25.6 C
Medan
Friday, May 17, 2024

Pondok Pesantren Binaan Eks Napi Teroris: Hilangkan Stigma Negatif, Berwirausaha Gula Aren

MEDAN, SUMUTPOS.CO – Pondok Pesantren Al-Hidayah beralamat Desa Sei Mencirim, Kecamatan Kutalimbaru, Kabupaten Deliserdang, Sumatera Utara (Sumut) tidak saja sebagai pusat pendidikan.

AREN: Santri saat mengambil aren (kiri) dan hasil produksi gula aren milik Pesantren Al-Hidayah yang dipasarkan ke masyarakat.istimewa/sumut pos.

Namun, pesantren binaan dan dipimpin mantan narapidana (Napi) teroris ini, juga sudah memproduksi gula aren yang dijual kepada masyarakat umum.

Pesantren yang didirikan Juni 2016 ini, dikenal sebagai fasilitas pendidikan bagi anak-anak mantan napi teroris dan anak-anak masyarakat umum yang tergolong miskin, dhuafa dan yatim piatu. “Para santri yang belajar di pesantren ini pun tidak dipungut biaya alias gratis,” kata Pimpinan Pondok Pesantren Al-Hidayah, Ustadz Khairul Ghazali kepada Sumut Pos, Senin (20/12)n

Pesantren ini, sekarang mendunia. Karena, menjadi contoh dan rujukan dalam pencegahan radikalisme dan terorisme, yang didukung sepenuhnya oleh Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT). “Santri di sini diberikan life skill bertani dan beternak agar mandiri, berkat kerja sama dengan BNPT juga. Kami berupaya untuk menunjukkan karya, bisa terlepas dari stigma yang ada,” ucap Ghazali.

Ghazali yang pernah terlibat dalam kelompok terorisme di Indonesia dan melakukan perampokan Bank CIMB Niaga di Kota Medan pada tahun 2010 itu, menjelaskan bahwa pesantren ia dirikan juga memiliki perkebunan dengan status tanah pinjam pakai dan tanah milik PTPN II.

Ghazali mengungkapkan, para santri tidak saja dibina secara formil dalam pendidikan agama saja, namun mereka juga dibina untuk berwirausaha dan bertani dengan melakukan cocok tanam di perkebunan tersebut, seperti menanam ubi kayu, sayur-sayuran, pohon aren dan cabai.

“Negara sama sekali tidak ada membantu membiayai pesantren ini baik logistik, gaji guru maupun pembiayaan yang lainnya. Hanya negara melalui PTPN II memberi pinjam pakai lahan seluas 2,5 ha untuk lahan pertanian,” jelas Ghazali.

Untuk mencukupi biaya operasional pesantren tersebut, Ghazali terus menunjukkan kemandirian pihaknya dengan kewirausahaan memproduksi gula aren yang menjadi produk unggulan dan diminati pasar di kalangan masyarakat.

Ghazali mengungkapkan, sebagian besar kebutuhan santri mengandalkan produksi gula aren untuk mendapatkan penghasilan dan membiayai logistik atau sembako. Kemudian, mengolah air nira menjadi gula aren murni menjadi andalan selama pandemi Covid-19 ini.”Di pesantren ini terdapat 200 lebih pohon aren, tapi yang baru produksi 20-an pohon. Dari 20-an pohon aren inilah yang dimanfaatkan untuk membuat gula aren murni,” kata Ghazali.

Ghazali menjelaskan, pesantren yang dia pimpin setiap harinya memproduksi 10 kilogram gula aren asli. Yang harganya dijual ke agen Rp20.000 sampai dengan Rp25.000 per kilogram. Proses pembuatan gula aren sebenarnya tidak mudah. Air nira yang dipanjat dengan sebatang bambu membutuhkan waktu sampai 5-6 jam untuk dimasak.

“Pembuatan gula aren dimulai dengan cara air niranya dimasak dengan tungku tradisional yang berbahan bakar kayu, butuh waktu dari pagi sampai siang menjelang sore. Pengambilan air nira di pohon aren biasa diambil dua kali sehari, yakni pagi dan sore,” tutur Ghazali.

Penjualan gula aren murni yang memiliki ciri khas asal pesantren Al-Hidayah ini, terbilang mudah dipasarkan, karena sudah dikenal asli berbahan air nira tanpa campuran bahan lainnya, apalagi zat kimia.

Selama pandemi Covid-19 ini, Ghazali menambahkan produk pertanian di pesantren ini menurun dan kurang peminatnya. Sedangkan gula aren terus mengalami peningkatan peminat yang sudah menjadi kebutuhan masyarakat.

“Biasanya pembeli ada yang langsung datang ke pesantren, dan ada yang dipasarkan ke pedagang-pedagang langganan pasar-pasar terdekat,” pungkas Ghazali.(gus/ila)

MEDAN, SUMUTPOS.CO – Pondok Pesantren Al-Hidayah beralamat Desa Sei Mencirim, Kecamatan Kutalimbaru, Kabupaten Deliserdang, Sumatera Utara (Sumut) tidak saja sebagai pusat pendidikan.

AREN: Santri saat mengambil aren (kiri) dan hasil produksi gula aren milik Pesantren Al-Hidayah yang dipasarkan ke masyarakat.istimewa/sumut pos.

Namun, pesantren binaan dan dipimpin mantan narapidana (Napi) teroris ini, juga sudah memproduksi gula aren yang dijual kepada masyarakat umum.

Pesantren yang didirikan Juni 2016 ini, dikenal sebagai fasilitas pendidikan bagi anak-anak mantan napi teroris dan anak-anak masyarakat umum yang tergolong miskin, dhuafa dan yatim piatu. “Para santri yang belajar di pesantren ini pun tidak dipungut biaya alias gratis,” kata Pimpinan Pondok Pesantren Al-Hidayah, Ustadz Khairul Ghazali kepada Sumut Pos, Senin (20/12)n

Pesantren ini, sekarang mendunia. Karena, menjadi contoh dan rujukan dalam pencegahan radikalisme dan terorisme, yang didukung sepenuhnya oleh Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT). “Santri di sini diberikan life skill bertani dan beternak agar mandiri, berkat kerja sama dengan BNPT juga. Kami berupaya untuk menunjukkan karya, bisa terlepas dari stigma yang ada,” ucap Ghazali.

Ghazali yang pernah terlibat dalam kelompok terorisme di Indonesia dan melakukan perampokan Bank CIMB Niaga di Kota Medan pada tahun 2010 itu, menjelaskan bahwa pesantren ia dirikan juga memiliki perkebunan dengan status tanah pinjam pakai dan tanah milik PTPN II.

Ghazali mengungkapkan, para santri tidak saja dibina secara formil dalam pendidikan agama saja, namun mereka juga dibina untuk berwirausaha dan bertani dengan melakukan cocok tanam di perkebunan tersebut, seperti menanam ubi kayu, sayur-sayuran, pohon aren dan cabai.

“Negara sama sekali tidak ada membantu membiayai pesantren ini baik logistik, gaji guru maupun pembiayaan yang lainnya. Hanya negara melalui PTPN II memberi pinjam pakai lahan seluas 2,5 ha untuk lahan pertanian,” jelas Ghazali.

Untuk mencukupi biaya operasional pesantren tersebut, Ghazali terus menunjukkan kemandirian pihaknya dengan kewirausahaan memproduksi gula aren yang menjadi produk unggulan dan diminati pasar di kalangan masyarakat.

Ghazali mengungkapkan, sebagian besar kebutuhan santri mengandalkan produksi gula aren untuk mendapatkan penghasilan dan membiayai logistik atau sembako. Kemudian, mengolah air nira menjadi gula aren murni menjadi andalan selama pandemi Covid-19 ini.”Di pesantren ini terdapat 200 lebih pohon aren, tapi yang baru produksi 20-an pohon. Dari 20-an pohon aren inilah yang dimanfaatkan untuk membuat gula aren murni,” kata Ghazali.

Ghazali menjelaskan, pesantren yang dia pimpin setiap harinya memproduksi 10 kilogram gula aren asli. Yang harganya dijual ke agen Rp20.000 sampai dengan Rp25.000 per kilogram. Proses pembuatan gula aren sebenarnya tidak mudah. Air nira yang dipanjat dengan sebatang bambu membutuhkan waktu sampai 5-6 jam untuk dimasak.

“Pembuatan gula aren dimulai dengan cara air niranya dimasak dengan tungku tradisional yang berbahan bakar kayu, butuh waktu dari pagi sampai siang menjelang sore. Pengambilan air nira di pohon aren biasa diambil dua kali sehari, yakni pagi dan sore,” tutur Ghazali.

Penjualan gula aren murni yang memiliki ciri khas asal pesantren Al-Hidayah ini, terbilang mudah dipasarkan, karena sudah dikenal asli berbahan air nira tanpa campuran bahan lainnya, apalagi zat kimia.

Selama pandemi Covid-19 ini, Ghazali menambahkan produk pertanian di pesantren ini menurun dan kurang peminatnya. Sedangkan gula aren terus mengalami peningkatan peminat yang sudah menjadi kebutuhan masyarakat.

“Biasanya pembeli ada yang langsung datang ke pesantren, dan ada yang dipasarkan ke pedagang-pedagang langganan pasar-pasar terdekat,” pungkas Ghazali.(gus/ila)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/