30 C
Medan
Monday, October 28, 2024
spot_img

Ada Dermaga Mewah di Hutan Bakau

Sambungan dari Kalau tak Lapor, Kami Hajar di Jembatan

Menyusuri Pintu Masuk Narkoba dan Barang Ilegal Lainnya di Sumatera Utara (2)

Perahu yang dikemudikan Bang Ful melaju pelan. Beberapa rumah di pinggir sungai kecil berair asin di kawasan Parit Belang terlihat jelas. Penghuninya tampak beraktivitas layaknya nelayan kebanyakan; membenahi jaring hingga menambal perahu mereka.

Herdiansyah-Ramadhan Batubara, Medan

Sumut Pos bersama dua orang teman lainnya duduk dalam diam. Perjalanan menuju jalur-jalur penyeludupan pun dimulai.

Lepas limapuluh meter, Bang Ful mulai menambah kecepatan perahu bermotornya. Di saat bersamaan, kami pun mulai memasuki kawasan yang menawarkan pohon bakau di pinggir sungai. Rumah penduduk semakin jarang. Pemandangan cukup menarik. Namun sayangnya, ketika semakin diperhatikan hutan bakau itu, yang tampak hanya sekadar barisan pohon bakau; bukan hutan. Bagaimana tidak, pohon bakau hanya di barisan depan pinggir sungai saja, pada barisan kedua dan seterusnya malah pohon sawit yang berbaris. Tapi, sudahlah, penusuran ini tak akan berhenti hanya gara-gara itu. Setidak di kawasan ini, Sumut Pos dan rekan terhibur dengan beberapa burung bangau putih.

Tidak ada kesempatan untuk berbincang di perahu ini. Selain perahu yang kecil — setiap ada yang bergerak maka perahu akan goyang — suara mesin perahu juga sangat bising. Praktis, Sumut Pos hanya berharap pada pantauan saja. Ya, tanpa keterangan Wak Ngah dan rekannya yang sepakat dipanggil dengan nama Pak Awang. Sosok terakhir ini diajak bergabung karena dia juga memiliki pengalaman dengan jalur penyeludupan. Dia tidak begitu tua, umurnya masih di bawah Wak Ngah.

Tak lebih dari duapuluh menit kemudian, tiba-tiba Bang Ful mematikan mesin. Perahu melaju begitu saja dan langsung merapat ke sisi kiri sungai ke sebuah dermaga yang sama sekali tidak terurus.

“Ini Paluh Makna,” kata Bang Ful sambil tersenyum.

Sumut Pos berusaha paham. Ya, ini adalah salah satu tempat perahu-perahu merapat, menurunkan muatan tanpa melewati jembatan di Parit Belang. Posisi dermaga ini memang cukup mencurigakan.Bagaimana tidak, idealnya sebuah dermaga berdiri di tempat yang ramai bukan? Dermaga di Paluh Makna benar-benar berbeda. Secara fisik, dermaga ini memang cukup mewah: dermaganya terbuat dari beton yang kuat, bukan kayu. Pun, ada sebuah bangunan kecil tepat di samping dermaga itu, seperti kantor layaknya sebuah pelabuhan. Tapi, itu tadi, tempat ini begitu sepi. Kiri dan kanan dermaga ini hanyalah pohon bakau. Tak terdengar pula suara kendaraan di darat seperti sepeda motor maupun mobil. Benar-benar dermaga di tengah hutan; tersembunyi dan mencurigakan.

“Ya, beginilah. Dermaga ini memang tak pernah diurus, tak ada yang merapat di sini,” kata Pak Awang.

Wak Ngah tersenyum. “Ya, orang-orang lebih suka merapat di tempat yang ramai. Nelayan kurang suka di sini,” tambah Wak Ngah.
Jika memang begitu, kenapa dermaga ini dibuat? Ketika pertanyaan ini dilontarkan Sumut Pos, tidak ada satu pun yang menjawab. Mereka hanya menggeleng. Bang Ful sibuk senyum-senyum saja. “Pasti ada manfaatnya,” katanya sambil tetap tersenyum.

Lagi-lagi, Sumut Pos berusaha paham dengan yang dimaksud Bang Ful. Lelaki berkulit hitam dengan rambut bergelombang itu semakin menyenangkan. Kalimatnya cukup memberikan gambaran, ya meski hanya sebuah kalimat pendek.

Lalu, Bang Ful menghentikan senyum. Dia pun berdiri, perahu bergoyang. Dia pun menghidupkan lagi mesin perahunya. Perahu kecil dari papan itu kembali melaju.

Menariknya tak jauh dari situ, perahu mencapai belahan sungai, persis pertigaan jalan di darat; bedanya tak ada traffic light. Bang Ful berteriak, sayang suara mesin perahu dan angin yang kencang membuat suaranya hilang. Tapi, tangannya menunjuk ke arah kanan, ke arah belahan sungai sana.
“Hamparan Perak,” teriak Wak Ngah yang duduk di samping Sumut Pos.

Ya, satu lagi kawasan yang dianggap sebagai pintu masuk barang ilegal dan narkoba terlewati. Kami tidak mampir ke sana, kami melaju terus. Jam sudah menujukkan pukul tiga sore. Jika kami mampir, tak terbayang lagi akan sampai ke Kwala Besar Kabupatena Langkat pukul berapa. Perjalanan masih sangat jauh.

Bang Ful mempercepat laju perahunya. Yang namanya perahu kecil, percikan air langsung menyerbu ke dalam perahu. Tapi sudahlah, biarkan saja. Setidaknya, ketika perahu tiba di Belawan, Sumut Pos merasakan sesuatu yang berbeda. Pemandangan pohon bakau, meski pun ada mulai berkurang, berganti dengan rumah-rumah nelayan. Pun, sungai membesar, tidak lagi seperti gang-gang kecil.

Memasuki Belawan, kapal-kapal pun semakin banyak. Di sisi kanan, menara-menara PLTG Belawan mulai terlewati berganti dengan kantor Direktorat Kepolisian Perairan (Ditpolair). Beberapa kapal patroli tampak parkir di dermaganya. Lalu, pemandangan berubah, Pangkalan Utama Angkatan Laut, memberikan pemandangan kapal perang dengan senjata lengkap. Sedikitnya ada tiga kapal perang yang sedang parkir di dermaganya. Lalu, tak lama kemudian, terminal penumpang Pelabuhan Belawan terlewati.

Sepanjang perjalanan di perairan Belawan, Sumut Pos dan rombongan bak artis. Bagaimana tidak, kami tampil sangat berbeda, sama sekali tidak mencerminkan nelayan yang sedang mencari ikan. Beberapa penghuni kapal sedang yang sedang parkir di lautan malah melihat kami dengan dalam; penuh curiga.

Tapi, kami terus melaju. Kini malah semakin berkonsentrasi. Perairan Belawan hari itu sedikit nakal, ombaknya lumayan tinggi. Perahu kecil kami bergoyang hebat. Beruntung, Bang Ful cukup andal. Setiap kali ombak besar datang, dia kurangi kecepatan; jika tetap dilawan, sudah bisa dipastikan kami karam.

Kami melaju semakin jauh, semakin ke tengah. Ombak dan angin cukup merepotkan. Beruntung, kami mendapat hiburan. Tanpa sadar, laju kami diikuti sekawanan camar. Burung-burung itu terus mengikuti, kadang mereka bermanuver di samping perahu. Benar-benar pemandangan yang menarik. Sesaat terlupakan niat untuk menelusuri jalur peredaran barang ilegal dan narkoba. Ya, perjalanan ini seperti wisata bahari saja.
“Tak sampai dua jam lagi kita sampai di Kwala Besar!” teriak Wak Ngah.
Ah…, kenapa diingatkan! (*)

Sambungan dari Kalau tak Lapor, Kami Hajar di Jembatan

Menyusuri Pintu Masuk Narkoba dan Barang Ilegal Lainnya di Sumatera Utara (2)

Perahu yang dikemudikan Bang Ful melaju pelan. Beberapa rumah di pinggir sungai kecil berair asin di kawasan Parit Belang terlihat jelas. Penghuninya tampak beraktivitas layaknya nelayan kebanyakan; membenahi jaring hingga menambal perahu mereka.

Herdiansyah-Ramadhan Batubara, Medan

Sumut Pos bersama dua orang teman lainnya duduk dalam diam. Perjalanan menuju jalur-jalur penyeludupan pun dimulai.

Lepas limapuluh meter, Bang Ful mulai menambah kecepatan perahu bermotornya. Di saat bersamaan, kami pun mulai memasuki kawasan yang menawarkan pohon bakau di pinggir sungai. Rumah penduduk semakin jarang. Pemandangan cukup menarik. Namun sayangnya, ketika semakin diperhatikan hutan bakau itu, yang tampak hanya sekadar barisan pohon bakau; bukan hutan. Bagaimana tidak, pohon bakau hanya di barisan depan pinggir sungai saja, pada barisan kedua dan seterusnya malah pohon sawit yang berbaris. Tapi, sudahlah, penusuran ini tak akan berhenti hanya gara-gara itu. Setidak di kawasan ini, Sumut Pos dan rekan terhibur dengan beberapa burung bangau putih.

Tidak ada kesempatan untuk berbincang di perahu ini. Selain perahu yang kecil — setiap ada yang bergerak maka perahu akan goyang — suara mesin perahu juga sangat bising. Praktis, Sumut Pos hanya berharap pada pantauan saja. Ya, tanpa keterangan Wak Ngah dan rekannya yang sepakat dipanggil dengan nama Pak Awang. Sosok terakhir ini diajak bergabung karena dia juga memiliki pengalaman dengan jalur penyeludupan. Dia tidak begitu tua, umurnya masih di bawah Wak Ngah.

Tak lebih dari duapuluh menit kemudian, tiba-tiba Bang Ful mematikan mesin. Perahu melaju begitu saja dan langsung merapat ke sisi kiri sungai ke sebuah dermaga yang sama sekali tidak terurus.

“Ini Paluh Makna,” kata Bang Ful sambil tersenyum.

Sumut Pos berusaha paham. Ya, ini adalah salah satu tempat perahu-perahu merapat, menurunkan muatan tanpa melewati jembatan di Parit Belang. Posisi dermaga ini memang cukup mencurigakan.Bagaimana tidak, idealnya sebuah dermaga berdiri di tempat yang ramai bukan? Dermaga di Paluh Makna benar-benar berbeda. Secara fisik, dermaga ini memang cukup mewah: dermaganya terbuat dari beton yang kuat, bukan kayu. Pun, ada sebuah bangunan kecil tepat di samping dermaga itu, seperti kantor layaknya sebuah pelabuhan. Tapi, itu tadi, tempat ini begitu sepi. Kiri dan kanan dermaga ini hanyalah pohon bakau. Tak terdengar pula suara kendaraan di darat seperti sepeda motor maupun mobil. Benar-benar dermaga di tengah hutan; tersembunyi dan mencurigakan.

“Ya, beginilah. Dermaga ini memang tak pernah diurus, tak ada yang merapat di sini,” kata Pak Awang.

Wak Ngah tersenyum. “Ya, orang-orang lebih suka merapat di tempat yang ramai. Nelayan kurang suka di sini,” tambah Wak Ngah.
Jika memang begitu, kenapa dermaga ini dibuat? Ketika pertanyaan ini dilontarkan Sumut Pos, tidak ada satu pun yang menjawab. Mereka hanya menggeleng. Bang Ful sibuk senyum-senyum saja. “Pasti ada manfaatnya,” katanya sambil tetap tersenyum.

Lagi-lagi, Sumut Pos berusaha paham dengan yang dimaksud Bang Ful. Lelaki berkulit hitam dengan rambut bergelombang itu semakin menyenangkan. Kalimatnya cukup memberikan gambaran, ya meski hanya sebuah kalimat pendek.

Lalu, Bang Ful menghentikan senyum. Dia pun berdiri, perahu bergoyang. Dia pun menghidupkan lagi mesin perahunya. Perahu kecil dari papan itu kembali melaju.

Menariknya tak jauh dari situ, perahu mencapai belahan sungai, persis pertigaan jalan di darat; bedanya tak ada traffic light. Bang Ful berteriak, sayang suara mesin perahu dan angin yang kencang membuat suaranya hilang. Tapi, tangannya menunjuk ke arah kanan, ke arah belahan sungai sana.
“Hamparan Perak,” teriak Wak Ngah yang duduk di samping Sumut Pos.

Ya, satu lagi kawasan yang dianggap sebagai pintu masuk barang ilegal dan narkoba terlewati. Kami tidak mampir ke sana, kami melaju terus. Jam sudah menujukkan pukul tiga sore. Jika kami mampir, tak terbayang lagi akan sampai ke Kwala Besar Kabupatena Langkat pukul berapa. Perjalanan masih sangat jauh.

Bang Ful mempercepat laju perahunya. Yang namanya perahu kecil, percikan air langsung menyerbu ke dalam perahu. Tapi sudahlah, biarkan saja. Setidaknya, ketika perahu tiba di Belawan, Sumut Pos merasakan sesuatu yang berbeda. Pemandangan pohon bakau, meski pun ada mulai berkurang, berganti dengan rumah-rumah nelayan. Pun, sungai membesar, tidak lagi seperti gang-gang kecil.

Memasuki Belawan, kapal-kapal pun semakin banyak. Di sisi kanan, menara-menara PLTG Belawan mulai terlewati berganti dengan kantor Direktorat Kepolisian Perairan (Ditpolair). Beberapa kapal patroli tampak parkir di dermaganya. Lalu, pemandangan berubah, Pangkalan Utama Angkatan Laut, memberikan pemandangan kapal perang dengan senjata lengkap. Sedikitnya ada tiga kapal perang yang sedang parkir di dermaganya. Lalu, tak lama kemudian, terminal penumpang Pelabuhan Belawan terlewati.

Sepanjang perjalanan di perairan Belawan, Sumut Pos dan rombongan bak artis. Bagaimana tidak, kami tampil sangat berbeda, sama sekali tidak mencerminkan nelayan yang sedang mencari ikan. Beberapa penghuni kapal sedang yang sedang parkir di lautan malah melihat kami dengan dalam; penuh curiga.

Tapi, kami terus melaju. Kini malah semakin berkonsentrasi. Perairan Belawan hari itu sedikit nakal, ombaknya lumayan tinggi. Perahu kecil kami bergoyang hebat. Beruntung, Bang Ful cukup andal. Setiap kali ombak besar datang, dia kurangi kecepatan; jika tetap dilawan, sudah bisa dipastikan kami karam.

Kami melaju semakin jauh, semakin ke tengah. Ombak dan angin cukup merepotkan. Beruntung, kami mendapat hiburan. Tanpa sadar, laju kami diikuti sekawanan camar. Burung-burung itu terus mengikuti, kadang mereka bermanuver di samping perahu. Benar-benar pemandangan yang menarik. Sesaat terlupakan niat untuk menelusuri jalur peredaran barang ilegal dan narkoba. Ya, perjalanan ini seperti wisata bahari saja.
“Tak sampai dua jam lagi kita sampai di Kwala Besar!” teriak Wak Ngah.
Ah…, kenapa diingatkan! (*)

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru