H Fredie Arsi, Pegiat Seni Musik
H Fredie Arsi (67) memang tidak sepopuler Almarhum Ben Pasaribu yang dikenal sebagai Bapak Musik Kontemporer, atau Irwansyah Harahap lewat konsep world music yang sudah mendunia. Namun pria yang akrab disapa Papa ini bukti potensi Sumatera Utara dalam belantika kesenian tanah air. Seperti apa?
Dunia musikalisasi puisi yang dipilih, membuatnya jauh dari ketenaran.
Meskipun dalam kesepian itu pria kelahiran Binjai, 20 Juli 1964 ini tak lelah mengajak penerus bangsa ini menemukan kembali apa yang disebut karakter.
“Musikalisasi puisi bagi saya semacam proses pencarian yang mengasyikkan. Ke depan saya berharap setiap daerah mengangkat potensi yang ada di daerahnya. Apakah itu karya-karya seniman, juga instrumen tradisi yang ada. Karena itulah karakter bangsa ini, kekayaan yang tak terhingga,” kata Papa saat ditemui waratawan koran ini di Workshop Pelatihan Musikalisasi Puisi Guru SMP/SMA dan Mahasiswa se-Kota Medan di Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara (USU), Jumat (18/3).
Bagi Papa, dari proses pembuatan hingga pelaksanaannya, musikalisasi puisi merupakan karya seni yang paling berwibawa. Karya yang lahir dari kerjasama lahir batin dari seluruh pesertanya. Bagaimana semua harus dimulai dengan kesepakatan. Mulai dari memilih puisi, penafsiran yang berbeda, dan penentuan pembaca dari seluruh peserta. Dari seluruh kesepakatan tadi pun dilahirkan bunyi yang sesuai dengan tuntutan puisi oleh seluruh pelakunya.
Demikianlah dirinya yang sudah memasuki usia 67 tahun terus berjalan beberapa daerah di Indonesia untuk mengajak seniman-seniman lokal berkarya dengan penuh rasa tanggungjawab. Dari Kota Medan, Papa pun melanjutkan perjalanannya ke Langkat, Kuala Simpang, Kepulauan Riau, dan akan memenuhi undangan di Jambi. Berharap muncul karakter kuat di setiap penjuru tanah air. Seperti yang dilihatnya di Papua, di mana seniman lokal menggabungkan alat musik tradisional tifa dalam penampilannya.
“KoMPI Medan juga cukup baik saat menyertakan alat musik tradisional Karo. Bisa juga mengangkat puisi Hasan Syahbana yang memang asli sini dengan alat musik akordeon. Sangat kuat pastinya. Beberapa daerah lainnya seperti Jawa Barat dengan musik garindingnya,” papar suami Rosnilla ini.
Ketertarikan Papa terhadap seni sudah ada sejak masih duduk di sekolah rakyat (sekarang sekolah dasar, Red). Bahkan untuk mempertanggungjawabkan panggilan tadi, dirinya berhenti dari aktivitas pelayaran 1974 silam. Dirinya kemudian menggelar parade teater di Kota Binjai pada 1980-an. 12 kelompok teater se-Sumut turut andil dalam kegiatan tersebut.
Seretnya kehidupan sebagai seniman saat itu juga dirasakan Papa yang memiliki empat anak. Namun itu tidak membuat dirinya mundur seperti beberapa seniman yang ditemuinya di Pelabuhan Belawan. Pada 1980 Papa bersama istri dan empat anak memutuskan mengadu nasib ke Jakarta. Hidup serabutan dilakoni karena tekad yang kuat untuk sukses di Ibu Kota. “Saya bertekad untuk tidak kembali ke Sumatera Utara sebelum sukses di Jakarta,” tuturnya.
Meski begitu, jiwa berkesenian yang dimiliki tak henti ditransfer juga kepada kedua anak yang lahir di Jakarta. Dan semua jerih payah selama 10 tahun tadi berbuah manis. Keenam anak yang dibina tampil dengan mengagumkan bahkan pada 1994 mendapat penghargaan sebagai pemuda pelopor dari Menpora yang kala itu dijabat Hayono Isman.
Hal itu membuat dirinya mendapat tawaran dari Pusat Bahasa yang selanjutnya dijalani dengan total. Bersama beberapa rekan seniman dirinya pun membentuk satu komunitas musikalisasi puisi yang terinspirasi dari bencana tsunami di Nanggroe Aceh Darusalam (NAD) 2004 lalu. Pendeklarasian pun dilakukan di Taman Ismail Marzuki (TIM) 2009 lalu.
Dari perjalanan yang dilakukan, saat ini KoMPI sudah terdapat di 27 daerah tingkat satu dengan enam daerah bersifat koordinator. “Komunitas ini tidak harus ramai. Cukup dua atau tiga orang tapi punya keinginan untuk berkembang akan kita bantu,” tegas pria yang gemar mengenakan celana sarung ini.
Demikian lah Papa terus membangkitkan semangat kreatifitas di seluruh daerah di tanah air dalam kesetaraan. Tak ada kemewahan sambutan akan kehadirannya. Hanya panggilan Papa yang membuatnya dikagumi seniman lain di tanah air. Melalui musikalisasi puisi juga dirinya menjadi sahabat berbagai negara saat menunaikan rukun Islam kelima di Mekkah. “Saya sampai ditunggu setiap malam oleh petugas untuk kami bermusikalisasi puisi bersama. Waktu pulang juga mereka menyalami saya. Itu kesan tersendiri bagi saya. Sama seperti di Ternate, saya diterima dari agama yang berbeda,” kenangnya.
Untuk setiap daerah yang disinggahi, Papa terus menjaga koordinasi untuk kelanjutan komunitas tadi. Seperti dalam waktu dekat ini dirinya menggelar pertemuan beberapa komunitas musikalisasi puisi di Makasar yang dilanjutkan dengan pementasan di Taman Ismail Marzuki Oktober mendatang. (*)