MEDAN, SUMUTPOS.CO – Sungguh miris nasib yang dialami sepasang bersaudara ini, Elisa dan Sugito warga Jalan Surabaya No 72, Kelurahan Pasar Baru, Kecamatan Medan Kota, Kota Medan. Rumah Toko (ruko) yang mereka huni selama 70 tahun lebih itu, pintunya digembok dari luar, di saat keduanya masih berada di dalam. Tak hanya itu, atap seng dibongkar dan jendela juga turut dijebol oleh pihak yang mengaku pemilik lahan ruko tersebut.
Wanita tua ini terpaksa tidur di tengah hujan deras usai atap seng rumahnya dibongkar pihak mengaku pemilik lahan. Setiap pagi, mereka harus menguras air yang menggenangi lantai ruang tamu hingga kamar.
Belum lagi, ‘teror’ yang dilakukan pihak mengaku pemilik lahan, melakukan pengerusakan terhadap bangunan ruko yang mereka tempati itu.
Kedua penghuni ruko berusia senja ini mengakui bahwa awalnya lahan yang dihuni itu disewa orangtuanya dari orangtua pihak mengaku pemilik lahan saat ini.
“Sekitar 70 tahun yang lalu, orangtua kami memang menyewa lahan kosong ini. Namun setahu kami, tidak ada surat perjanjian apapun. Dan kemudian, orangtua kami membangun ruko di atas lahan ini,” tuturnya saat disambangi wartawan di kediamannya, baru-baru ini.
Di tempat yang sama, Klisman Sinaga SH, Tim Kuasa Hukum keluarga Elisa dan Sugito, menyayangkan sikap arogansi dan aksi pelemparan batu yang dilakukan pihak pengacara dari pemilik lahan terhadap tukang yang sedang memasang atap seng ruko Jalan Surabaya No 72, Medan.
Aksi pelemparan itu terjadi Jumat (21/10), saat mencoba menguasai ruko di Jalan Surabaya itu. Video itupun menjadi viral di sejumlah jejaring sosial dan aplikasi percakapan beberapa hari terakhir.
“Kalau mereka merasa ini memang lahan milik mereka, silahkan bawa ke jalur hukum. Biar hukum yang memutuskan. Jangan semena-mena dengan cara seperti premanisme seperti ini,” ungkapnya.
Sebelumnya, Salim Halim SH MH, selaku Kuasa Hukum Sugito dan Elisa menceritakan kronologi awal kisruh lahan dan ruko di Jalan Surabaya itu. Orangtua dari Sugito, Choe Yon Han, menyewa lahan kosong dari orang tua Nurlinda Paramita, Ny B Paramita sejak 70 tahun lalu.
“Di masa-masa itu, ada semacam budaya kental, yang disebut Ciak Teh. Dimana seseorang menyewa lahan selamanya, dan berkewajiban membayar sewa bulanan sebagai ‘upeti’. Karena saat itu lahan juga tidak memiliki surat, maka perjanjian sewa menyewa cukup dengan lisan, dan berlangsung turun temurun,” papar Salim.
Pihak Choe Yon Han kemudian mendiami lahan tersebut serta membangun ruko di atasnya. Dan secara rutin tetap membayar sewa bulanan kepada B Paramita, orangtua Nurlinda Paramita.
“Pembayaran kemudian dilanjutkan melalui wesel pos kepada Paramita di Surabaya. Dan ini ada bukti kwitansi pembayaran serta wesel pos,” ungkapnya menunjukan bukti transfer wesel pos.
Namun, sejak lima tahun lalu, sekitar tahun 2017, saat pihak keluarga Elisa dan Sugito, keturunan Choe Yon Han, melakukan pembayaran via Wesel Pos, pembayaran itu ditolak. Keluarga Elisa dan Sugito tidak bisa membayar sewanya, walaupun berkeinginan membayar sewa tersebut.
“Mereka tidak pernah lalai melakukan kewajibannya, dan tidak pernah punya kemauan untuk tidak membayar. Mereka sudah menghuni lahan dan bangunan ini sejak 70 tahun lalu. Ketika pembayaran mereka akhirnya ditolak, bukankah itu dimaksudkan bahwa mereka bebas menghuni lahan tersebut tanpa kewajiban membayar?,” ungkapnya lagi.
Salim menjelaskan, secara wanprestasi yang diatur dalam Pasal 1238 KUHPerdata, kalau Sugito tidak mau membayar sewa tersebut, mungkin salah dan akan menerima somasi atau pemberitahuan dari pihak Paramita. “Namun di sini, justru Sugito yang ditolak dan tidak diterima pembayarannya tanpa ada komunikasi, pemberitahuan dari pihak keluarga Paramita. Artinya, bahkan seandainya pun ada perjanjian di antara kedua pihak ini, Sugito tidak melanggar kesepakatan apapun,” tambahnya.
Hal ini ditegaskannya, menyusul informasi dari pihak Kelurahan Pasar Baru yang menyebutkan adanya surat perjanjian sewa menyewa kedua pihak. “Keterlibatan pihak Kelurahan Pasar Baru di sini sungguh aneh. Mulai dari melakukan pembiaran penerobosan ruko dan perusakan bangunan, hingga menyebutkan adanya surat perjanjian.
Padahal dari informasi keluarga Sugito, perjanjian itu tidak ada sama sekali, sejak dahulu. Hanya lisan,” kata Salim, seraya menegaskan bahwa pihaknya akan melaporkan sikap Lurah Pasar Baru tersebut ke Walikota Medan Bobby Afif Nasution.
Lebih lanjut, Salim mengatakan, selama ini Elisa dan Sugito memiliki itikad baik, dengan tidak mengklaim lahan tersebut sebagai milik sendiri, meskipun sudah menempati lahan tersebut selama puluhan tahun.
“Ingat, menurut undang-undang pertanahan dan agraria, seseorang yang yang menempati lahan selama puluhan tahun, sudah bisa mengklaim lahan tersebut sebagai miliknya. Karena terjadi kekosongan kepemilikan atas lahan setelah masa tersebut. Apalagi, lahan tersebut juga tidak memiliki surat sertifikat,” katanya.
Ia mengatakan, menurut undang-undang, pemegang hak yang tidak menguasai fisik tanah selama bertahun-tahun dianggap telah meninggalkan haknya dan telah melepaskan hak atas tanah.
Salim juga mempertanyakan sertifikat tanah yang ditunjukkan pihak pemilik lahan, yang baru diterbitkan pada Februari 2022 ini. “Kami akan mendesak pengusutan atas terbitnya sertifikat itu. Kami menduga, adanya permainan mafia tanah terkait terbitnya sertifikat itu,” pungkasnya. (azw)