Puput Julianti Damanik, Medan
“Nelayan itu tidak ada masa pensiunnya, apalagi dana pensiunnya, semua tergantung tenaga. Kalau sudah tua dan merasa tidak sanggup lagi tenaganya, barulah berhenti. Seorang nelayan sudah seharusnya belajar, mencari ilmu lagi, misalnya mengubah mangrove jadi uang,” kata Sutrisno, satu dari puluhan nelayan Muarabaimbai.
Ya, Sutrisno dan kawan-kawan berhasil mengubah ‘muara yang menjadi daratan karena abrasi’ menjadi tempat wisata yang begitu indah dan menjadi mata pencarian baru bagi puluhan nelayan.
Bertahun-tahun menjadi nelayan membuat Sutrisno kenal dengan banyak orang, khususnya aktivis yang peduli dengan nelayan. Ia gali informasi dari rekan aktivis. Ia dengarkan diskusi, dipahami lalu dicobanya sendiri. Padahal, dia hanya tamat Sekolah Menengah Pertama (SMP) saja. Semua bermodal semangat. Semangat mau tahu dan ingin berubahlah yang membuat dia memetik hasil itu.
“Kebetulan saya banyak kenal dan sering berdiskusi dengan aktivis yang peduli dengan kita. Saya gali informasi dari mereka, kemudian dibantu dengan buku. Pelan-pelan saya belajar internet dan akhirnya saya cari banyak informasi dari internet. Hal pertama yang saya pelajari adalah soal jenis, manfaat pohon mangrove dan akhirnya pelan-pelan saya lakukan,” kata Sutrisno didampingi rekan-rekannya, pengelola Taman Wisata Mangrove Kampungnipah.
Ceritanya pada 1992, Sutrisno dibantu istri, Jumiati, dan beberapa rekannya menanam lagi pohon mangrove. Ia ambil bibit dari pohon yang sudah ada. Usaha Sutrisno sempat menuai cemohan dari yang lain. Namun, ia tak berhenti. Bahkan ia semakin bersemangat memberi edukasi kepada rekan dan nelayan lainnya soal manfaat pohon mangrove.
Setelah tsunami di Aceh terjadi pada akhir 2004, isu tentang pohon mangrove mulai beredar. Pada 2005, penanaman bibit mangrove pertama bersama nelayan dilakukan. Beberapa LSM juga datang membantu penanaman pohon mangrove dan memberi edukasi ke masyarakat khususnya kaum perempuan dan akhirnya pada 2009 dengan Balai Pengelolaan Hutan Mangrove (BPHM) Sumut kembali menanam mangrove.
“Menjadi saat sekarang ini, panjang sekali prosesnya. Ini semua hasil kerja para nelayan dan dengan biaya swadaya. Setelah hutan mangrove kita tanami, istri-istri nelayan kelompok perempuan Muaratanjung pun belajar mengolah tanaman mangrove jadi makanan seperti keripik, dodol, tepung untuk kue dan sirup,” ujarnya didampingi Jumiati yang juga ketua Kelompok Perempuan Muaratanjung.
Dengan pengolahan makanan tersebut, Jumiati menjadi seorang di antara tujuh perempuan peraih penghargaan dari organisasi nirlaba Inggris, Oxfam, sebagai pahlawan pangan perempuan (Female Food Heroes) Indonesia 2013.
Tak hanya itu, Sutrisno juga pernah menang dalam lomba entrepreneur 2011 yang diadakan oleh British Council. “Saya buat proposal dengan judul ‘Mangrove Sebagai Sarana Edukasi’ saya masuk 50 besar dan diundang ke Jakarta, dilatih dan diberi uang binaan 100 juta. Uang itulah menjadi modal start awal kami membangun ini semua. Pertama kali, kami olah hanya sebesar 2 hektar,” katanya sembari mengatakan Anggota Koperasi Muarabaimbai ada sekitar 80 orang.
Setelah melalui beberapa usaha ini, Sutrisno pun merasa penting mengambil paket C agar bisa melanjutkan pendidikannya ke tingkat yang lebih tinggi. Ia pun pernah mencoba mengambil pendidikan S1, namun karena masih banyak kesibukan ia pun tidak melanjutkan pendidikannya.
Kesibukan Sutrisno bertambah setelah akhirnya sekitar 3 bulan lalu, mereka mulai mengomersialkan objek wisata Hutan Mangrove Kampung Nipah ini. “Ini baru 3 bulan kami berlakukan karcis masuk. Per orang Rp8000 dan untuk pelajar Rp5000,” katanya sembari mengatakan saat ini ada sekitar 7 hektare kawasan hutan mangrove yang didominasi jenis Siapi-api hitam.
Dengan berbekal pengalaman, pria yang dipercayai sebagai ketua koperasi dan ketua Konservasi Mangrove Muarabaimbai ini mulai menyusun materi edukasi yang dijual kepada pengunjung. “Kita susun konsep dan materinya sendiri, kita latih remaja-remaja yang putus sekolah untuk dapat menjadi pemandu bila ada wisatawan datang kemari,” katanya.
Konsepnya wisata mangrove berbasis edukasi memang paling diutamakan, selain itu ada juga paket Adopsi Pohon, Naik Perahu, Melaut Bersama Nelayan, Kuliner dan sebagai pelengkap ada home stay yang dibangun di tengah-tengah hutan. “Jadi tempat ini bisa bermanfaat untuk pelajar, mahasiswa dan wisatawan domestik maupun asing. Ada homestaynya juga sehingga yang ingin berhari-hari di sini, tidak repot keluar mencari tempat tinggal,” katanya sembari mengatakan untuk satu guide, tarifnya hanya Rp100 ribu dan satu kelompok, maksimal terdiri dari 25 orang.
Sejak 3 bulan dibuka, Objek Wisata Mangrove Kampungnipah ini terus dipadati wisatawan dari daerah sekitar, Medan, bahkan luar kota Medan dan Sumut. “Kalau weekend, pengunjung bisa mencapai 500 orang, kalau hari biasa lebih banyak anak sekolah, mahasiswa, dan peneliti. Selama ini dibuka pendapatan para nelayan Muara Baimbai mulai meningkat. Mencari ikan sudah bukan mata pencarian utama, kepiting saja di sini sudah sangat berlimpah dan harganya cukup tinggi,” ujarnya.
Saat disinggung soal bantuan pemerintah, Sutrisno hanya menghela nafas. Ia berharap ada bantuan pemerintah untuk membangun fasilitas, khususnya MCK di kawasan tersebut. “Selama ini, hanya wacana saja yang disampaikan pemerintah. Kami di sini semua kami bangun dengan swadaya masyarakat. Bahkan untuk edukasi pun, kami belajar sendiri, modul edukasi yang kami buat kami susun sendiri. Kami berharap pemerintah dapat membantu kita untuk membuat tempat ini bisa benar-benar menjadi pemasukan bagi warga dan meningkatkan perekonomian warga,” katanya.
Tak hanya itu, di akhir cerita, Sutrisno mengatakan, bila semua yang sudah dilakukan atau yang mereka keluarkan tidak ada nilainya. “Kebersamaan dan proses dari awal, itulah yang paling mahal karena mengajak masyarakat untuk peduli juga sangat susah, dan kami harap seluruh masyarakat ikut bergabung membangun ini. Kami sangat terbuka, bagi masyarakat yang mau peduli karena mangrove juga membantu kita terhindar dari abrasi,” katanya. (rbb)