31 C
Medan
Sunday, June 30, 2024

Itu Memang Petunjuk Bapak Presiden…

Mantan Menteri Penerangan zaman Presiden Soeharto, Harmoko.
Mantan Menteri Penerangan zaman Presiden Soeharto, Harmoko.

Tepikan dahulu topik perombakan kabinet yang kerap membikin kencang degup jantung para menteri era kini. Mari sejenak menengok aktivitas para menteri era Orde Baru. Untuk sekadar menyapa: Apa kabar, Mbah Menteri?

’’Menurut petunjuk Bapak Presiden…’’
Pembaca yang tumbuh dewasa pada era 80-an hingga 90-an tentu akrab dengan kalimat tersebut. Hanya seorang yang masyhur dengan kalimat khas itu. Harmoko. Dialah menteri penerangan tiga periode (Kabinet Pembangunan IV–VI).

Jumat (22/4), Jawa Pos (grup Sumut Pos) menemuinya di kantor redaksi Pos Kota, surat kabar harian yang didirikan Harmoko bersama sejumlah koleganya pada 1970.

’’Alhamdulillah, baik,’’ ucap Harmoko, lantas tersenyum dan membalas uluran tangan untuk bersalaman saat menerima Jawa Pos di ruangannya.

Usianya kini 77 tahun. Saat menyambut Jawa Pos, Harmoko duduk di kursi rodanya. Mengenakan kemeja biru berbahan tenun tradisional dan (tentu saja tak lupa) peci hitam. Sesekali tangan kanan mantan ketua MPR/DPR itu gemetar.

Meski demikian, semangat Harmoko tampak belum pudar. Meski mulai terbata dalam berucap, dia berupaya menjawab pertanyaan-pertanyaan yang disampaikan. Sesekali obrolan diselingi tawa lepas Harmoko. Dengan napas tersengal.

Setelah purnatugas sebagai ketua MPR/DPR, Harmoko aktif menulis. Saat ini dia rutin menulis Kopi Pagi di Pos Kota. Kolom itu terbit tiap Senin dan Kamis. Topiknya seputar isu terkini.

Di luar itu, Harmoko menjalani hydrotherapy di Hotel Borobudur serta fisioterapi di RS Bunda Jakarta. ’’Saya juga keliling ke pesantren-pesantren,’’ tutur pria kelahiran Nganjuk, Jawa Timur, tersebut dengan perlahan.

Harmoko memang memiliki empat pesantren. Yakni, Fajar Dunia di Cileungsi, Kabupaten Bogor, Jawa Barat; Lailatul Qodar di Sukoharjo, Jawa Tengah; Hanacaraka di Wonogiri, Jawa Tengah; dan Al Barokah di Nganjuk, Jawa Timur.

Saat terapi, tidak jarang Harmoko bertemu dengan kolega-koleganya sesama menteri pada eranya. Mulai mantan Menteri Kehakiman Oetojo Oesman, mantan Menpora Abdul Gafur, mantan Menristek Rahardi Ramelan, dan mantan Menteri Perumahan Rakyat Akbar Tandjung serta Presiden Ketiga B.J. Habibie.

Saat disinggung tentang apa saja yang dilakukannya saat bertemu mereka, Harmoko hanya tertawa. ’’Kami nyanyi-nyanyi,’’ ucap ayah tiga anak itu. Pertemuan tersebut biasanya juga diselingi diskusi. Hasilnya dituangkan dalam Kopi Pagi.

Tentang kalimat khasnya, menurut Harmoko, hal itu dipilih karena yang dia sampaikan memang hal-hal yang disampaikan Presiden Soeharto. “Jadi, itu memang petunjuk presiden, saya sampaikan ke publik,” lanjut kakek enam cucu itu.

Menteri, tutur Harmoko, bertugas melaksanakan kebijakan presiden. Tidak boleh semaunya sendiri.

Harmoko ketika itu memang layaknya juru bicara pemerintah. Dia ditugasi menyampaikan program-program pemerintah kepada rakyat. Hingga akhirnya, Harmoko pun meluncurkan program Kelompencapir (Kelompok Pendengar, Pembaca, dan Pemirsa).

Kalimat khas itu pun dengan mudah menjadi ciri Harmoko. Di luar itu, muncul berbagai pelesetan namanya di masyarakat seiring statusnya sebagai menteri penerangan. Yang sinis dan paling terkenal tentu ’’Hari-hari omong kosong’’.

Mantan Menteri Penerangan zaman Presiden Soeharto, Harmoko.
Mantan Menteri Penerangan zaman Presiden Soeharto, Harmoko.

Tepikan dahulu topik perombakan kabinet yang kerap membikin kencang degup jantung para menteri era kini. Mari sejenak menengok aktivitas para menteri era Orde Baru. Untuk sekadar menyapa: Apa kabar, Mbah Menteri?

’’Menurut petunjuk Bapak Presiden…’’
Pembaca yang tumbuh dewasa pada era 80-an hingga 90-an tentu akrab dengan kalimat tersebut. Hanya seorang yang masyhur dengan kalimat khas itu. Harmoko. Dialah menteri penerangan tiga periode (Kabinet Pembangunan IV–VI).

Jumat (22/4), Jawa Pos (grup Sumut Pos) menemuinya di kantor redaksi Pos Kota, surat kabar harian yang didirikan Harmoko bersama sejumlah koleganya pada 1970.

’’Alhamdulillah, baik,’’ ucap Harmoko, lantas tersenyum dan membalas uluran tangan untuk bersalaman saat menerima Jawa Pos di ruangannya.

Usianya kini 77 tahun. Saat menyambut Jawa Pos, Harmoko duduk di kursi rodanya. Mengenakan kemeja biru berbahan tenun tradisional dan (tentu saja tak lupa) peci hitam. Sesekali tangan kanan mantan ketua MPR/DPR itu gemetar.

Meski demikian, semangat Harmoko tampak belum pudar. Meski mulai terbata dalam berucap, dia berupaya menjawab pertanyaan-pertanyaan yang disampaikan. Sesekali obrolan diselingi tawa lepas Harmoko. Dengan napas tersengal.

Setelah purnatugas sebagai ketua MPR/DPR, Harmoko aktif menulis. Saat ini dia rutin menulis Kopi Pagi di Pos Kota. Kolom itu terbit tiap Senin dan Kamis. Topiknya seputar isu terkini.

Di luar itu, Harmoko menjalani hydrotherapy di Hotel Borobudur serta fisioterapi di RS Bunda Jakarta. ’’Saya juga keliling ke pesantren-pesantren,’’ tutur pria kelahiran Nganjuk, Jawa Timur, tersebut dengan perlahan.

Harmoko memang memiliki empat pesantren. Yakni, Fajar Dunia di Cileungsi, Kabupaten Bogor, Jawa Barat; Lailatul Qodar di Sukoharjo, Jawa Tengah; Hanacaraka di Wonogiri, Jawa Tengah; dan Al Barokah di Nganjuk, Jawa Timur.

Saat terapi, tidak jarang Harmoko bertemu dengan kolega-koleganya sesama menteri pada eranya. Mulai mantan Menteri Kehakiman Oetojo Oesman, mantan Menpora Abdul Gafur, mantan Menristek Rahardi Ramelan, dan mantan Menteri Perumahan Rakyat Akbar Tandjung serta Presiden Ketiga B.J. Habibie.

Saat disinggung tentang apa saja yang dilakukannya saat bertemu mereka, Harmoko hanya tertawa. ’’Kami nyanyi-nyanyi,’’ ucap ayah tiga anak itu. Pertemuan tersebut biasanya juga diselingi diskusi. Hasilnya dituangkan dalam Kopi Pagi.

Tentang kalimat khasnya, menurut Harmoko, hal itu dipilih karena yang dia sampaikan memang hal-hal yang disampaikan Presiden Soeharto. “Jadi, itu memang petunjuk presiden, saya sampaikan ke publik,” lanjut kakek enam cucu itu.

Menteri, tutur Harmoko, bertugas melaksanakan kebijakan presiden. Tidak boleh semaunya sendiri.

Harmoko ketika itu memang layaknya juru bicara pemerintah. Dia ditugasi menyampaikan program-program pemerintah kepada rakyat. Hingga akhirnya, Harmoko pun meluncurkan program Kelompencapir (Kelompok Pendengar, Pembaca, dan Pemirsa).

Kalimat khas itu pun dengan mudah menjadi ciri Harmoko. Di luar itu, muncul berbagai pelesetan namanya di masyarakat seiring statusnya sebagai menteri penerangan. Yang sinis dan paling terkenal tentu ’’Hari-hari omong kosong’’.

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/