JAKARTA- Cendekiawan muslim, Nurcholis Madjid (Cak Nur) dulu pernah membuat jargon ‘Islam Yes, Partai Islam No’. Menurut peneliti Lingkaran Survei Indonesia (LSI), Adjie Al faraby, jargon itu kini perlahan menjadi kenyataan.
“Ada tantangan kini untuk partai Islam yaitu perubahan kultural masyarakat. Jargon Cak Nur ‘Islam Yes Partai Islam No’ sekarang sudah jadi fakta politik,” jelasnya dalam diskusi Polemik ‘Suara Partai Islam Melorot’ di restoran Warung Daun, Cikini, Jakarta, akhir pekan lalu.
Akan tetapi, Adjie mengatakan, terbuka peluang bagi partai Islam untuk meraih suara. Menurut hasil penelitiannya masih ada sekitar 25-30 persen massa yang loyal terhadap partai Islam.
“Masih ada peluang untuk partai Islam. Marketnya sekitar 25 sampai 30 persen tergantung partai Islam mana yang bisa mengambil market ini,” lanjutnya.
Dalam kesempatan yang sama, Ketua DPP PKS, Sohibul Imam menyanggah peryataan peneliti LSI tersebut. Menurut dia, jargon Cak Nur itu dulu muncul ketika partai Islam lebih mengedepankan simbol ketimbang substansi Islam sendiri. Politisi PKS ini berpandangan kurang relevan jika jargon tersebut dikatakan terjadi hari ini.
“Jargon itu akan hilang (hari ini) jika partai Islam dapat memunculkan substansi (Islam). Kemerosotan ini karena faktor ini. Perilaku tidak baik oleh partai Islam akan lebih direspons ketimbang partai biasa” tambahnya.
Di sisi lain, hasil riset LSI soal kemerosotan suara partai Islam saat ini justru diamini pengamat sosial dan budaya, Ridwan Saidi.
Bahkan Ridwan menyebut masa kejayaan partai Islam sudah berakhir. “Partai Islam ini sudah berakhir,” kata Ridwan. Menurut dia, merosotnya eksistensi partai Islam sangat dipengaruhi oleh perilaku tokoh partai. Perilaku negatif pemimpin partai tentu akan berimbas pada citra partai.
Ridwan menilai kebanyakan tokoh partai Islam gagal mewakili keinginan masyarakat. Malahan, sejumlah tokoh juga melakukan kesalahan, sehingga persepsi masyarakat terhadap partai Islam kian negatif. (jpnn)