MEDAN, SUMUTPOS.CO – Membuka industri pertambangan di lokasi tertentu, bukan pakai jurus sim salabim. Ada proses panjang di sana. Mulai dari penyelidikan umum, eksplorasi, studi kelayakan, hingga melakukan aktivitas pertambangan. Apa saja ukuran yang dipakai untuk mengukur deposit mineral di sebuah lokasi cocok ditambang atau tidak, dan bagaimana cara mengelola areal tambang?
“Proses penyelidikan dan eksplorasi merupakan pekerjaan paling melelahkan dalam industri pertambangan. Karena kebanyakan proses masih dilakukan manual,” kata Principal Geologist–Mine Geology PTAR, Janjan Hertrijana, saat menjadi narasumber dalam talkshow OlympiAR yang digelar PT Agincourt Resources secara online, Sabtu (21/1/2023).
Talkshow ini digelar sebagai pembekalan kepada seluruh mahasiswa peserta Olympiade Agincourt Resources (OlympiAR) 2022, yang menyasar mahasiswa jurusan tambang, geologi, dan teknik di Indonesia. Olimpiade yang materinya fokus pada rencana tambang, proses tambang, dan pasca-tambang ini mengangkat tema “Mineral Discovery, Unearthing Sustainable Future.” Total ada 59 tim (setiap tim 3 orang) dari 23 universitas di Indonesia sudah mendaftar untuk mengikuti kompetisi.
Selama 1-6 bulan pertama eksplorasi, kata Janjan, geologist menjelajah areal mulai 1.000 hingga 10 ribu km persegi. Mereka mengumpulkan dan mempelajari sampel bebatuan, geofisika, dan kombinasi keduanya yang menunjukkan tanda-tanda ada deposit mineral di areal itu. “Jika ketiganya match, artinya ada deposit mineral di sana,” katanya.
Pada tahapan pertama ini, peluang menemukan deposit mineral yang ekonomis lebih kecil dari 1 banding 100 ribu dan lebih besar dari 1 banding 5.000. Seleksi area ini akan menentukan lahan yang akan diakuisisi.
Pada 3-12 bulan berikutnya, geologis mempersempit areal pengintaian mulai dari 100 hingga 1.000 km persegi, dan telah mengindentifikasi area mineral yang ada di sana. Pada tahapan ini, peluang menemukan deposit mineral yang ekonomis sekitar 1 banding 1.000.
Pada 6-18 bulan berikutnya, areal yang dijelajah semakin menyempit, hanya 10-50 km saja. Pada tahapan ini, peluang menemukan deposit mineral yang ekonomis sekitar 1 banding 100. Ini disebut masuk tahapan prospecting. Lokasi, sampel, dan garis besar zona mineral sudah bisa diperkirakan.
Kemudian 1-2 tahun berikutnya, areal yang dijelajah tinggal 2-5 km persegi, dengan peluang menemukan deposit mineral yang ekonomis telah mencapai perbandingan 1 banding 10. “Di sini, geologis melakukan oleh 3D untuk memperkirakan jumlah deposit mineral yang tersedia. Di setiap tahapan, geologist juga menyaring hal-hal yang tidak layak untuk diselidiki lebih lanjut,” kata Janjan.
Pada 2-3 tahun berikutnya, area penyelidikan para geologist tinggal 1-3 km, dengan hasil eksplorasi yang lebih detail. Di sini peluang menemukan deposit mineral yang ekonomis telah mencapai 1 banding 2. Di tahapan ini, para geologis telah bisa menentukan bentuk bijih mineral secara mendetail, memperkirakan jumlah sumber daya, dan memungkinkan keputusan untuk dibuat apakah proses akan dilanjutkan pada studi kelayakan atau tidak.
Pada 2-3 tahun berikutnya adalah tahapan studi kelayakan, konstruksi, dan awal pertambangan. “Seluruh proses ini butuh biaya yang besar. Di tahap pertama, biayanya masih rendah, hanya sekitar 2-5 US Dolar per km. Naik menjadi 100-500 US Dollar per km. Biaya terus meningkat makin tinggi. Dan paling tinggi adalah biaya studi kelayakan, konstruksi, dan awal pertambangan. Itu sekitar 250 juta US Dollar per km,” kata Janjan Hertrijana.
Saat melakukan studi kelayakan, para ahli dari berbagai disiplin ilmu dilibatkan untuk mempelajari kelayakan lokasi tambang. Seperti aspek bentang alam, struktur tanah, kondisi ekologi, flora dan fauna, aspek ekonomis seperti jarak dengan bandara, pelabuhan, pemukiman penduduk, dan sebagainya.
Salahsatu aspek yang juga diintegrasikan dengan siklus pertambangan adalah eksplorasi biodiversity (keanekaragaman hayati). Biodiversity adalah variabilitas organisme hidup di berbagai ekosistem (darat, laut, aquatic).
“Nah, sebelum membangun sebuah tambang, pengelola wajib menggali lebih dahulu keanekaragaman hayati di areal dan sekitar tambang. Lihat, eksplorasi, pelajari, buat daftar, kemudian bahas… okekah membuka lahan di sana? Atau mesti pindah ke lokasi lain,” kata Dr Puji Rianti, pembicara tamu dari Departemen Biologi FMIPA IPD, pada talkshow OlympiAr itu.
Mengitegrasikan biodiversitas pada siklus pertambangan, kata Dr Puji, merupakan bagian dari praktek baik industri pertambangan dan mempengaruhi rencana pengelolaan dan pascatambang.
Sistem managemen biodiversitas pada pertambangan meliputi penilaian dampak lingkungan dan sosial, kekayaan spesies/habitat (misalnya tanaman endemik, spesies kunci, spesies unik, ukuran habitat dan populasi), sistem manajemen lingkungan, dll.
“Nah, yang perlu diperhatikan saat memitigasi dampak potensial pertambangan terhadap biodiversitas, pilihan pertama adalah menghindar ke lokasi alternative atau dengan menggunakan teknologi,” kata Dr Puji.
Kalau resiko tidak bisa dihindari, maka dilakukan aksi upaya meminimalisir dampak saat mendisain dan mengonstruksi tambang. Pilihan berikutnya, lakukan perbaikan dengan merehabiltasi dan merestorasi lingkungan terdampak. “Pilihan terakhir adalah berikan kompensasi. Tapi ini adalah pilihan terakhir. Yang terbaik adalah menghindari dampak,” jelasnya.
Beberapa bentuk aktivitas tambang yang dapat berdampak pada biodiversitas antara lain pembersihan lahan, peledakan (debu, suara, dan getaran), penggalian dan pengangkutan, pembuangan limbah, penggunaan zat kimia, pengelolaan tailing, pencemaran air dan udara, dll.
Sebagai upaya menghindari dampak potensial pertambangan terhadap biodiversitas, jelas Dr Puji, pemerintah telah membuat sejumlah peraturan. Dalam hal ini, perusahaan juga dapat mengeluarkan sejumlah peraturan yang mewajibkan seluruh pekerja dan aktivitas tambang dapat hidup berdampingan dengan makluk hidup alami di sekitar tambang.
Untuk PT Agincourt Resources, kata Dr Puji, sejak awal telah mencatat biodiversitas mamalia di areal tambang. Seperti tupai, bajing raksasa (jelatang), kambing hutan Sumatera, kelelawar, monyet, surili (cek-cek), siamang (kera kecil), dll. “Hutan disediakan untuk kehidupan mamalia di sana. Tanaman endemic juga telah dicatat dan dibibitkan. Jadi, sejak awal, PTAR telah menjaga dan komitmen meningkatkan kualitas hidup alami, sembari tambang tetap beraktivitas. Pilihan yang ideal adalah hidup berdampingan,” jelasnya.
Setelah tahap eksplorasi, studi kelayakan, izin AMDAL dan izin-izin lainnya telah dikantongi, berikutnya adalah melakukan konstruksi (pabrik, pengolahan, mes, kantor, jalan, dan sebagainya), hingga siap mengawali pertambangan. (bersambung/mea)