media bertemunya para pebisnis dari berbagai kalangan. Nah, dari lapangan golf pula kemudian lahir berbagai deal bisnis dengan nilai yang tidak kecil. Mahmudi menyadari kondisi tersebut. Dia pun rajin menyambangi lapangan golf. Setiap pekan dia menyempatkan diri mengayunkan tongkat golf. Tidak sekadar melampiaskan hobi, tapi juga menjadi ajang memperluas jaringan.
“Orang-orang sini senang main golf sama saya. Sekarang mereka pada antre,” tutur bapak dua putri bernama Cinta dan Ratu tersebut, lantas tertawa.
Mahmudi memang tergolong sosok humoris. Meski sudah 13 tahun tinggal di Jepang, dia tidak bisa menanggalkan logat bicara Jawa yang sangat medok. Dalam banyak kesempatan, dia menyelipkan bahasa Jawa ketika berbincang dengan orang. Itu tidak dibuat-buat. Spontan.
Salah satu kelebihan Mahmudi saat bermain golf adalah pukulan yang keras. Terkait dengan hal tersebut, dia punya rahasia. “Saat kecil, di desa, saya ini sering macul (mencangkul, Red). Nah, mungkin karena kebiasaan macul itu pukulan saya sekarang jadi kenceng,” katanya. Sukses yang diraih Mahmudi memang tidak datang dengan mudah. Harus melewati perjuangan panjang dan berliku. Dia nyaris tidak bisa menyelesaikan pendidikan di madrasah aliyah karena faktor biaya. Saat itu dia baru duduk di bangku kelas satu dan masalah besar menghadang. Keterbatasan biaya membuat Mahmudi terancam drop out.
Namun, dia tidak patah semangat. Mahmudi bertekad untuk terus sekolah. Caranya, dia mengabdikan diri sebagai pembantu petugas kebersihan sekolah. “Setiap pagi saya harus menimba air,” kenangnya. Karena tugas tersebut, tenaga Mahmudi terkuras. Dia jadi sering mengantuk saat berada di kelas. Banyak materi pelajaran yang tidak “masuk” ke dalam otaknya. “Meski begitu, saya ini rangking satu, tapi dari belakang,” selorohnya.
Lulus madrasah aliyah, Mahmudi meninggalkan kampung halaman untuk merantau ke Bali. Dia ingin bekerja di hotel. Karena itu, Mahmudi mengambil kursus bahasa Jepang. Siapa sangka, dari proses itu dia bertemu Noriko yang kemudian menjadi istrinya. Pasangan tersebut kemudian hijrah ke Jepang pada 2001.
Awal kehidupan Mahmudi di Negeri Matahari Terbit juga tidak mulus. Dia datang dengan status pengangguran. Tidak mudah mendapatkan pekerjaan. Apalagi dia berstatus warga negara asing. Kemampuan bahasa Jepang nya juga belepotan. Selain itu, Mahmudi tidak memiliki keahlian teknis lain. Jadilah dia bekerja serabutan. Mahmudi pernah menjadi kuli bangunan dan bekerja di hotel.
Kerja keras Mahmudi membuahkan hasil. Setelah beberapa tahun, bisnisnya semakin kuat. Jaringannya juga makin luas. Kesuksesan Mahmudi membuatnya laris menjadi pembicara dalam forum-forum bisnis. Dia kerap diundang untuk berbicara di hadapan ratusan peserta dengan berbagai macam latar belakang usaha dan pendidikan.
Suatu ketika, Mahmudi tampil menjadi pembicara di hadapan peserta yang tingkat pendidikannya S-2 dan S-3. “Awalnya saya bingung mau ngomong apa. Tapi, akhirnya saya cerita apa adanya saja. Eh, mereka justru senang,” katanya.
Kehidupan Mahmudi kini bisa dibilang sudah nyaman. Bisnisnya berjalan lancar dan bahkan terus berkembang. Meski begitu, dia tidak pelit untuk berbagi ilmu. Mahmudi memprakarsai berdirinya Keihin Network Solution (KNS) yang memberikan pelatihan bisnis kepada pekerja Indonesia di Jepang.
“Setiap tahun ada ribuan pekerja Indonesia yang magang dan menjalani pelatihan di banyak perusahaan besar di Jepang. Sayang, saat harus kembali ke tanah air, mereka tidak memiliki keahlian untuk menjalankan usaha sendiri,” katanya. Padahal, mereka membawa uang yang tidak sedikit.
Menurut perhitungan Mahmudi, setiap pekerja tersebut bisa membawa pulang uang sampai Rp 300 juta. Celakanya, tidak banyak di antara mereka yang bisa memanfaatkan uang tersebut untuk berbisnis. Alhasil, uang tersebut kemudian habis dan mereka menjadi pengangguran lagi. “Banyak yang nelpon minta kembali ke Jepang. Padahal hal itu tidak bisa,” katanya.
Berangkat dari kondisi tersebut, Mahmudi bergerak. Dia mengadakan pelatihan bisnis kepada para pekerja tersebut. Dengan menggandeng beberapa sponsor, Mahmudi mendatangkan pembicara dari Indonesia. Dia memilih pembicara dari kalangan praktisi. Misalnya, pemilik usaha franchise. “Mereka saya datangkan untuk ngomong tentang bisnisnya. Selanjutnya para peserta harus menentukan mau memilih bisnis apa,” ujar Mahmudi.
Kegiatan tersebut sudah berjalan dalam setahun terakhir. Peminatnya lumayan. Dalam setiap pelatihan ada sekitar 150 orang yang ambil bagian. Mahmudi berharap langkah tersebut mendapat sokongan banyak pihak. “Selama ini ada beberapa sponsor yang membantu. Kalau pas tidak ada, ya saya harus merogoh kocek sendiri,” katanya. Dia berharap usahanya tersebut dapat membantu mengurangi pengangguran.
Mahmudi bersyukur atas apa yang diraihnya sekarang. Setelah lebih dari satu dekade tinggal di Jepang, dia sudah sangat menikmati kehidupan di negeri tersebut. Setiap akhir pekan, ketika tidak ada pekerjaan, Mahmudi memanfaatkan waktu untuk berkumpul dengan istri dan dua buah hatinya. Biasanya dia mengajak mereka jalan-jalan ke taman. Banyak pelajaran yang dia dapat dari kehidupan di Jepang. Salah satunya tentang kedisiplinan. “Kalau mau belajar, lihat saja orang-orang Jepang saat di jalan. Mereka sangat disiplin. Itu pelajaran besar,” katanya.
Lantas, kapan kembali ke Indonesia” Mahmudi tidak bisa memberi kepastian. Dia hanya ingin menjalani kehidupan seperti air yang mengalir. “Saya manut (pasrah, Red) pada yang bikin hidup,” katanya. (*)