Pihaknya juga mengamini bahwa saran atau masukan elemen buruh yang minta kenaikan UMP 2019 berada di kisaran 20-30 persen, tidak akan mungkin diakomodir lagi. Sebab acuan ketiga unsur dalam penetapan UMP tersebut, tetap sesuai aturan yang sudah ditetapkan pemerintah. “Jika yang kita tetapkan malah tidak sesuai ketentuan, tentu nanti kita (pemerintah) juga yang salah,” katanya.
Dia meminta agar seluruh elemen masyarakat maupun buruh untuk sabar menanti besaran UMP 2019 sampai ada keputusan dari gubernur Sumut. Sebab, hasil pembahasan yang telah pihaknya lakukan itu, akan terlebih dahulu ditetapkan gubernur melalui surat keputusan.
“Notulen rapat yang sudah kami susun nantinya menjadi dasar dan pedoman gubernur saat menetapkan UMP 2019,” katanya. Sebelumnya ia menjelaskan bahwa UMP yang ditetapkan setiap tahun ini sebagai upah penyanggah. Sedangkan UMK tentu menjadi domain masing-masing pemerintah kabupaten/kota.
Sementara itu, Dewan Pengurus Pusat Konfedarasi Indonesia (DPP – K) Serikat Buruh Sejahtera Indonesia Indonesia (SBSI) melalui Sekretaris Wilaya I Sumatera (DPP – K) SBSI, Arsula Gultom, SH menilai, UMP 2019 Rp2.303.403 yang diusulkan ke Gubsu, adalah kebijakan yang akan mencederai nasib dan kesejahteraan buruh di Sumatera Utara. “Secara sistematis, kenaikan UMP yang mengacu pada PP 78 Tahun 2015 secara hukum telah melanggar Pasal 88 dan 89 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan,” ujarnya.
Artinya, lanjut dia, kebijakan itu tidak berdasarkan kesepakatan Tripartit yang melibatkan serikat buruh, pengusaha dan pemerintah, dalam melakukan survei daerah yang menjadi acuan penetapan UMP di Sumatera Utara. Sehingga, kebijakan yang akan diusulkan, adalah bentuk kebijakan otoriter pemerintah untuk menyampingkan nasib dan kesejahteraan buruh.
“Yang jelas, PP 78 Tahun 2015 harusnya dicabut. Mana lebih tinggi, undang – undang atau peraturan presiden. Kita tetap menolak kebijakan yang akan diumumkan pada 1 November nanti, karena kenaikan upah sangat rendah dibandingkan dengan UU No 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan. Jadi, kita minta gubernur harus lebih teliti dan bijak mengumumkan keputusan itu,” tegas Arsula.
Dijelaskan aktivias buruh ini, untuk Kota Medan dan Deliserdang, pada tahun 2018 telah melakukan gugatan di PTUN tentang pengupahan UMK, dalam gugatan itu, diputuskan untuk Kota Medan dan Deliserdang berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, makanya, buruh memperoleh upah lebih tinggi dari PP 78 Tahun 2015.
“Dalam salinan MA Nomor 120 K/TUN/2018 UMK Deliserdang dan MA Nomor 122 K/TUN/2018 UMK Medan sudah jelas, upah buruh dapat terlaksana oleh pengusaha sesuai dengan perkalian dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Hasilnya, diperoleh UMK Medan sebesar Rp 2.749.074 dan Deeliserdang 2.720.100 serta untuk UMP untuk Sumatera Utara Rp 2.132.168,68. Terbukti, pengusaha bisa membayar upah buruh dengan kenaikan itu,” ungkap Arsula.