27 C
Medan
Wednesday, July 3, 2024

20,3 Persen Anak Sekolah Merokok

Merokok-Ilustrasi
Merokok-Ilustrasi

JAKARTRA, SUMUTPOS.CO – Komite III DPD RI menilai wacana pemerintah untuk menaikkan harga rokok Rp50 ribu per bungkus menjadi hal yang patut direalisasikan. Namun, selain menaikkan harga rokok, pemerintah juga diminta lebih tegas dalam mengatur tata niaga rokok yang dinilai semrawut.

Wakil Ketua Komite III DPD Fahira Fahmi Idris menilai, dengan tata niaga rokok saat ini, siapapun dan kapapun orang bisa membeli rokok. Untuk itu, pemerintah diminta menindak tegas berbagai pelanggaran terkait rokok terutama kepada para penjual yang masih seenaknya menjual rokok kepada anak-anak.

”Di negara ini, rokok ada di mana-mana. Mulai dari lampu merah, warung hingga supermarket. Bisa dibeli dan dikonsumsi siapa saja, termasuk anak SD sekalipun,” kata Fahira di Jakarta, kemarin (21/8). Menurut Fahira, jika pemerintah membiarkan peredaran rokok tidak terkendali seperti saat ini, artinya bangsa ini sudah melanggar undang-undang perlindungan anak. Aturan UU Perlindungan Anak mewajibkan pemerintah menyelenggarakan upaya kesehatan yang komprehensif bagi anak, agar setiap anak memperoleh derajat kesehatan yang optimal.

”Jadi menaikkan harga rokok saja tidak cukup, pemerintah harus menindak tegas para penjual rokok kepada anak,” ujar Fahira.

Fahira mengungkapkan, berdasarkan berbagai suvei, jumlah anak-anak yang mengosumsi rokok di Indonesia sudah masuk tahap yang mengkhawatirkan. Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Kementerian Kesehatan, perokok pemula (usia 10-14 tahun) naik dua kali lipat lebih dalam 10 tahun terakhir.

Jika pada 2001 hanya 5,9 persen, pada 2010 naik menjadi 17,5 persen. Pada 2013, Riskesdas menemukan fakta konsumsi rokok pada kelompok usia 10-14 tahun mencapai sekitar delapan batang per hari atau 240 batang sebulan. Artinya, anak-anak kita sudah menghabiskan Rp120 ribu hanya untuk membeli rokok.

Tidak heran, jika Global Youth Tobbaco Survei, pada 2014, menempatkan Indonesia sebagai salah satu negara dengan jumlah perokok anak terbesar. Di mana 20,3 persen anak sekolah usia 13-15 tahun sudah merokok. Hasil riset ini juga tidak jauh berbeda dengan Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2015 yang menyatakan, penduduk Indonesia berusia 15 tahun ke atas yang mengonsumsi rokok sebesar 22,57 persen di perkotaan, dan 25,05 persen di pedesaan. Jumlah batang rokok yang dihabiskan selama seminggu mencapai 76 batang di perkotaan dan 80 batang di pedesaan.

”Mulai 2020 sampai 2030, kita dilimpahi bonus demografi, Indonesia akan diisi lebih banyak penduduk usia produktif. Tetapi jika kondisi ini dibiarkan, negeri ini akan diisi oleh orang-orang berpenyakit kronis,” tukas Senator Jakarta ini mengingatkan.

Menurut Fahira, berbagai regulasi terkait rokok mulai dari Peraturan Pemerintah (PP) hingga Peraturan Kepala Daerah belum maksimal dijalankan. Fahira mencontohkan PP Nomor 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan sudah tegas melarang setiap orang menyuruh anak di bawah usia 18 tahun untuk menjual, membeli, atau mengonsumsi rokok.

”Fakta yang terjadi di lapangan, larangan ini dilanggar dan sama sekali tidak ada sanksi bagi yang melanggar. Berbagai peraturan daerah yang melarang merokok di fasilitas umum juga banyak dilanggar karena tidak ada penindakan hukum yang menjerakan,” tandasnya.

Anggota Komisi IX DPR Saleh Daulay mengapresiasi adanya wacana menaikkan harga rokok. Menurutnya, ada political will dari pemerintah untuk mengurangi jumlah perokok di Indonesia.

Kenaikan harga rokok itu diharapkan menjadi momentum bagi para perokok untuk berhenti. Minimal mengurangi konsumsi rokok.

“Secara pribadi, saya setuju dengan kebijakan menaikkan harga rokok. Harapannya, masyarakat bisa memaknai kebijakan secara positif,” kata Saleh.

Namun demikian, politikus PAN ini meminta pemerintah melakukan kajian yang serius terhadap dampak sosial dan ekonomi akibat kenaikan tersebut. Jangan sampai, kenaikan harga rokok hanya menguntungkan pengusaha. Pemerintah harus memikirkan agar para petani tembakau juga dapat meningkatkan kesejahteraan mereka.

“Jangan sampai kenaikan harga rokok hanya ditujukan untuk meningkatkan pendapatan pemerintah dari cukai. Kalau itu tujuannya, berarti itu sifatnya sangat temporal dan sektoral. Harus dibangun argumen logis bahwa kenaikan itu juga dimaksudkan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat tentang bahaya rokok bagi kesehatan,” tutur Saleh.

Komisi IX, imbuhnya, belum membicarakan wacana ini secara khusus karena baru saja digulirkan. Sedangkan masa persidangan baru dibuka empat hari yang lalu. “Kalau informal antar sesama anggota sih sudah dibicarakan. Tetapi pembicaraan dalam rapat formal belum ada sama sekali. Yang jelas, ada banyak anggota yang tidak keberatan dengan kenaikan harga rokok tersebut,” ungkap politikus asal Sumut ini.

Merokok-Ilustrasi
Merokok-Ilustrasi

JAKARTRA, SUMUTPOS.CO – Komite III DPD RI menilai wacana pemerintah untuk menaikkan harga rokok Rp50 ribu per bungkus menjadi hal yang patut direalisasikan. Namun, selain menaikkan harga rokok, pemerintah juga diminta lebih tegas dalam mengatur tata niaga rokok yang dinilai semrawut.

Wakil Ketua Komite III DPD Fahira Fahmi Idris menilai, dengan tata niaga rokok saat ini, siapapun dan kapapun orang bisa membeli rokok. Untuk itu, pemerintah diminta menindak tegas berbagai pelanggaran terkait rokok terutama kepada para penjual yang masih seenaknya menjual rokok kepada anak-anak.

”Di negara ini, rokok ada di mana-mana. Mulai dari lampu merah, warung hingga supermarket. Bisa dibeli dan dikonsumsi siapa saja, termasuk anak SD sekalipun,” kata Fahira di Jakarta, kemarin (21/8). Menurut Fahira, jika pemerintah membiarkan peredaran rokok tidak terkendali seperti saat ini, artinya bangsa ini sudah melanggar undang-undang perlindungan anak. Aturan UU Perlindungan Anak mewajibkan pemerintah menyelenggarakan upaya kesehatan yang komprehensif bagi anak, agar setiap anak memperoleh derajat kesehatan yang optimal.

”Jadi menaikkan harga rokok saja tidak cukup, pemerintah harus menindak tegas para penjual rokok kepada anak,” ujar Fahira.

Fahira mengungkapkan, berdasarkan berbagai suvei, jumlah anak-anak yang mengosumsi rokok di Indonesia sudah masuk tahap yang mengkhawatirkan. Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Kementerian Kesehatan, perokok pemula (usia 10-14 tahun) naik dua kali lipat lebih dalam 10 tahun terakhir.

Jika pada 2001 hanya 5,9 persen, pada 2010 naik menjadi 17,5 persen. Pada 2013, Riskesdas menemukan fakta konsumsi rokok pada kelompok usia 10-14 tahun mencapai sekitar delapan batang per hari atau 240 batang sebulan. Artinya, anak-anak kita sudah menghabiskan Rp120 ribu hanya untuk membeli rokok.

Tidak heran, jika Global Youth Tobbaco Survei, pada 2014, menempatkan Indonesia sebagai salah satu negara dengan jumlah perokok anak terbesar. Di mana 20,3 persen anak sekolah usia 13-15 tahun sudah merokok. Hasil riset ini juga tidak jauh berbeda dengan Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2015 yang menyatakan, penduduk Indonesia berusia 15 tahun ke atas yang mengonsumsi rokok sebesar 22,57 persen di perkotaan, dan 25,05 persen di pedesaan. Jumlah batang rokok yang dihabiskan selama seminggu mencapai 76 batang di perkotaan dan 80 batang di pedesaan.

”Mulai 2020 sampai 2030, kita dilimpahi bonus demografi, Indonesia akan diisi lebih banyak penduduk usia produktif. Tetapi jika kondisi ini dibiarkan, negeri ini akan diisi oleh orang-orang berpenyakit kronis,” tukas Senator Jakarta ini mengingatkan.

Menurut Fahira, berbagai regulasi terkait rokok mulai dari Peraturan Pemerintah (PP) hingga Peraturan Kepala Daerah belum maksimal dijalankan. Fahira mencontohkan PP Nomor 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan sudah tegas melarang setiap orang menyuruh anak di bawah usia 18 tahun untuk menjual, membeli, atau mengonsumsi rokok.

”Fakta yang terjadi di lapangan, larangan ini dilanggar dan sama sekali tidak ada sanksi bagi yang melanggar. Berbagai peraturan daerah yang melarang merokok di fasilitas umum juga banyak dilanggar karena tidak ada penindakan hukum yang menjerakan,” tandasnya.

Anggota Komisi IX DPR Saleh Daulay mengapresiasi adanya wacana menaikkan harga rokok. Menurutnya, ada political will dari pemerintah untuk mengurangi jumlah perokok di Indonesia.

Kenaikan harga rokok itu diharapkan menjadi momentum bagi para perokok untuk berhenti. Minimal mengurangi konsumsi rokok.

“Secara pribadi, saya setuju dengan kebijakan menaikkan harga rokok. Harapannya, masyarakat bisa memaknai kebijakan secara positif,” kata Saleh.

Namun demikian, politikus PAN ini meminta pemerintah melakukan kajian yang serius terhadap dampak sosial dan ekonomi akibat kenaikan tersebut. Jangan sampai, kenaikan harga rokok hanya menguntungkan pengusaha. Pemerintah harus memikirkan agar para petani tembakau juga dapat meningkatkan kesejahteraan mereka.

“Jangan sampai kenaikan harga rokok hanya ditujukan untuk meningkatkan pendapatan pemerintah dari cukai. Kalau itu tujuannya, berarti itu sifatnya sangat temporal dan sektoral. Harus dibangun argumen logis bahwa kenaikan itu juga dimaksudkan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat tentang bahaya rokok bagi kesehatan,” tutur Saleh.

Komisi IX, imbuhnya, belum membicarakan wacana ini secara khusus karena baru saja digulirkan. Sedangkan masa persidangan baru dibuka empat hari yang lalu. “Kalau informal antar sesama anggota sih sudah dibicarakan. Tetapi pembicaraan dalam rapat formal belum ada sama sekali. Yang jelas, ada banyak anggota yang tidak keberatan dengan kenaikan harga rokok tersebut,” ungkap politikus asal Sumut ini.

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/