Diskusi Otonomi Daerah dan Pemekaran Bersama Afiffudin Lubis
Pascareformasi, geliat pemekaran daerah terus terjadi di Indonesia. Di Sumatera Utara pun demikian. Tak jarang, tuntutan pemekaran mengambil korban jiwa. Hal inilah yang menunjukkan pemerakan dominan karena kepentingan politik.
CHAIRIL HUDA, Medan
Kemarin (23/5), Redaksi Sumut Pos menggelar diskusi bersama mantan Kepala Biro Otonomi Daerah (Otda) Pemprovsu yang juga mantan Pj Wali Kota Medan, Drs H Afiffudin Lubis MSi di Gedung Graha Pena.
Sosok Afiffudin Lubis bagi pegawai negeri sipil (PNS) di Sumut tak awam, namanya terus berkibar. Tak ayal, selama 33 tahun berkarir sebagai PNS, hampir seluruh jabatan sudah dilaluinya. Mulai staf hingga jabatan tertinggi sebagai Pj Wali Kota Medan sebanyak dua kali.
Pria kelahiran Kotanopan 63 tahun silam itu, terkenal piawai dalam konsep tatanan pemerintahan dan otda. Seperti paparannya saat diskusi bersama awak Sumut Pos.
Dia menyebutkan, di Indonesia ada sebanyak 7 Undang-undang tentang pemerintah daerah, diantaranya UU No. 1/1945, Penpres No. 6/1959 dan Penpres No. 5/1960, UU No. 18/1965, UU N0.5/1974, UU No.22/1999 dan UU No. 32/2004. Masing-masing aturan itu beragam pola tata pemerintahan.
Afif menyebutkan, dari semua aturan itu, ada penyempurnaan aturan pada UU No. 32/2004 tentang Pemda. Dalam aturan tersebut, sifatnya sangat kompromistis. Berbeda dengan aturan-aturan sebelumnya ada yang sifatnya sentralistik.
Munculnya aturan Pemda sejak 22/1999, pemekaran daerah mulai banyak disahkan. Bahkan, di Sumut daerah yang paling banyak dimekarkan adalah Kabupaten Tapanuli Selatan (Tapsel) dan Tapanuli Utara (Taput). Bisa dilihat bersama, beberapa daerah produk pemekaran.
Dia menyebutkan, pemekaran daerah bisa dilakukan dengan beragam landasan. Paling utama dilakukan adalah kajian secara objektif, mulai dari pendapatan asli daerah (PAD), dan rasio antara PAD dan dana rutin. Ketiga hal itu penting dipandang, untuk merumuskan dimekarkannya suatu daerah.
“Jadi pemekaran daerah jangan latah, pemekaran daerah jangan dilakukan karena landasan SARA atau lebih menguatkan partisipasi politik lokal,” sebutnya.
Diskusi kian meruncing terkait dengan partisipasi politik lokal penting sebagai penggagas pemekaran. Afif berpendapat, partisipasi politik lokal sifanya penggagas, bukan dalam artian untuk menekan pemekaran. Karena pemekaran daerah dilakukan ketika ada kajian yang jelas dna objektif dari lembaga yang benar-benar melakukan penelitian.
Tanpa adanya kajian, paparnya seperti kondisi yang sering ada, pemekaran daerah dominan terjadi akibat tekanan politik. Bahkan, kajian objektif sering terlupakan. “Sebaiknya pemekaran itu dibuat parameternya, dan dikoordinasikan dengan semua pihak. Bukan lebih dominan kepentingan politik,” ujarnya.
Lebih lanjut, dia menyebutkan, dengan adanya daerah pemekaran maka muncul lagi yang namanya organisasi. Bisa dibayangkan, berapa banyak pejabat eselon II dan III dibutuhkan. “Inilah faktanya,” tegas ayah dua anak dan tiga cucu itu.
Saat disinggung mengenai pemekaran provinsi Sumatera Utara, Afif terang-terangan menegaskan, Provinsi Sumut tak harus dimekarkan. Karena bisa dilihat, ketika ada dua keresidenan pada zaman penjajahan, residen Sumatera Timur dan Tapanuli. Kedua wilayah itu sudah ada ketimpangan dari sisi pembangunan. Hal inilah yang dikhawatirkan terjadi.
Bukan itu saja, dia menyebutkan, ada aturan provinsi dalam memperoleh PAD. Satu diantaranya yakni untuk memungut perolehan pajak kendaraan, bisa dilihat sekarang ini kendaraan terpusat di Kota Medan. Kemudian, dari sisi perolehan pajak air bawah tanah, kebanyakan masih di kota-kota di Sumut.
“Jadi semasih fungsi gubernur itu perwakilan pemerintah pusat dan kepala dearah di Sumut, lebih baik ditiadakan pemekaran Sumut. Dan untuk pemekaran kabupaten/kota harus jelas kajiannya,” sebutnya dalam diskusi yang dihadiri Wakil Pimpinan Umum Sumut Pos Goldian Purba dan Pemred Sumut Pos, Dame Ambarita.
Pada kesempatan itu, Goldian Purba menyatakan, pemekaran idealnya dilakukan untuk mempercepat pembangunan daerah, tapi di sisi lain penting dilihat geografis wilayahnya. “Masing-masing pemekaran itu punya ide, sehingga pola pelayanan bisa lebih baik,” ujarnya. (*)