Pernyataan Rasyid ini sebelumnya ditentang Ketua Bawaslu Sumut, Syafrida Rasahan. Menurutnya, surat edaran kedua yang diklaim pihaknya sudah disampaikan kepada masyarakat luas, bersifat normatif dan sesuai ketentuan Undang-undang. “Surat tersebut juga sudah mengikuti imbauan yang disampaikan Bawaslu RI,” bebernya.
Dia juga menilai, kemungkinan aspirasi pendemo yang minta agar surat edaran dimaksud dicabut ialah surat yang tidak resmi dari Bawaslu. “Mungkin iya, karena kan semalam saya tidak hadir jadi tidak tahu pasti surat mana yang dimaksud. Kalau surat yang lama itu memang tidak ada lagi. Tapi surat yang 18-01 itu memang kewajiban kami menyampaikan,” katanya.
Atas kebijakan Bawaslu Sumut itu, Tim Advokasi dan Bantuan Hukum Eramas sudah resmi melaporkan tiga komisioner Bawaslu Sumut ke DKPP dengan No. 136/I-P/L-DKPP/2018, Senin (21/5). Ketiganya yakni Ketua Bawaslu Sumut Syafrida R Rasahan, Komisioner Hardi Munte dan Aulia Andri. Mereka dilaporkan karena menurut kajian tim advokasi, ketiga komisioner tersebut melakukan perbuatan yang sifatnya melanggar etik sebagai penyelenggara pilkada dengan mengeluarkan surat Kemudian, surat tersebut dianggap menimbulkan kegaduhan politik di masyarakat.
“Mulai dari dasar hukum sampai pada kesimpulan, bagi kami merupakan sebuah tindakan yang sangat melanggar etika sebagai penyelenggara Pilkada, yakni melanggar pasal 10 dan 15 Peraturan DKPP No.2/2017, karena terlihat bahwa komisioner Bawaslu Sumut tidak profesional,” tegas Tim Advokasi dan Bantuan Hukum Eramas, Adi Mansar Lubis bersama Ahmad Sofyan Hussein Rambe didampingi Bantuan Hukum Gerindra DPP Zulfikri Lubis dan Idharul Haq. Pihaknya akan terus memantau perkembangan atas laporan ke DKPP ini dan meminta lembaga tersebut cepat menindaklanjuti dugaan pelanggaran kode etik yang dilakukan Bawaslu Sumut tersebut. (prn)