31 C
Medan
Sunday, June 30, 2024

Makin Banyak Punya, Makin Banyak Berbagi

Sahur Bersama Tokoh Sumatera Utara, H Anif

Seperti tahun lalu dan tahun-tahun sebelumnya, Sumut Pos kembali menggelar sahur bersama beberapa tokoh di Sumatera Utara. Dan, pada Ramadan 1433 ini, Sumut Pos memilih sahur di rumah Haji Anif menjadi edisi perdana. Seperti apa sahur bersama pengusaha nasional yang telah berusia 73 tahun itu?

Tim Sumut Pos, Medan

SAHUR: Haji Anif  keluarga saat sahur bersama Sumut Pos, kemarin.//redyanto/SUMUT POs
SAHUR: Haji Anif dan keluarga saat sahur bersama Sumut Pos, kemarin.//redyanto/SUMUT POs

Lelaki itu menuruni tangga. Langkahnya perlahan, terlihat berhati-hati. Hingga, begitu mencapai anak tangga yang rendah, dia memandang Tim Sumut Pos yang telah menunggunya di ruang tengah. “Assalamualaikum,” ungkapnya sambil menyalami satu per satu tim Sumut Pos yang berkunjung.
“Saya tadi sempat lupa. Oh iya, hari ini (dini hari kemarin, Red) sahur bersama Sumut Pos,” bukanya.

“Jadi apalah yang kita makan ini ya…” sambungnya.

Ya, dialah Haji Anif. Pengusaha nasional yang telah memiliki 27 cucu dari sembilan anaknya. Sosok yang dianggap beberapa kalangan sebagai ‘Bapak Sumut’ ini memang terbuka dalam berbincang. Dia tidak suka menutup-nutupi sesuatu hingga cenderung spontan dalam berbicara. Begitupun ketika tawaran Sahur Bersama dikemukakan padanya, penikmat lalapan daun pegagan ini langsung menyetujuinya.

Dan, kemarin, di ruang tengah itu dia banyak bercerita soal pengalaman berpuasanya. “Kalau ditanya puasa paling berkesan selama saya hidup, ya, waktu saya miskin,” kata H Anif.

Anak tertua dari sembilan bersaudara ini kemudian menceritakan kisah sedihnya pada tahun 1967-an. Saat itu, kehidupan ekonominya tidak sebaik sekarang. Dia masih tinggal di rumah kontrakan bersama istri dan keempat anaknya. “Kami tidak punya televisi, jadi ketika anak-anak mau nonton televisi, mereka mengintip di rumah tetangga melalui jendela. Tapi, tetangga menutup kain jendelanya. Saya sedih sekali waktu itu,” urai lelaki yang kemarin menggenakan stelan baju berwarna cokelat tersebut.

Kesedihan itu berlanjut ketika Ramadan tiba. Jangankan untuk sahur, untuk berbuka puasa saja kadang mereka tak punya makanan. “Saat sahur, istri saya pernah gorengkan nasi basi untuk anak-anak,” aku H Anif.

Kemiskinan telah membuat H Anif berubah. Dia semakin rajin berusaha. Apapun dia lakukan agar  terbebas dari jeratan kemiskinan. Dan, dia berhasil. Keberhasilan itu tidak dianggapnya selesai. Hingga usianya yang ke-73, dia pun tetap berusaha. Hal ini yang kadang dianggap ‘jelek’ oleh beberapa orang. “Banyak yang bilang saya rakus, sebenarnya tidak demikian. Semakin banyak yang kita punya maka semakin banyak yang bisa dibagikan,” jelasnya.
Perbincangan sesaat terhenti. Kami harus pindah ke ruang makan. Sahur akan dimulai.

Di ruang makan itu, di meja makan berkursi sepuluh telah terhidang berbagai makanan; mulai dari sayur mayur hingga daging-dagingan.
Di depan H Anif, di mejanya terletak semangkuk bubur dan empat butir telur ayam kampung.

“Sekarang saya makannya ini, bubur,” kata H Anif begitu melihat ekspresi Tim Sumut Pos.
“Dilarang makan yang lain ya, Pak?” tanya Sumut Pos.

“Saya tidak punya pantangan, kalau mau makan apa ya makan saja,” kekehnya sembari bercerta tentang minatnya memakan daging kambing.
“Tapi ya itu, perasaan saya masih muda padahal tubuh sudah tua,” imbuhnya.

Di usianya saat ini, H Anif bercerita tidak mengalami masalah dalam puasa. Dia tetap berpuasa layaknya orang lain. Bahkan, dalam puasa-puasa sebelumnya, dia selalu full. Dan untuk semua itu, dia mengaku tidak memiliki kiat. “Paling yang berat itu di awal-awal puasa, hari pertama dan hari kedua. Seperti hari ini (kemarin, Red) agak berat terasa. Alhamdulillah, berhasil,” jelas pemuja keindahan alam ini.
“Yang paling utama itu niat, itu saja,” tambahnya.

Denting sendok dan piring mulai terdengar. Kata dari mulut Sumut Pos mulai mengendur, mulut terlalu sibuk mengunyah. Sesekali H Anif bersuara, menyarankan Sumut Pos untuk mencoba menu yang tersedia. Sesaat terpikir,wajar saja H Anif dianggap sebagai ‘Bapak Sumut’, dia terlihat sangat peduli saat makan. Tidak hanya pada cucunya yang juga ikut sahur bersama, pada Sumut Pos pun dia terlihat sama.

Dan, makan pun selesai. Kami kembali ke ruang tengah. Menikmati teh manis hangat dan beberapa buah seperti mangga, manggis, salak, dan kurma.
Perbincangan beralih ke soal Sumut. Mulai dari soal pertambangan emas secara liar di Mandailing Natal hingga kelambatan pemerintah dalam merespon kebutuhan masyarakat Sumut. Obrolan mengalir indah hingga waktu imsak tiba.

Lelaki itu mengantar Sumut Pos hingga depan. Bahkan dia membukakan pintu dan terus memandang Sumut Pos menuju kendaraan. Kami tersenyum. H Anif melambaikan tangan. Dan, kami pun pulang. (*)

Sahur Bersama Tokoh Sumatera Utara, H Anif

Seperti tahun lalu dan tahun-tahun sebelumnya, Sumut Pos kembali menggelar sahur bersama beberapa tokoh di Sumatera Utara. Dan, pada Ramadan 1433 ini, Sumut Pos memilih sahur di rumah Haji Anif menjadi edisi perdana. Seperti apa sahur bersama pengusaha nasional yang telah berusia 73 tahun itu?

Tim Sumut Pos, Medan

SAHUR: Haji Anif  keluarga saat sahur bersama Sumut Pos, kemarin.//redyanto/SUMUT POs
SAHUR: Haji Anif dan keluarga saat sahur bersama Sumut Pos, kemarin.//redyanto/SUMUT POs

Lelaki itu menuruni tangga. Langkahnya perlahan, terlihat berhati-hati. Hingga, begitu mencapai anak tangga yang rendah, dia memandang Tim Sumut Pos yang telah menunggunya di ruang tengah. “Assalamualaikum,” ungkapnya sambil menyalami satu per satu tim Sumut Pos yang berkunjung.
“Saya tadi sempat lupa. Oh iya, hari ini (dini hari kemarin, Red) sahur bersama Sumut Pos,” bukanya.

“Jadi apalah yang kita makan ini ya…” sambungnya.

Ya, dialah Haji Anif. Pengusaha nasional yang telah memiliki 27 cucu dari sembilan anaknya. Sosok yang dianggap beberapa kalangan sebagai ‘Bapak Sumut’ ini memang terbuka dalam berbincang. Dia tidak suka menutup-nutupi sesuatu hingga cenderung spontan dalam berbicara. Begitupun ketika tawaran Sahur Bersama dikemukakan padanya, penikmat lalapan daun pegagan ini langsung menyetujuinya.

Dan, kemarin, di ruang tengah itu dia banyak bercerita soal pengalaman berpuasanya. “Kalau ditanya puasa paling berkesan selama saya hidup, ya, waktu saya miskin,” kata H Anif.

Anak tertua dari sembilan bersaudara ini kemudian menceritakan kisah sedihnya pada tahun 1967-an. Saat itu, kehidupan ekonominya tidak sebaik sekarang. Dia masih tinggal di rumah kontrakan bersama istri dan keempat anaknya. “Kami tidak punya televisi, jadi ketika anak-anak mau nonton televisi, mereka mengintip di rumah tetangga melalui jendela. Tapi, tetangga menutup kain jendelanya. Saya sedih sekali waktu itu,” urai lelaki yang kemarin menggenakan stelan baju berwarna cokelat tersebut.

Kesedihan itu berlanjut ketika Ramadan tiba. Jangankan untuk sahur, untuk berbuka puasa saja kadang mereka tak punya makanan. “Saat sahur, istri saya pernah gorengkan nasi basi untuk anak-anak,” aku H Anif.

Kemiskinan telah membuat H Anif berubah. Dia semakin rajin berusaha. Apapun dia lakukan agar  terbebas dari jeratan kemiskinan. Dan, dia berhasil. Keberhasilan itu tidak dianggapnya selesai. Hingga usianya yang ke-73, dia pun tetap berusaha. Hal ini yang kadang dianggap ‘jelek’ oleh beberapa orang. “Banyak yang bilang saya rakus, sebenarnya tidak demikian. Semakin banyak yang kita punya maka semakin banyak yang bisa dibagikan,” jelasnya.
Perbincangan sesaat terhenti. Kami harus pindah ke ruang makan. Sahur akan dimulai.

Di ruang makan itu, di meja makan berkursi sepuluh telah terhidang berbagai makanan; mulai dari sayur mayur hingga daging-dagingan.
Di depan H Anif, di mejanya terletak semangkuk bubur dan empat butir telur ayam kampung.

“Sekarang saya makannya ini, bubur,” kata H Anif begitu melihat ekspresi Tim Sumut Pos.
“Dilarang makan yang lain ya, Pak?” tanya Sumut Pos.

“Saya tidak punya pantangan, kalau mau makan apa ya makan saja,” kekehnya sembari bercerta tentang minatnya memakan daging kambing.
“Tapi ya itu, perasaan saya masih muda padahal tubuh sudah tua,” imbuhnya.

Di usianya saat ini, H Anif bercerita tidak mengalami masalah dalam puasa. Dia tetap berpuasa layaknya orang lain. Bahkan, dalam puasa-puasa sebelumnya, dia selalu full. Dan untuk semua itu, dia mengaku tidak memiliki kiat. “Paling yang berat itu di awal-awal puasa, hari pertama dan hari kedua. Seperti hari ini (kemarin, Red) agak berat terasa. Alhamdulillah, berhasil,” jelas pemuja keindahan alam ini.
“Yang paling utama itu niat, itu saja,” tambahnya.

Denting sendok dan piring mulai terdengar. Kata dari mulut Sumut Pos mulai mengendur, mulut terlalu sibuk mengunyah. Sesekali H Anif bersuara, menyarankan Sumut Pos untuk mencoba menu yang tersedia. Sesaat terpikir,wajar saja H Anif dianggap sebagai ‘Bapak Sumut’, dia terlihat sangat peduli saat makan. Tidak hanya pada cucunya yang juga ikut sahur bersama, pada Sumut Pos pun dia terlihat sama.

Dan, makan pun selesai. Kami kembali ke ruang tengah. Menikmati teh manis hangat dan beberapa buah seperti mangga, manggis, salak, dan kurma.
Perbincangan beralih ke soal Sumut. Mulai dari soal pertambangan emas secara liar di Mandailing Natal hingga kelambatan pemerintah dalam merespon kebutuhan masyarakat Sumut. Obrolan mengalir indah hingga waktu imsak tiba.

Lelaki itu mengantar Sumut Pos hingga depan. Bahkan dia membukakan pintu dan terus memandang Sumut Pos menuju kendaraan. Kami tersenyum. H Anif melambaikan tangan. Dan, kami pun pulang. (*)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/