Dia menambahkan, tahun lalu neraca perdagangan mamin mengalami defisit sekitar USD 1,3 miliar. Tapi, kata Adhi, secara keseluruhan kinerjanya masih positif, termasuk yang semi olahan dengan penyumbang terbesar yaitu olahan dari sawit.
“Kalau keluarkan (ekspor) sawit memang negatif (harganya), tapi kalau dengan sawit (neracanya) masih (bisa) positif,” lanjutnya.
Adhi mengatakan kinerja perdagangan Mamin seharusnya bisa seimbang. Apabila tinggi impor bahan baku dapat ditutup dengan tingginya ekspor bahan mamin jadi. Salah satu yang diandalkan industri Mamin Indonesia adalah biskuit hingga susu cair.
Sayangnya, meski biskuit jadi andalan namun bahan bakunya adalah gandum. Saat ini, Indonesia masih harus mengimpor gandum. Begitupun dengan susu cair, di mana dalam negeri masih harus mengimpor gula rafinasi.
“Biskuit kan bahan bakunya gandum, mau enggak mau. Gula kan juga impor. Itu tidak bisa dihindari tapi sementara masih terkendali,” tutur Adhi.
Saat ini, katanya, pelaku industri sedang mencari cara bagaimana dapat meningkatkan nilai ekspor produknya supaya tidak mengalami kerugian yang amat dalam ketika dolar makin perkasa. Artinya, pelaku industri sudah mulai melihat global value chain antara bahan baku yang diimpor dengan produk yang dihasilkan ke pasar ekspor. (uji/JPC/ram)
Dia menambahkan, tahun lalu neraca perdagangan mamin mengalami defisit sekitar USD 1,3 miliar. Tapi, kata Adhi, secara keseluruhan kinerjanya masih positif, termasuk yang semi olahan dengan penyumbang terbesar yaitu olahan dari sawit.
“Kalau keluarkan (ekspor) sawit memang negatif (harganya), tapi kalau dengan sawit (neracanya) masih (bisa) positif,” lanjutnya.
Adhi mengatakan kinerja perdagangan Mamin seharusnya bisa seimbang. Apabila tinggi impor bahan baku dapat ditutup dengan tingginya ekspor bahan mamin jadi. Salah satu yang diandalkan industri Mamin Indonesia adalah biskuit hingga susu cair.
Sayangnya, meski biskuit jadi andalan namun bahan bakunya adalah gandum. Saat ini, Indonesia masih harus mengimpor gandum. Begitupun dengan susu cair, di mana dalam negeri masih harus mengimpor gula rafinasi.
“Biskuit kan bahan bakunya gandum, mau enggak mau. Gula kan juga impor. Itu tidak bisa dihindari tapi sementara masih terkendali,” tutur Adhi.
Saat ini, katanya, pelaku industri sedang mencari cara bagaimana dapat meningkatkan nilai ekspor produknya supaya tidak mengalami kerugian yang amat dalam ketika dolar makin perkasa. Artinya, pelaku industri sudah mulai melihat global value chain antara bahan baku yang diimpor dengan produk yang dihasilkan ke pasar ekspor. (uji/JPC/ram)