Mengunjungi Pertambangan Emas Proyek Martabe di Batangtoru (3-habis)
Bekerja di dunia pertambangan bukan lagi hanya domainnya kaum pria. Setidaknya, hal itu bisa terlihat di Proyek Martabe di Batangtoru.
Toga MH Siahaan, Medan
Usai perkenalan di Pelangi Recreation Room, para jurnalis peserta kunjungan sehari ke pertambangan emas Proyek Martabe milik PT Agincourt Resource (PT AR) di Batangtoru diajak berkeliling ke kawasan tambang. Lokasi pertama yang didatangi adalah bendungan penampungan lumpur sisa tambang emas atau tailing storage facility (TSF). Di bendungan ini yang nantinya sedalam 300-360 meter ini akan ditampung 11-12 juta meter kubbik ampas tambang yang sudah didetoksifikasi.
Agus Supriyanto, Deputy Mine Manager memastikan, tiga lapis penyaringan limbah dan beberapa perlakuan lain akan mampu menawarkan limbah tambang ini sebelum mengalir ke hilir Aek Pahu.
Tiga pipa yang mengalirkan air bersih, diklaim lebih bersih dari air yang selama ini dikonsumsi warga, ‘diselamatkan’ agar tidak menyentuh kawasan bendungan. “Sumber air murni di luar badan bendungan dengan 3 water dispersion pakai pipa besar, dialirkan ke Aek Pahu Lama di hulu,” ujar Agus Supriyanto.
Dari lokasi TSF, rombongan jurnalis bergerak ke lokasi pabrik yang pembangunannya sedang dalam tahap finishing. Di pabrik inilah nantinya raw material dari pit Purnama dan pit-pit lainnya diproses menghasilkan emas dan perak. Sekali lagi, Tim Duffy, GM Operation G-Resources Martabe, menerangkan rencana pengolahan raw material di pertambangan itu.
Perjalanan kemudian berlanjut ke pit Pur, lokasi tambang yang letak gerografisnya lebih tinggi. Di tempat itu, sejumlah alat berat bekerja, mempersiapkan tahapan eksploitasi. Di ketinggian sekitar 487 di atas permukaan laut (dpl) itu, Tim Duffy mengajak rombongan ke sebuah tempat yang memungkinkan memandang wilayah Proyek Martabe.
Setelah memberi penjelasan seputar rencana pengembangan Proyek Martabe, Tim menunjuk ke arah alat berat bernama articulated dump truck (ADT) yang sedang memuat batu dan tanah. Truk Cat 740 enam roda dengan kemampuan beban tetapan 43,5 ton itu, katanya dioperasikan oleh seorang wanita. Karena tidak diperkenankan mendekat ke lokasi alat berat bekerja untuk memastikan apa yang disebutkan Tim Duffy, para jurnalis diminta menunggu di tepi jalan yang akan dilalui truk tersebut.
Sekitar 200 meter dari lokasi muatan tanah, ADT berhenti. Tim meminta stafnya untuk menghentikan truk dan memberi kesempatan jurnalis berbincang dengan operatornya. Benar juga. Dari truk setinggi sekitar dari 3 meter itu, keluar seorang wanita bertubuh mungil. Setelah helm pengamannya dibuka, terlihat rambut hitamnya yang panjang. Namanya Sri Hastuti, 25 tahun. Tinggi badannya hanya 150 cm.
“Saya dilatih tiga bulan,” kata bungsu dari 6 bersaudara tersebut menjawab pertanyaan jurnalis.
“Coba tanya, apakah sebelumnya Sri bisa mengendarai mobil,” pancing seorang staf PT AR. Ternyata tidak bisa. Jangankan mobil, mengendarai sepeda motor saja sebelumnya Sri tidak mampu.
Sri Hastuti bekerja untuk perusahaan Leighton, rekanan PT AR yang bertugas menyiapkan konstruksi pertambangan. Di proyek itu, dia sudah setahun ini dia mengendalikan ADT dengan upah Rp3,8 juta per bulan. “Sebelumnya saya tidak pernah mimpi bawa truk sebesar ini. Lumayanlah, saya sudah bekerja dengan gaji segitu,” ujar warga Aek Pining ini.
PT AR sepertinya menaruh perhatian khusus bagi pekerja wanita. Menurut Communication Manager PT AR, Katarina Hardono, kaumnya yang bekerja di proyek Martabe sudah belasan persen dari total. Kedepannya, setelah memasuki tahap produksi, pekerja wanita akan mendapat kuota 30 persen. Bidang yang digeluti, hampir di semua proyek tambang, termasuk bidang yang selama ini lazim ditangani kaum Adam.
Mengapa PT AR memberi porsi lumayan besar? “Karena wanita lebih telaten,” kata Katarina memberikan alasan.
Cerita tentang Sri Hastuti menjadi kisah akhir yang disuguhkan manajemen PT AR di pit Purnama. Rombongan kemudian diarahkan ke core shed, tempat hasil sample galian disimpan dan dipelajari. “Ini ibarat perpustakaan bagi kami,” ujar Jajan Hertrijana, geolog PT AR sambil memperlihatkan batu-batu sampel yang diambil dari sejumlah lolasi tambang.
Disebut seperti perpustakaan, karena Jajan Hertrijana dan geolog lain di PT AR selalu meneliti setiap sampel minelar yang terus berdatangan. “Kalau dijejerkan, panjangkan mungkin sudah sampai 100 kilometer,” ujar Jajan merujuk banyaknya batu-batu berbentuk bulat panjang yang dipajang disejumlah rak tersebut. Dalam penelitian, sampel batu-batu mengandung serpihan emas ini kemudian dihaluskan menjadi bubuk di Padang untuk diteliti lebih lanjut di Jakarta.
Puas mengelilingi core shed, pukul 12.35 WIB rombongan kembali ke Pelangi Recreation Room untuk beristirahat, sebelum kembali ke Medan. Usaimakan siang, rombongan kembali disuguhi fakta-fakta yang telah dilakukan PT AR sebagai bentuk pertanggungjawaban sosial dan perbaikan lingkungan dan mendukung komitmen tambang hijau.
Menurut Manager Community Relation, Stevi Thomas, lebih dari 13 ribu jiwa dari tiga desa terkena imbas pembangunan Proyek Martabe. Stevi Thomas menjamin, pihaknya sudah melakukan sejumlah upaya untuk memberi kompensasi bagi warga tersebut. Selain pemerian berbagai donasi, pihaknya menjadi sponsorship berbagai kegiatan kemasyarakatan, teribat aktif dalam kegiatan kemanusiaan, termasuk menangani bocah gizi buruk dan mendukung pelaksanaan Posyandu di sekitar tambang. Dari Pelangi Recreation Room, rombongan diajak menyaksikan peresmian Taman Baca Anak Teratai Desa Wek I. Taman bacaan ini menjadi yang keempat yang dibangun masyarakat sekitar dan difasilitasi PT AR.
Dari Desa Wek I, rombonganl angsung menuju Bandara DR FL Tobing/Pinangsori untuk kembali ke Medan. Kali ini rombongan kembali dilayani duo pilot-co pilot Kris dan Jakub. “Saya pernah terbang dengan Susi Air yang dipiloti dua pilot wanita. Sayang bukan mereka yang bawa sekarang,” ujar Katarina Hardono. Tak apalah. Hampir satu jam kemudian,sekitar pukul 17. 00 Wib, rombongan sudah tiba kembali di Bandara Polonia Medan dan berpisah untuk melaksanakan tugas masing-masing. (*/habis)