26 C
Medan
Saturday, November 23, 2024
spot_img

20,3 Persen Anak Sekolah Merokok

Rakyat Kalbar/JPNN Harga Rokok-Ilustrasi
Rakyat Kalbar/JPNN
Harga Rokok-Ilustrasi

Ketua DPR RI, Ade Komarudin juga setuju dengan wacana kenaikan harga rokok sampai Rp50.000 per bungkus. Sebab menurut Ade, harga rokok mahal dapat mengurangi konsumsi rokok.

“Saya setuju harga rokok naik sebagai salah satu upaya mengurangi konsumsi rokok,” kata Ade.

Manfaat lainnya, ujar Akom -sapaan Ade Komarudin, pendapatan negara akan bertambah dari cukai rokok.

“Hitung-hitung, untuk tambahan APBN,” tegasnya.

Selain menambah APBN, Akom juga menghubungkannya dengan efisiensi penggunaan dana BPJS Kesehatan yang bersumber dari Negara. “Kalau konsumsi rokok oleh masyarakat berkurang, asumsinya akan semakin berkurang orang sakit yang disebabkan oleh nikotin yag ada pada tembakau. Kalau yang sakit berkurang, tentu penggunaan dana BPJS Kesehatan berkurang juga,” imbuh politikus Partai Golkar itu.

Wacana kenaikan harga rokok turut disambut baik Komnas Pengendalian Tembakau. Dukungan diberikan karena kenaikan harga ini dinilai dapat menjembatani masyarakat miskin agar lebih sejahtera.

Pengurus Komnas Pengendalian Tembakau Tulus Abadi menjelaskan, kenaikan harga ini pasti turut dibarengi dengan penurunan tingkat konsumsi rokok di rumah tangga miskin. Pemikiran ini sangat mungkin, karena hampir 70 persen konsumsi rokok justru menjerat rumah tangga miskin.

“Data BPS setiap tahunnya menujukkan bahwa pemicu kemiskinan di rumah tangga miskin adalah beras dan rokok. Dengan harga rokok mahal, keterjangkaun mereka terhadap rokok tentu akan turun,” ujar Tulus.

Dengan penurunan konsumsi rokok ini, lanjut dia, maka ada efek positif terhadap kesejahteraan dan kesehatan mereka. Budget untuk membeli rokok langsung bisa dikonversi untuk membeli bahan pangan.

Keuntungan jelas bukan hanya buat masyarakat. Menurutnya, negara juga akan mendapat benefit. Dengan harga rokok mahal, maka pendapatan cukai bisa meningkat 100 persen. Menurutnya, pemerintah tidak perlu menghawatirkan soal isu perusahaan bangkrut dan adanaya PHK. Sebab, itu tidak akan terjadi.

”Harga naik tidak membuat mereka bangkrut. Adanya PHK buruh pun bukan lantaran itu, tapi pihak perusahaan mengganti tenaga buruh dengan mesin,” tutur pria yang juga Ketua YLKI itu.

Kenaikan inipun didorong untuk segera direalisasikan. Dia mengatakan, sudah seharusnya rokok dijual mahal sebagai instrumen pembatasan, pengendalian serta proteksi terhadap rumah tangga miskin. Apalagi cukai dan harga rokok di Indonesia saat ini tergolong paling rendah di dunia. Di beberapa negata maju, harga rokok sudah di bandrol lebih dari Rp 100 ribu. Sayangnya di Indonesia masih di angka Rp 12 ribu. Murahnya harga rokok ini yang akhirnya membuat warga hingga anak-anak dengan mudah mendapatkannya untuk dikonsumsi.

Head of Regulatory Affairs, International Trade and Communications PT HM Sampoerna Tbk (Sampoerna) Elvira Lianita, kenaikan harga drastis maupun kenaikan cukai secara eksesif bukan merupakan langkah bijaksana. Karena, setiap kebijakan yang berkaitan dengan harga dan cukai rokok, perlu mempertimbangkan banyak aspek yang cukup komprehensif.

“Aspek tersebut terdiri dari seluruh mata rantai industri tembakau nasional (petani, pekerja, pabrikan, pedagang dan konsumen), sekaligus juga harus mempertimbangkan kondisi industri dan daya beli masyarakat saat ini,” kata Elvira melalui rilis kepada media di Jakarta, Minggu (21/8).

Elvira bilang, kebijakan cukai yang terlalu tinggi bakal mendorong harga rokok menjadi mahal, sehingga tidak sesuai dengan daya beli masyarakat. Jika harga rokok mahal, lanjutnya, maka kesempatan ini akan digunakan oleh produk rokok ilegal yang dijual dengan harga sangat murah. Ini bisa terjadi, lantaran industri rokok ilegal tersebut tidak membayar cukai.

Untuk diketahui, catatan pentingnya adalah dengan tingkat cukai saat ini, perdagangan rokok Ilegal mencapai 11,7 persen. Akibatnya, kerugian negara ditaksir mencapai Rp9 triliun (berdasarkan studi dari beberapa Universitas nasional).

“Hal ini tentu kontraproduktif dengan upaya pengendalian konsumsi rokok, peningkatan penerimaan negara, dan perlindungan tenaga kerja,” ungkapnya.

Terkait dengan harga rokok di Indonesia yang dibandingkan dengan negara-negara lain, maka perlu dilakukan kajian yang menghitung daya beli masyarakat di masing-masing negara.

Jika kita membandingkan harga rokok dengan pendapatan domestik bruto (PDB) perkapita di beberapa negara, maka harga rokok di Indonesia lebih tinggi dibandingkan dengan negara tetangga seperti Malaysia dan Singapura. (jpg/adz)

Rakyat Kalbar/JPNN Harga Rokok-Ilustrasi
Rakyat Kalbar/JPNN
Harga Rokok-Ilustrasi

Ketua DPR RI, Ade Komarudin juga setuju dengan wacana kenaikan harga rokok sampai Rp50.000 per bungkus. Sebab menurut Ade, harga rokok mahal dapat mengurangi konsumsi rokok.

“Saya setuju harga rokok naik sebagai salah satu upaya mengurangi konsumsi rokok,” kata Ade.

Manfaat lainnya, ujar Akom -sapaan Ade Komarudin, pendapatan negara akan bertambah dari cukai rokok.

“Hitung-hitung, untuk tambahan APBN,” tegasnya.

Selain menambah APBN, Akom juga menghubungkannya dengan efisiensi penggunaan dana BPJS Kesehatan yang bersumber dari Negara. “Kalau konsumsi rokok oleh masyarakat berkurang, asumsinya akan semakin berkurang orang sakit yang disebabkan oleh nikotin yag ada pada tembakau. Kalau yang sakit berkurang, tentu penggunaan dana BPJS Kesehatan berkurang juga,” imbuh politikus Partai Golkar itu.

Wacana kenaikan harga rokok turut disambut baik Komnas Pengendalian Tembakau. Dukungan diberikan karena kenaikan harga ini dinilai dapat menjembatani masyarakat miskin agar lebih sejahtera.

Pengurus Komnas Pengendalian Tembakau Tulus Abadi menjelaskan, kenaikan harga ini pasti turut dibarengi dengan penurunan tingkat konsumsi rokok di rumah tangga miskin. Pemikiran ini sangat mungkin, karena hampir 70 persen konsumsi rokok justru menjerat rumah tangga miskin.

“Data BPS setiap tahunnya menujukkan bahwa pemicu kemiskinan di rumah tangga miskin adalah beras dan rokok. Dengan harga rokok mahal, keterjangkaun mereka terhadap rokok tentu akan turun,” ujar Tulus.

Dengan penurunan konsumsi rokok ini, lanjut dia, maka ada efek positif terhadap kesejahteraan dan kesehatan mereka. Budget untuk membeli rokok langsung bisa dikonversi untuk membeli bahan pangan.

Keuntungan jelas bukan hanya buat masyarakat. Menurutnya, negara juga akan mendapat benefit. Dengan harga rokok mahal, maka pendapatan cukai bisa meningkat 100 persen. Menurutnya, pemerintah tidak perlu menghawatirkan soal isu perusahaan bangkrut dan adanaya PHK. Sebab, itu tidak akan terjadi.

”Harga naik tidak membuat mereka bangkrut. Adanya PHK buruh pun bukan lantaran itu, tapi pihak perusahaan mengganti tenaga buruh dengan mesin,” tutur pria yang juga Ketua YLKI itu.

Kenaikan inipun didorong untuk segera direalisasikan. Dia mengatakan, sudah seharusnya rokok dijual mahal sebagai instrumen pembatasan, pengendalian serta proteksi terhadap rumah tangga miskin. Apalagi cukai dan harga rokok di Indonesia saat ini tergolong paling rendah di dunia. Di beberapa negata maju, harga rokok sudah di bandrol lebih dari Rp 100 ribu. Sayangnya di Indonesia masih di angka Rp 12 ribu. Murahnya harga rokok ini yang akhirnya membuat warga hingga anak-anak dengan mudah mendapatkannya untuk dikonsumsi.

Head of Regulatory Affairs, International Trade and Communications PT HM Sampoerna Tbk (Sampoerna) Elvira Lianita, kenaikan harga drastis maupun kenaikan cukai secara eksesif bukan merupakan langkah bijaksana. Karena, setiap kebijakan yang berkaitan dengan harga dan cukai rokok, perlu mempertimbangkan banyak aspek yang cukup komprehensif.

“Aspek tersebut terdiri dari seluruh mata rantai industri tembakau nasional (petani, pekerja, pabrikan, pedagang dan konsumen), sekaligus juga harus mempertimbangkan kondisi industri dan daya beli masyarakat saat ini,” kata Elvira melalui rilis kepada media di Jakarta, Minggu (21/8).

Elvira bilang, kebijakan cukai yang terlalu tinggi bakal mendorong harga rokok menjadi mahal, sehingga tidak sesuai dengan daya beli masyarakat. Jika harga rokok mahal, lanjutnya, maka kesempatan ini akan digunakan oleh produk rokok ilegal yang dijual dengan harga sangat murah. Ini bisa terjadi, lantaran industri rokok ilegal tersebut tidak membayar cukai.

Untuk diketahui, catatan pentingnya adalah dengan tingkat cukai saat ini, perdagangan rokok Ilegal mencapai 11,7 persen. Akibatnya, kerugian negara ditaksir mencapai Rp9 triliun (berdasarkan studi dari beberapa Universitas nasional).

“Hal ini tentu kontraproduktif dengan upaya pengendalian konsumsi rokok, peningkatan penerimaan negara, dan perlindungan tenaga kerja,” ungkapnya.

Terkait dengan harga rokok di Indonesia yang dibandingkan dengan negara-negara lain, maka perlu dilakukan kajian yang menghitung daya beli masyarakat di masing-masing negara.

Jika kita membandingkan harga rokok dengan pendapatan domestik bruto (PDB) perkapita di beberapa negara, maka harga rokok di Indonesia lebih tinggi dibandingkan dengan negara tetangga seperti Malaysia dan Singapura. (jpg/adz)

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/