30 C
Medan
Friday, November 22, 2024
spot_img

Bantu Sembuhkan Pasien Covid-19, Plasma Konvalesen Dapat Diakses di PMI Medan

MEDAN, SUMUTPOS.CO – Selain vaksinasi Covid-19, ada metode lain yang dapat digunakan untuk membantu kesembuhan pasien Covid-19. Yaitu melalui donor plasma konvalesen.

PLASMA KONVALESEN: Terapi plasma konvalesen saat ini bisa diakses masyarakat melalui UDD PMI Kota Medan. Petugas telah mendapatkan pelatihan di UDD Pusat.

“Plasma konvalesen adalah plasma darah yang mengandung antibodi Covid-19 yang berasal dari pasien yang sudah dinyatakan sembuh dari penyakit Covid-19. Plasma tersebut bisa mengeliminasi virus sehingga diharapkan infeksi bisa terputus dan meningkatkann

antibodi pada penderita Covid-19,” kata Kepala Unit Donor Darah (UDD) Palang Merah Indonesia (PMI) Kota Medan, dr Harry Butarbutar, kepada wartawan di Medan, Minggu (21/2).

Artinya, vaksinasi berbeda tujuan dengan plasma konvalesen. Vaksinasi untuk orang yang sehat. Sedangkan plasma konvalesen adalah untuk terapi pasien yang sedang dirawat dengan penyakit Covid-19. “Tidak ada hubungan antara vaksinasi dengan plasma konvalesen ini,” katanya.

Donor plasma konvalesen ini, sebut dia, dapat dilakukan bagi penyintas Covid-19, minimal dua minggu sampai dengan tiga bulan sejak dinyatakan sembuh dengan hasil swab RT-PCR negatif. Jarak untuk mendonorkan plasmanya kembali adalah dua minggu dari donor terakhir. Pendonor juga tidak memiliki riwayat penyakit Stroke, Hipertensi, Diabetes Mellitus dan penyakit metabolik lain. Usia 18-60 tahun dengna berat minimal 55 Kg.

“Diutamakan laki-laki ataupun wanita yang belum pernah hamil serta mengikuti prosedur dan tahap-tahap pemeriksaan,” katanya.

Donor plasma ini sendiri hanya diberikan kepada pasien yang dirawat di rumah sakit karena terinfeksi Covid-19 sedang ke berat, berdasarkan penilaian dokter dengan mempertimbangkan kondisi pasien.

Karenanya, ia mengajak para penyintas atau masyarakat yang telah sembuh dari Covid-19 untuk melakukan donor plasma konvalesen guna membantu penyembuhan pasien lainnya.

Saat ini terapi tersebut sudah bisa diakses masyarakat melalui UDD PMI Kota Medan. Selain sarana dan prasarana yang dipastikan steril, petugas pelayanan plasma konvalesen juga telah mendapatkan pelatihan di UDD Pusat.

“Karena itu, para pendonor plasma konvalesen jangan ragu untuk mendonorkan plasmanya. Tidak ada ruginya, tidak menimbulkan penyakit, waktu pengambilan cuma setengah jam dan tidak mengurangi darah karena cuma plasmanya mau diambil. Tidak menurunkan HB (hemoglobin), tidak membuat kepala pusing. Manfaatnya malah lebih besar,” pungkasnya.

Stok Plasma Konvalesen Sedikit

Terpisah, Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan RI Muhadjir Effendy, mengungkap stok plasma konvalesen untuk pasien Covid-19 masih sedikit. Penyebab utama adalah kesulitan mencocokkan golongan darah antara pendonor dengan pasien Covid-19 sebagai penerima donor plasma konvalesen. Secara nasional, saat ini hanya 159 kantong plasma dengan berbagai macam jenis golongan darah.

Sementara itu, pasien COVID-19 yang antre mendapatkan donor plasma konvalesen ada 626 orang dan yang sudah didistribusikan (plasma konvalesen) mencapai 17.133 kantong.

“Stok plasma kita masih sangat kurang. Karena itu, kita sedang kampanye besar-besaran untuk menarik para penyintas COVID-19 agar bersedia mendonorkan plasmanya,” tutur Muhadjir saat memantau kegiatan donor plasma konvalesen di Kantor PLN Kota Surabaya dan UDD PMI Kota Surabaya, Jawa Timur, ditulis Minggu (21/2).

Terapi plasma konvalesen diyakini efektif dalam upaya penyembuhan pasien COVID-19. Berdasarkan laporan dari rumah sakit yang telah melaksanakan terapi plasma konvalesen, efektivitas plasma terhadap pasien Covid-19 bergejala ringan hingga sedang bisa mencapai hampir 100 persen.

Untuk pelaksanaan terapi plasma konvalesen, menurut Muhadjir Effendy harus tepat agar memeroleh hasil yang efektif. “Saya meminta kepada petugas kesehatan untuk tidak menunda-nunda pasien COVID-19 mendapatkan plasma. Jangan ditunggu sampai (gejala) berat, baru kemudian diplasma, apalagi sudah kritis,” katanya melalui keterangan resmi.

Vaksin Merah Putih Butuh Setahun

Sementara itu, Lembaga Biologi Molekuler (LBM) Eijkman masih terus melakukan pengembangan vaksin Merah Putih. Vaksin Covid-19 buatan dalam negeri ini jadi harapan besar dalam penanganan pandemi di Indonesia.

Kepala LBM Eijkman, Prof dr Amin Soebandrio menyampaikan, kalau situasi non pandemi, uji klinis fase 1 sekitar enam bulan dan begitu pula fase 2 juga 6 bulan lamanya. Sedangkan fase 3, waktunya cukup lama sekitar 3 sampai 5 tahun. Namun, kalau situasi pandemi maka bisa selesai sekitar 6 sampai 8 bulan.

“Meski sudah dipercepat karena masa pandemi, tetapi tetap juga membutuhkan waktu cukup lama. Kami membutuhkan waktu sekitar 1 tahun lagi untuk sampai uji klinis fase 3 dan mendapatkan setidak-tidaknya EUA (Emergency Use Authorization) dari Balai POM,” ujar Prof Amin yang juga ketua tim pengembangan vaksin melalui streaming video youtube saat ngobrol sehat bersama Prof Delfitri Munir belum lama ini.

Dikatakan Prof Amin, walau waktu penelitian vaksin dipersingkat, pihaknya tetap dikawal oleh Balai POM, MUI (Majelis Ulama Indonesia) dan lembaga terkait lainnya. Bahkan, juga sempat dipanggil Presiden Joko Widodo untuk menyampaikan perkembangan penelitian vaksin Merah Putih ini. “Presiden (Joko Widodo) berpesan, bahwa vaksin ini harus dijamin aman untuk orang Indonesia. Makanya, semua proses atau tahapan yang dilakukan memenuhi persyaratan itu,” katanya.

Prof Amin menjelaskan, pengembangan atau penelitian vaksin ini dimulai dari April 2020. Ada dua komponen utama yang digunakan dari virus corona yang sudah dimatikan, yaitu Protein Spike (Protein S) dan Protein Nukleokapsida (Protein N).

“Pengembangan vaksin Merah Putih yang kami lakukan dengan platform protein rekombinan. Kami mengambil satu isolat virus corona yang beredar di Indonesia. Kemudian, kita pelajari genomnya, kita identifikasi Protein S dan Protein N. Lalu, dengan teknologi tertentu kita bisa mengamplifikasi (mengembangkan). Artinya, kedua gen tersebut (Protein S dan Protein N) supaya bisa di-cloud. Setelah diamplifikasi, kemudian kita masukkan ke dalam plasmid dan seterusnya,” terang dia.

Ia menyebutkan, saat ini sudah bisa menghasilkan protein yang didesain tersebut, tinggal diverifikasi dan diuji pada hewan. Akhir Maret diharapkan akan menyerahkan bibit vaksinnya itu ke PT Biofarma. “Proses selanjutnya nanti dilakukan oleh Biofarma. Sebab untuk memulai uji pra klinis serta uji klinis fase 1-3, bahan vaksin tersebut harus diformulasikan dan dikemas untuk bisa disuntikkan ke manusia. Ini hanya boleh dilakukan dengan fasilitas yang tersertifikasi CPOB (Cara Pembuatan Obat yang Baik), dan itu hanya di Biofarma,” paparnya.

Terkait efek samping dari vaksin buatan Indonesia ini, Prof Amin menuturkan, reaksi alergi atau efek samping yang terjadi sebagian besar bukan terhadap komponen utama vaksin. Tapi, terhadap komponen tambahan lain. “Vaksin ini tidak hanya terdiri dari bahan aktifnya saja, melainkan juga ada buffer-nya (larutan kimia), stabilizer (senyawa yang dipakai untuk mencegah terjadinya reaksi kimia), antibiotik hingga pengawet. Jadi, bisanya alergi itu munculnya dari situ (komponen tambahan vaksin),” sebutnya.

Kendati demikian, sambung dia, vaksin Merah Putih insyaallah lebih aman, karena itu menjadi salah satu alasan juga memilih pengembangan vaksin dengan platform protein rekombinan. “Belajar dari pengalaman, vaksin-vaksin yang menggunakan teknologi tersebut dianggap paling tinggi yield-nya (manfaat), cost paling rendah, efektif dan aman karena tidak menggunakan virus hidup,” tutur Prof Amin.

Mengenai kehalalannya, dia menyatakan dari awal sudah diwanti-wanti oleh Balai POM, sehingga mengupayakan mediumnya untuk membiakkan sel dari virus itu tidak mengandung bahan-bahan dari hewan. “Selain itu, semua tahapan dipastikan memenuhi persyaratan,” ucapnya.

Prof Delfitri Munir menuturkan, bahan vaksin ini dari virus corona yang beredar di Indonesia. Efektivitasnya, dinilai jauh lebih bagus dibanding dengan bahannya yang diperoleh dari luar Indonesia. Akan tetapi, meski sudah divaksin tetap juga harus mematuhi protokol kesehatan pencegahan Covid-19. Jangan pula setelah divaksin nantinya bebas seperti tidak terjadi pandemi.

“Vaksinasi Covid-19 harus didukung dengan kepatuhan masyarakat terhadap protokol kesehatan, yaitu memakai masker, mencuci tangan pakai sabun/hand sanitizer, menjaga jarak serta hindari kerumunan,” pesan akademi Fakultas Kedokteran USU ini.

Diketahui, vaksin Merah Putih diteliti oleh beberapa lembaga termasuk perguruan tinggi. Selain LBM Eijkman, penelitian juga dilakukan oleh Universitas Indonesia, Universitas Gadjah Mada, Universitas Airlangga, Institut Teknologi Bandung, dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). (prn/ris)

MEDAN, SUMUTPOS.CO – Selain vaksinasi Covid-19, ada metode lain yang dapat digunakan untuk membantu kesembuhan pasien Covid-19. Yaitu melalui donor plasma konvalesen.

PLASMA KONVALESEN: Terapi plasma konvalesen saat ini bisa diakses masyarakat melalui UDD PMI Kota Medan. Petugas telah mendapatkan pelatihan di UDD Pusat.

“Plasma konvalesen adalah plasma darah yang mengandung antibodi Covid-19 yang berasal dari pasien yang sudah dinyatakan sembuh dari penyakit Covid-19. Plasma tersebut bisa mengeliminasi virus sehingga diharapkan infeksi bisa terputus dan meningkatkann

antibodi pada penderita Covid-19,” kata Kepala Unit Donor Darah (UDD) Palang Merah Indonesia (PMI) Kota Medan, dr Harry Butarbutar, kepada wartawan di Medan, Minggu (21/2).

Artinya, vaksinasi berbeda tujuan dengan plasma konvalesen. Vaksinasi untuk orang yang sehat. Sedangkan plasma konvalesen adalah untuk terapi pasien yang sedang dirawat dengan penyakit Covid-19. “Tidak ada hubungan antara vaksinasi dengan plasma konvalesen ini,” katanya.

Donor plasma konvalesen ini, sebut dia, dapat dilakukan bagi penyintas Covid-19, minimal dua minggu sampai dengan tiga bulan sejak dinyatakan sembuh dengan hasil swab RT-PCR negatif. Jarak untuk mendonorkan plasmanya kembali adalah dua minggu dari donor terakhir. Pendonor juga tidak memiliki riwayat penyakit Stroke, Hipertensi, Diabetes Mellitus dan penyakit metabolik lain. Usia 18-60 tahun dengna berat minimal 55 Kg.

“Diutamakan laki-laki ataupun wanita yang belum pernah hamil serta mengikuti prosedur dan tahap-tahap pemeriksaan,” katanya.

Donor plasma ini sendiri hanya diberikan kepada pasien yang dirawat di rumah sakit karena terinfeksi Covid-19 sedang ke berat, berdasarkan penilaian dokter dengan mempertimbangkan kondisi pasien.

Karenanya, ia mengajak para penyintas atau masyarakat yang telah sembuh dari Covid-19 untuk melakukan donor plasma konvalesen guna membantu penyembuhan pasien lainnya.

Saat ini terapi tersebut sudah bisa diakses masyarakat melalui UDD PMI Kota Medan. Selain sarana dan prasarana yang dipastikan steril, petugas pelayanan plasma konvalesen juga telah mendapatkan pelatihan di UDD Pusat.

“Karena itu, para pendonor plasma konvalesen jangan ragu untuk mendonorkan plasmanya. Tidak ada ruginya, tidak menimbulkan penyakit, waktu pengambilan cuma setengah jam dan tidak mengurangi darah karena cuma plasmanya mau diambil. Tidak menurunkan HB (hemoglobin), tidak membuat kepala pusing. Manfaatnya malah lebih besar,” pungkasnya.

Stok Plasma Konvalesen Sedikit

Terpisah, Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan RI Muhadjir Effendy, mengungkap stok plasma konvalesen untuk pasien Covid-19 masih sedikit. Penyebab utama adalah kesulitan mencocokkan golongan darah antara pendonor dengan pasien Covid-19 sebagai penerima donor plasma konvalesen. Secara nasional, saat ini hanya 159 kantong plasma dengan berbagai macam jenis golongan darah.

Sementara itu, pasien COVID-19 yang antre mendapatkan donor plasma konvalesen ada 626 orang dan yang sudah didistribusikan (plasma konvalesen) mencapai 17.133 kantong.

“Stok plasma kita masih sangat kurang. Karena itu, kita sedang kampanye besar-besaran untuk menarik para penyintas COVID-19 agar bersedia mendonorkan plasmanya,” tutur Muhadjir saat memantau kegiatan donor plasma konvalesen di Kantor PLN Kota Surabaya dan UDD PMI Kota Surabaya, Jawa Timur, ditulis Minggu (21/2).

Terapi plasma konvalesen diyakini efektif dalam upaya penyembuhan pasien COVID-19. Berdasarkan laporan dari rumah sakit yang telah melaksanakan terapi plasma konvalesen, efektivitas plasma terhadap pasien Covid-19 bergejala ringan hingga sedang bisa mencapai hampir 100 persen.

Untuk pelaksanaan terapi plasma konvalesen, menurut Muhadjir Effendy harus tepat agar memeroleh hasil yang efektif. “Saya meminta kepada petugas kesehatan untuk tidak menunda-nunda pasien COVID-19 mendapatkan plasma. Jangan ditunggu sampai (gejala) berat, baru kemudian diplasma, apalagi sudah kritis,” katanya melalui keterangan resmi.

Vaksin Merah Putih Butuh Setahun

Sementara itu, Lembaga Biologi Molekuler (LBM) Eijkman masih terus melakukan pengembangan vaksin Merah Putih. Vaksin Covid-19 buatan dalam negeri ini jadi harapan besar dalam penanganan pandemi di Indonesia.

Kepala LBM Eijkman, Prof dr Amin Soebandrio menyampaikan, kalau situasi non pandemi, uji klinis fase 1 sekitar enam bulan dan begitu pula fase 2 juga 6 bulan lamanya. Sedangkan fase 3, waktunya cukup lama sekitar 3 sampai 5 tahun. Namun, kalau situasi pandemi maka bisa selesai sekitar 6 sampai 8 bulan.

“Meski sudah dipercepat karena masa pandemi, tetapi tetap juga membutuhkan waktu cukup lama. Kami membutuhkan waktu sekitar 1 tahun lagi untuk sampai uji klinis fase 3 dan mendapatkan setidak-tidaknya EUA (Emergency Use Authorization) dari Balai POM,” ujar Prof Amin yang juga ketua tim pengembangan vaksin melalui streaming video youtube saat ngobrol sehat bersama Prof Delfitri Munir belum lama ini.

Dikatakan Prof Amin, walau waktu penelitian vaksin dipersingkat, pihaknya tetap dikawal oleh Balai POM, MUI (Majelis Ulama Indonesia) dan lembaga terkait lainnya. Bahkan, juga sempat dipanggil Presiden Joko Widodo untuk menyampaikan perkembangan penelitian vaksin Merah Putih ini. “Presiden (Joko Widodo) berpesan, bahwa vaksin ini harus dijamin aman untuk orang Indonesia. Makanya, semua proses atau tahapan yang dilakukan memenuhi persyaratan itu,” katanya.

Prof Amin menjelaskan, pengembangan atau penelitian vaksin ini dimulai dari April 2020. Ada dua komponen utama yang digunakan dari virus corona yang sudah dimatikan, yaitu Protein Spike (Protein S) dan Protein Nukleokapsida (Protein N).

“Pengembangan vaksin Merah Putih yang kami lakukan dengan platform protein rekombinan. Kami mengambil satu isolat virus corona yang beredar di Indonesia. Kemudian, kita pelajari genomnya, kita identifikasi Protein S dan Protein N. Lalu, dengan teknologi tertentu kita bisa mengamplifikasi (mengembangkan). Artinya, kedua gen tersebut (Protein S dan Protein N) supaya bisa di-cloud. Setelah diamplifikasi, kemudian kita masukkan ke dalam plasmid dan seterusnya,” terang dia.

Ia menyebutkan, saat ini sudah bisa menghasilkan protein yang didesain tersebut, tinggal diverifikasi dan diuji pada hewan. Akhir Maret diharapkan akan menyerahkan bibit vaksinnya itu ke PT Biofarma. “Proses selanjutnya nanti dilakukan oleh Biofarma. Sebab untuk memulai uji pra klinis serta uji klinis fase 1-3, bahan vaksin tersebut harus diformulasikan dan dikemas untuk bisa disuntikkan ke manusia. Ini hanya boleh dilakukan dengan fasilitas yang tersertifikasi CPOB (Cara Pembuatan Obat yang Baik), dan itu hanya di Biofarma,” paparnya.

Terkait efek samping dari vaksin buatan Indonesia ini, Prof Amin menuturkan, reaksi alergi atau efek samping yang terjadi sebagian besar bukan terhadap komponen utama vaksin. Tapi, terhadap komponen tambahan lain. “Vaksin ini tidak hanya terdiri dari bahan aktifnya saja, melainkan juga ada buffer-nya (larutan kimia), stabilizer (senyawa yang dipakai untuk mencegah terjadinya reaksi kimia), antibiotik hingga pengawet. Jadi, bisanya alergi itu munculnya dari situ (komponen tambahan vaksin),” sebutnya.

Kendati demikian, sambung dia, vaksin Merah Putih insyaallah lebih aman, karena itu menjadi salah satu alasan juga memilih pengembangan vaksin dengan platform protein rekombinan. “Belajar dari pengalaman, vaksin-vaksin yang menggunakan teknologi tersebut dianggap paling tinggi yield-nya (manfaat), cost paling rendah, efektif dan aman karena tidak menggunakan virus hidup,” tutur Prof Amin.

Mengenai kehalalannya, dia menyatakan dari awal sudah diwanti-wanti oleh Balai POM, sehingga mengupayakan mediumnya untuk membiakkan sel dari virus itu tidak mengandung bahan-bahan dari hewan. “Selain itu, semua tahapan dipastikan memenuhi persyaratan,” ucapnya.

Prof Delfitri Munir menuturkan, bahan vaksin ini dari virus corona yang beredar di Indonesia. Efektivitasnya, dinilai jauh lebih bagus dibanding dengan bahannya yang diperoleh dari luar Indonesia. Akan tetapi, meski sudah divaksin tetap juga harus mematuhi protokol kesehatan pencegahan Covid-19. Jangan pula setelah divaksin nantinya bebas seperti tidak terjadi pandemi.

“Vaksinasi Covid-19 harus didukung dengan kepatuhan masyarakat terhadap protokol kesehatan, yaitu memakai masker, mencuci tangan pakai sabun/hand sanitizer, menjaga jarak serta hindari kerumunan,” pesan akademi Fakultas Kedokteran USU ini.

Diketahui, vaksin Merah Putih diteliti oleh beberapa lembaga termasuk perguruan tinggi. Selain LBM Eijkman, penelitian juga dilakukan oleh Universitas Indonesia, Universitas Gadjah Mada, Universitas Airlangga, Institut Teknologi Bandung, dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). (prn/ris)

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/