Konflik tanah antara rakyat dengan pemerintah serta pengusaha semakin sering terjadi. Anehnya, konflik itu tak melahirkan penyelesaian. Cendrung rakyat menjadi korban dan dalam memperjuangkan tanah adatnya.
Pernyatan itu disampaikan Ketua Wilayah Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia (ICMI) Sumut, Prof DR HM Arif Nasution MA, Kemarin (21/12) ketika ditemui di kediamannya di Jalan Tri Darma, Medan.
Menurut dia, konflik tanah ini muncul diakibatkan berbagai hal, antara lain pemerintah dalam hal ini intansi berwenang tak melakukan pengukuran secara fakta dan tak mengindahkan akurasi kondisi di lapangan. Kemudian dalam penerbitan izin maupun sertifikat tanah tak meninjau aspek sejarah dan sosial kemasyarakatan. Hal lainnya, diakibatkan izin tanah dikeluarkan langsung oleh Pemerintah Pusat, dan tak dilandasi garisan koordinasi dengan Pemerintah Daerah.
Dia juga menyebutkan, keputusan yang dibuat oleh pemerintah syarat dengan korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN), akhirnya rakyat kesulitan mencari tempat mencari makan. Kini, muncullah yang disebut konflik dan ketegangan yang tak tuntas.
“Dampak yang paling fatal adalah memunculnya disintegrasi (perpecahan, Red) bangsa, yang rakyatnya tak lagi mempercayai pemerintahannya, baik ke Pemerintah Pusat maupun di daerah. Apalagi pihak pengusaha mempergunakan sewenang-wenang alat penegak hukum, seperti terjadi di Paluta, Palas dan beberapa daerah lainnya,” ujarnya.
Berdasarkan data, Badan Pertanahan Nasional (BPN) tahun 2011 mencatat telah terjadi 2.791 kasus pertanahan. Khusus di Sumut tercatat sebanyak 825 kasus sengketa lebih dari 1 juta hektar tanah, jumlah tersebut cenderung bertambah seiring munculnya kasus sengketa tanah baru, seperti adanya pembukaan wilayah hutan baru.
Secara khusus, konflik tanah terbesar terjadi di PTPN II antara warga dengan perusahaan perkebunan tersebut, yakni sebanyak 368 gugatan. Hal itu terjadi karena dahulunya wilayah PTPN II berada di sekitar pemukiman masyarakat, dan tak jarang banyak tanah warisan masyarakat yang dikuasai negara.
Hal lainnya terjadi akibat munculnya SK Menteri Kehutanan No 44/2005 tentang kawasan hutan di Sumut cukup kontroversial , pasalnya dalam SK tersebut sejumlah perkantoran pemerintahan seperti Kantor Bupati Tobasa, Simalungun dan Humbahas ditetapkan berada dalam wilayah hutan. Bukan itu saja, tanah masyarakat yang diwarisi orangtuanya untuk bertani juga diklaim sebagai wilayah hutan.
Selain kawasan hutan menjadi peta konflik, ada beberapa kawasan pinggiran pantai yang juga sengketa. Seperti terjadi di Sei Lepan, Langkat atas tuntutan masyarakat agar pemerintah menentukan batas Kawasan Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) karena sudah ada pemukiman dan perkebunan rakyat yang dinyatakan masuk dalam wilayah hutan.
Sejumlah persoalan tersebut sebaiknya segera dihempang agar tak terjadinya konflik di berkepanjangan di sejumlah daerah. Untuk itu, Arif menyarankan pemerintah harus meninjau dan merevisi kembali terhadap putusan yang pernah dikeluarkan. Kemudian, segala putusan tentang tanah harus melibatkan masyarakat adat atau hak-hak ulayat.
“ICMI Sumut siap memberikan bantuan pemikiran untuk keluar dari pertikaian yang terjadi, karena semakin panjang konflik akan kian sulit dicari solusinya, segera tuntaskan persoalan tanah di Sumut,” sarannya.(ril)