Lima Hari Jelang Pemasangan Pipa Limbah Tambang Martabe
MEDAN-Terhitung lima hari lagi, Senin (29/10), Tambang Emas Martabe di Desa Aek Pining, Batang Toru, Tapanuli Selatan, akan kembali memasang pipa penyaluran air sepanjang 2,7 kilometer. Perusahaan tambang terbesarn
di Sumatera Utara (Sumut) dengan nilai investasi sekitar 1 miliar USD akan berupaya kembali memasang instalasi ‘maha penting’ itu demi kelanjutan produksi yang terhenti lebih dari sebulan lamanya.
Akankah berhasil? Komitmen pemerintah provinsi Sumatera Utara, Pemkab Tapanuli Selatan, Kepolisian Daerah Sumatera Utara (Sumut) dan jajarannya serta pihak-pihak terkait untuk menjaga investasi di Sumut, akan dibuktikan. Apalagi G Reources sebagai perusahaan internasional pemilik kontrak karya Tambang Martabe, listing di Hong Kong. Informasi terhambatnya proses produksi di Tambang Martabe dipastikan sekaitan dengan dunia investasi di Sumut, dengan cepat merembet dan mengglobal.
Karena itu, penolakan warga desa sekitar yang terjadi di beberapa kali di bulan-bulan lalu, diharapkan tidak terulang. Selain kian mencoreng citra dunia investasi Sumut dan Indonesia, pelajaran pahit akibat penghentian produksi, yang sejatinya sudah berlangsung sejak pertengahan Agustus 2012, kiranya sudah cukup menyesakkan dada.
Misalkan saja, ratusan pekerja tambang dirumahkan. Kegiatan CSR yang ditujukan untuk pembangunan sosial masyarakat setempat terhenti. Dampak ikutan lainnya (multiplier effect) akan mengikuti rentetan kerugian berikutnya.
“Kami mengharapkan komitmen dan ketegasan pemprov Sumut, pemkab Tapsel dan pihak ke polisian untuk menjamin kelanjutan produksi Tambang Emas Martabe,” ujar Katarina Hardono, Communication Manager PT Agincourt Resources, perusahaan yang dibentuk G Resources untuk mengelola tambang, saat berkunjung ke kantor Sumut Pos di Graha Pena Medan, kemarin pagi.
Apalagi, pihak tambang sejak awal sudah menghibahkan saham dalam bentuk golden share sebanyak 5 persen. 70 persen sahamnya dikuasai pemerintah kabupaten Tapsel dan sisanya menjadi hak pemprovsu.
Kalau tetap tak bisa berporoduksi, perusahaan tambang bahkan memprediksi akan memutuskan hubungan kerja dengan jumlah yang sangat banyak. Katarina yang kemarin didampingi stafnya, Donan Hattu, kembali mengungkapkan, tak kurang dari 4.500 pekerja terlibat dalam kegiatan industri pertambangan mineral itu selama masa konstruksi.
Jumlahnya memang berkurang, menjadi 2.780 orang setelah tambang berproduksi. Dari angka itu, 70 persen pekerja berasal dari wilayah seputaran tambang dan daerah Batang Toru lainnya. Itu artinya, hampir 2.000 warga sekitar yang menggantungkan peghidupannya dari sekitar tambang.
Bila jumlah 2.000 pekerja itu dirata-ratakan mendapat upah Rp2.500.000 saja sebulan, sekadar data pembanding, nilai rupiah yang beredar di Batang Toru mencapai Rp5 miliar per bulan. Sementara di pihak perusahaan, Tambang Martabe mengalami kerugian sekitar Rp14 miliar per harinya.
“Sangat disayangkan kalau tambang sampai ditutup dan terjadi PHK missal. Tapi kami sebagai orang (bagian) manajemen (dari) Indonesia terus berjuang agar tambang tidak ditutup,” ujar Donna menimpali Katarina.
Untuk itu, apabila pemasangan pipa di awal pekan besok masih menemui kendala, pihak manajemen tambang akan membawa permasalahan ini langsung ke Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. “Manajemen percaya, pemerintah Indonesia tidak akan menyia-nyiakan investasi 1 miliar dolar AS. Apalagi tambang kita masuk bagian MP3EI (Master Plan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia,” ujar Katarina.
—
Bagaimana tanggapan pemprovsu? Kepala Dinas Pertambangan Dan Energi (Kadistamben) Sumatera Utara (Sumut), Untungta Kaban, menegaskan pihaknya berharap Tambang Martabe segera beroperasi.
“Kita terus berupaya supaya perusahaan bisa kembali beroperasi. Minggu depan kita ke lapangan untuk membahas ini. Dan sebelumnya, dengan pihak terkait baik Tim Advance, Badan Lingkungan Hidup (BLH) Sumut dan pihak terkait lainnya juga terus membahas masalah ini, untuk mencari win-win solution yang diharapkan,” ungkap Untungta, kemarin.
Untungta menyatakan, dengan beroperasinya PT Agincourt Resources, setidaknya bisa mempekerjakan kembali 1.200 karyawan perusahaan yang terlanjur dirumahkan.
“Ya dirumahkan itu, bukan berarti dipecat. Kalau nanti sesuai keinginan kita dan semua pihak lainnya, perusahaan bisa beroperasi diharapkan karyawan yang sudah dirumahkan bisa dipekerjakan kembali,” harapnya.
Apakah yang diberikan Pemprovsu dan pemangku kepentingan lainnya, untuk menjamin perusahaan tambang bisa kembali beroperasi tanpa gangguan? Untungta belum memberikan jawaban memuaskan. “Kalau jaminan, ya tidak sampai ke situlah. Intinya, kita terus mencari win-win solution supaya perusahaan bisa beroperasi kembali,” cetusnya lagi.
Terkait rencana pertemuan tim dari Pemprovsu dengan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Jero Wacik, sampai sejauh ini belum terealisasi. “Belum jadi. Kita menunggu Pak Pelaksana Tugas (Plt) Gubernur Sumatera Utara (Gubsu) untuk bersama-sama ke sana. Dan Pak Menteri ESDM juga masih belum ada waktu. Nanti aka. Kita jadwalkan ulang,” akunya.
Saat dikonfirmasi perihak rencana PT Agincourt Resources memasang pipa air saringan pembuangan yang sudah diproses hingga sesuai ketentuan AMDAL (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan), Senin (29/10), Untungta mengaku tidak mengetahui hal itu. “Iya? Benar begitu ya? Dapat info dari mana? Kami belum dapat kabarnya,” katanya.
Sesuai AMDAL
Kepala Badan Lingkungan Hidup (BLH) Sumatera Utara, Hidayati mengatakan sesuai AMDAL yang diserahkan PT Agincourt, Tambang Martabe sudah sesuai dengan ketentuan dan syarat yang berlaku dalam pengelolaan limbah industri.
“Kalau dari Amdal yang kita terima, pertambanganakan mengelola dan mengeluarkan limbah sesuai dengan baku mutu. Nah, berarti ini tidak ada masalah,” ujarnya saat ditemui dikantornya di Jalan Teunku Daud.
Dijelaskannya, sesuai baku mutu, berarti limbah tidak akan memberikan dampak lingkungan yang terlalu besar. Karena, dalam AMDAL yang diserahkan, PT Agincourt akan melakukan penanggulangan dan pemulihan bila terjadi dampak lingkungan. “Pencegahan dan pemulihan ini bisa dilakukan agar status sungai bisa kembali normal atau tidak tercemar, misalnya dengan reboisasi, clean up, dan lainnya,” lanjutnya.
Baku mutu itu sendiri, dimana kandungan air limbah tersebut tidak mengandung zat kimia yang berbahaya. Seperti Amonia, TSS (Total Suspensive Solite), dan lainnya.
Sesuai dengan pemanfaatan, sungai Batangtoru tersebut merupakan alat untuk pemenuhan kebutuhan air minum. Tetapi, pada kenyataanya, masyarakat disana juga menggunakan air sungai tersebut untuk berbagai kegiatan, seperti mencuci pakaian, mandi, dan lainnya. Dan kegiatan tersebut, dapat menjadi salah satu penyebab terjadinya pencemaran air sungai. “Sabun yang kita gunakan menggunakan produk kimia, jadi bisa jadi ini menjadi salah satu penyebab,” tambahnya.
Terkait dengan berbahaya atau tidaknya limbah tersebut, Hidayati menyatakan belum dapat menelitinya. Karena hingga saat ini, PT Agincourt belum pernah sama sekali membuang limbahnya. “Kalau mau tahu apakah berbahaya atau tidak ya setelah dibuang. Tapi inikan belum ada dibuang. Jadi, bagaimana kita bisa katakan bahwa itu berbahaya?. Tapi, kalau sesuai dengan Amdal, tidak akan mengakibatkan dampak lingkungan,” lanjutnya.
“Nah, bila sudah dibuang, baru bisa di monitor. Apakah limbah berbahaya atau tidak,” tambahnya.
Karena itu, diharapkannya agar masyarakat, pemerintah, dan stake holder dapat memonitor perkembangan limbah ini. Agar dampak lingkungan berbahaya yang ditakutkan dapat dihindari. “Pasti ada dampak, tapi mereka akan melakukan penanggulangan dan pemulihan. Semua pasti memiliki dampak, hidup saja ada dampaknya kok,” tutupnya. (ari/ram)