Soal Konser Lady Gaga di Indonesia
Arah gagalnya konser Lady Gaga makin jelas. Ini menyusul sikap Menteri Agama (Kemenag) Suryadharma Ali yang tegas menolak kehadiran artis kontroversial itu. Meski begitu, pro-kontra belum selesai. Termasuk, tanggapan tokoh-tokoh yang ada di Medan.
Sikap resmi Menag sudah dituangkan dalam surat rekomendasi dan sudah diserahkan kepada Kapolri Jendral (Pol) Timur Pradopo. Surat Rekomendasi ditandatangani langsung oleh Suryadharma Ali. “Ya, saya memang sudah memberikan surat rekomendasi kepada Kapolri yang isinya agar Polri tidak memberikan izin penyelenggaraan konser Lady Gaga di Jakarta,” ungkap Suryadharma di Jakarta, Rabu (23/5).
Suryadharma mengatakan, pihaknya tidak peduli dengan adanya kabar bahwa Polri diduga melunak, yang mengarah diberikannya izin penyelenggaraan konser Lady Gaga di Jakarta. “Saya tetap menolak dan berharap penolakan ini diperhatikan oleh pihak Polri,” tegasnya.
Kontroversi kehadiran Lady Gaga pun disikapi oleh tokoh-tokoh di Medan. Senada dengan Suryadharma, Ketua DPW PPP Sumut Fadly Nurzal Sag pun menyatakan hal yang sama. Bahkan, Fadli lebih keras lagi. “Bila Lady Gaga juga tetap konser di Indonesia maka hancurlah norma agama dan adat budaya Indonesi ini. Soalnya, dia (Lady Gaga-red) merupakan tokoh monster yang tidak patut dicontoh. Kalau di negera luar mungkin bisa diperagaakan, apalagi aada penggemarnya yang bernama little monster,” terang Fadli.
Ketua Badan Kontak Majelis Taklim (BKMT) Pusat, Prof DR Hj Tutty Alawiyah SA MA saat di Medan pun menyatakan yang sama dengan Fadli. “Lady Gaga itu istilahnya pemuja setan, dan lebih menampilkan kegiatan erotik. Ini sangat kurang bisa menjamin di negara kita, kalau Korea Selatan saja menolak. Saya kira Indonesia jangan ragu-ragu, lebih baik kita menolak konser Lady Gaga,”sebutnya.
Tak berbeda, tanggapan sama disampaikan Ketua DPD Hizbut Tahrir Sumut, Irwan Said Batubara. “Jika konser Lady Gaga tetap dibiarkan, maka secara tidak langsung pemerintah membiarkan tumbuh suburnya dunia kelam hiburan yang penuh dengan aktivitas maksiat seperti mengumbar aurat, berkhalwat dan beragam kemunkaran lainnya. Jadi Hizbut Tahrir mengecam keras pertunjukan Lady Gaga ini,” bebernya.
Penolakan tadi ditentang beberapa kelangan. Misalnya, Muhammad Iqbal, selaku dosen Sosiologi di Unimed. Menurutnya, performance Lady Gaga yang ditakutkan menimbulkan kesan negatif dan pornografi juga bisa diminimalisasi dengan mencoba mengasimilasi atau mengawinkan kedua budaya yakni Barat dan Timur namun tetap berada di bawah standar etika budaya Indonesia. “Seandainya pemerintah memang menganggap ini dapat merusak ideologi Pancasila, kenapa tidak dilarang dari awal. Akan tetapi yang terjadi justru pemerintah tetap dibiarkan kontroversi ini berkembang di masyarakat,”tegasnya.
“Saya rasa gak masalah dengan hadirnya Lady Gaga sebagai pemusik luar negeri di Indonesia. Selama kita melihatnya masih sebatas hiburan dan bukan sebagai idealisme kenapa kehadirannya ini harus ditolak dan diperdebatkan,” timpal Direktur LP3I Medan, Akhwanul Akmal.
Budayawan dari Universitas Sumatera Utara, Irwansyah Umar Harahap berpendapat, penolakan terhadap konser Lady Gaga dikarenakan pemerintah maupun masyarakat tidak paham dengan apa yang disebut sebagai ruang publik.
“Persoalan intinya bukan karena masalah agama. Justru masyarakat dan pemerintah lah yang tidak mengerti yang namanya ruang publik. Ini sebuah kebodohan, yang namanya ruang publik, siapa saja boleh datang untuk melihat konsernya dan bagi yang tidak suka, jangan datang. Kenapa ini sampai dipermasalahkan?” tegasnya.
Untuk itulah, selain ada yang menolak, ada juga yang mendukung konser Lady Gaga di Indonesia. Contohnya, Dekan Fakultas Hukum Universitas HKBP Nommensen Medan, Dr Haposan Siallagan SH Mhum. Menurutnya, Indonesia tak harus lagi berpolemik dengan hal-hal yang masih seperti itu. “Kalau saya setuju Lady Gaga itu menggelar konser di Indonesia dimana masyarakat Indonesia sudah cerdas semuanya. Tak hanya itu, hargailah dan hormatilah seniman-seniman itu akan karya mereka karena suatu karya dan seni itu tak mudah untuk mencapainya,” katanya.
Dia pun sangat tak setuju jika Lady Gaga dilarang konser hanya karena pakaian dan salah satu lagunya dinilai tak etis. “Semua kan bisa diatur oleh promotornya mengenai pakaian dan lagunya. Apakah karena lagu dan pakaiannya terus Lady Gaga langsung dicekal? Apakah hanya karena pakaian dan lagu kita terus melarang orang untuk konser?” pungkasnya.
Rafriandi Nasution, sebagai tokoh pemuda berpendapat, kedatangan Lady Gaga seharusnya bukan menjadi permasalahan bagi Indonesia yang merupakan negara Pancasila. “Saya sih fair-fair saja. Lady Gaga atau artis-artis siapapun harusnya tidak menjadi masalah bagi negara kita yang Pancasilais dan punya UU 1945 sebagai filter. Artinya selama dia datang dengan tidak melanggar peraturan yang ada saya pikir tidak seharusnya dipermasalahkan. Kita dalam diri masing-masing kan bisa memilih mana yang bisa diserap ataupun tidak dan hanya menikmati sebatas hiburan,” katanya.
Menurut Rafriandi, Lady Gaga yang hanya sejenak hadir ke Indonesia tidak seharusnya menimbulkan kekhawatiran banyak orang bahwa Lady adalah tokoh yang akan merusak moral bangsa. “Dia kan hanya satu atau dua hari berada di Indonesia. Apa lantas bisa membuat moral orang rusak. Kan tergantung pribadi masing-masing,” tegasnya.(cha/jpnn/omi/ril/mag-11/uma/jon/mag-18)