Zaman cepat berkembang. Seiring dengan itu, persaingan industri juga kian berpacu. Tak terkecuali, industri rumahan atau home industri.
M Sahbainy Nasution, Medan
Tapi, di tengah persaingan usaha, tak menyurutkan usaha konveksi Ajo Sukaramai di Medan yang sudah membuka industri konveksinya sejak tahun 1960. Seperti apa? Wartawan Koran ini menelusuri Jalan Rawa I, Lorong Sedar Medan Denai. Di lokasi ini, sebuah rumah berlantai dua, tepatnya Nomor 25 B ini sudah lama dijadikan tempat konveksi.
Masuk ke dalam rumah bercat putih ini, terdengar suara mesin jahit. Ada sekitar puluhan orang sibuk menggunakan mesin jahit itu. Di salah satu sudut ruangan ada setumpukkan bahan celana jeans berjejeran.
Selain menjahit, ada juga yang sibuk menyetrika pakaian, dan melakukan pemekingan. Sebagian orang lainnya membuat pola kantung celana jeans agar terlihat rapi. Ya, mereka ini dikenal dengan nama Ajo Sukaramai. Ajo dalam bahasa Minang artinya abang. Mereka ini sudah lama menetap dan membuka usaha konveksi pakaian, tentunya dengan berbagai jenis pakaian, mulai dari baju batik, celana jeans dan lainnya.
Memang, sebagian besar mereka adalah perantauan dari tanah Minang, Sumatera Barat. Untuk memasarkan usahanya, mereka berjualan di kawasan Bromo maupun Sukaramai, sehingga nama mereka melekat dengan sebutan Ajo Sukaramai.
Mandai (46), pemilik rumah dan usaha konveksi di Jalan Rawa I Lorong Sedar ini sudah puluhan tahun membuka usahanya. Di tengah ramainya industri pakaian jadi dari pabrikan, tak membuat usahanya terlalu terganggu. Hanya saja, kehadiran batik Pekalongan asal Jawa Timur sedikit membuat batik mereka tersaingi. Khususnya, tersaingi dalam segi harga, bukan kualitasnya. Sebab, usahanya lebih focus pada pakaian batik. “Batik Pekalongan sudah terkenal dan harganya murah. Kalau bahan baku di Medan lebih mahal,” ujarnya.
Begitu juga M Yusuf (32), pengusaha konveksi seragam sekolah. Mereka membuka konfeksi ini sudah turun temurun sejak 30 tahun silam. Menurutnya, kehadiran pakaian buatan pabrik dengan berbagai model, tak membuat usahanya tersangi. “Karenakan kita sudah mempunyai langganan bang, apalagi usaha ini sudah puluhan tahun dibuat, jadi tak begitu tersaingi lah,” ujarnya.
Hal yang sama dikatakan Safri (52), pengusaha konveksi celana di lokasi itu. Ia sudah 20 tahunan merintis usahanya untuk di pasarkan di Kota Medan sekitarnya. Awalnya, ia merintis dengan membuat celana dengan bahan yang ia sediakan sendiri. Tapi kini tidak lagi. “Sekarang kita terima orderan aja kepada pemesan. Biasanya pemesan dari berbagai daerah membawa bahannya sendiri,” katanya.
Meski persaingan cukup pesat, namun usahanya tidak terganggu. Sebab, uasahnya sudah lamanya dikenal masyarakat di Sukaramai sehingga tidak pernah sepi dari orderan. “Kebanyakan toko-toko di Kota Medan yang jualan jeans minta jahitkan ke mari. Kita kerja sama dengan pengusaha celana ini untuk kita ambil persennya saja, biasanya seperempat dari bahan baku,” ujarnya.
Safri mengakui, jika sudah menjelang Lebaran ini mereka kebanjiran orderan. Saking banyaknya order, mereka jadi kekurangan tenaga. “Kalau menjelang lebaran ini, biasa target kita pertahun mencapai 90 ribu potong,”katanya.
Soal sejarah keberadaan para pengusaha konveksi di Sukaramai, Wakil Pusis Unimed Erond L Damanik mengakui kalau daerah Sukaramai, Bromo dan daerah sekitarnya memang mayoritas orang Minang. Orang Minang ini sudah turun temurun untuk berjualan pakaian dan sebagian berjualan makanan di seputaran daerah tersebut.
“Orang Minang datang ke Kota Medan ini berasal dari Sumbar. Mereka merantau pada akhir 1960-an,” ujarnya. (*)