30 C
Medan
Wednesday, June 26, 2024

Lagi, 3 Pejabat Eselon II Tunggu Pelantikan

Karena Syamsul, UU No 32 Direvisi

MEDAN- Selama ditahan di Rutan Salemba, Gubernur Syamsul Arifin tergolong rajin melakukan mutasi pejabat di Pemprov Sumut. Terakhir, di ujung masa sebelum Syamsul dijadikan terdakwa di pengadilan Tipikor yang diperkirakan berlangsung Maret ini, tiga pejabat eselon II dilantik, Jumat (25/2).

Ulah Syamsul ini membuat gerah kementerian dalam negeri (Kemendagri). Berdasarkan pengalaman kasus Sumut ini juga di sejumlah daerah lain, Kemendagri menyiapkan aturan yang nantinya dituangkan dalam revisi UU Nomor 32 Tahun 2004. Aturan baru akan melarang kepala daerah yang sedang dalam tahanan karena berstatus tersangka, melakukan mutasi jabatan.

Direktur Jenderal Otonomi Daerah (Dirjen Otda) Kemendagri Djohermansyah Djohan mengatakan, aturan sejenis juga akan diterapkan kepada kepala daerah menjelang berakhirnya masa jabatan. Pasalnya, ada tren kepala daerah di akhir-akhir masa jabatannya melakukan mutasi-mutasi jabatan. “Nanti kita larang, enam bulan sebelum berakhir masa jabatannya, tak boleh melakukan mutasi,” ujar Djohermansyah Djohan kepada Sumut Pos di Jakarta, kemarin.


Terkait kegiatan Syamsul yang sering membongkar pasang pejabat di Pemprovsu dari tahanan, Djohermansyah menilai Syamsul Arifin menerapkan prinsip aji mumpung. Mestinya, sesuai etika, ketika sedang ditahan, Syamsul menyerahkan urusan pemerintahan ke Wagub Sumut Gatot Pudjonugroho.

Djohermansyah mengatakan, Syamsul seharusnya lebih konsentrasi memikirkan kasus yang membelitnya, yakni sebagai tersangka dugaan korupsi APBD Langkat. “Mestinya ya urus saja masalah hukum itu. Jangan dipusingkan dengan pergantian pejabat. Sudahlah, biar diurus wagub. Tapi pendekatan etika ini tak jalan dan dia (Syamsul, Red) lebih menggunakan pendekatan kekuasaan, mumpung masih tersangka karena kalau sudah terdakwa sudah tak punya kewenangan (karena diberhentikan sementara, Red),” ujar Djo, begitu biasa Djohermansyah dipanggil.

Djo juga prihatin dengan mutasi jabatan dan pengisian Plt Sekdaprovsu dari Hasiholan Silaen yang baru dua bulan menjabat lantas digantikan Rahmadsyah. “Sekda baru berapa bulan diganti. Ini justru menimbulkan ketidaknyamanan di kalangan pejabat di sana,” ujar Djo.

Djo juga mengingatkan para pejabat di lingkungan Pemprov Sumut agar tidak tergiur dengan promosi jabatan dengan jalur pelicin. Pasalnya, dalam kondisi seperti saat ini, di mana Syamsul sebentar lagi menjadi terdakwa dan dinonaktifkan, maka jabatan yang didapat dengan pelicin itu tak ada jaminan bisa bertahan lama. “Kalau wagub nanti yang pegang, bagaimana dengan orang-orang yang dilantik ini? Bagaimana kalau dimutasi lagi?” ujar Djo mengingatkan.

Lantas, apa yang bisa dilakukan pemerintah pusat? Djo mengaku tidak bisa berbuat banyak. Alasannya, secara normatif, karena baru tersangka, Syamsul masih punya kewenangan melakukan mutasi. “Dan aturan mainnya, tidak ada pembatasan berapa kali boleh mutasi oleh kepala daerah yang berada dalam tahanan,” terangnya.


Mengenai wacana merevisi UU No 32, aktivis Koalisi Masyarakat Sipil Antikorupsi (Kompak), Ray Rangkuti menilai perlu menutup celah di regulasi tersebut untuk melindungi pejabat dari mutasi-mutasi seenaknya. Karenanya, dia mendesak perlunya segera disahkan UU Administrasi Pemerintahan, yang didalamnya mengatur mekanisme pengisian pejabat berdasarkan kualifikasi yang jelas.

Tatkala tak ada mekanisme yang transparan itulah, kata aktivis asal Mandailing Natal itu, maka tak ada pilihan lain bagi para pejabat untuk nyetor sebagai pelicin untuk mendapatkan jabatan. Tindakan Syamsul yang rajin memutasi jabatan tatkala berada di tahanan, kata Ray, juga disebabkan aturan bahwa seorang tersangka masih aktif sebagai kepala daerah. “Mestinya, begitu tersangka, langsung diberhentikan,” ucapnya.

Seperti pendapat Djohermansyah, Ray juga menilai Syamsul bersikap aji mumpung. “Mumpung masih tersangka, dia menggunakan peluang ini untuk mengeruk keuntungan pribadi. Korupsi yang besar saja berani, apalagi yang cuman kecil-kecil. Kapan lagi kalau bukan sekarang,” cetus Ray.

Saat ditanya apa yang harus dilakukan Gatot, Ray mengatakan, memang politisi PKS ini belum bisa berbuat apa-apa, lantaran secra normatif, kendali kekuasaan masih di tangan Syamsul. “Gatot masih wakil. Tapi setidaknya dia bisa melakukan pendekatan ke pejabat-pejabat di sana, agar jangan menuruti permintaan setoran-setoran untuk mendapatkan jabatan, dengan jaminan dia nanti (ketika sudah menjadi plt gubernur, Red) melakukan mutasi berdasarkan kebutuhan dan prestasi kerja,” terang Ray.

Pengamat Politik dan Pemerintahan di Medan, Ahmad Taufan Damanik juga berpendapat, Syamsul Arifin tidak melakukankesalahan saat melakukan bongkar pasang pejabat di pemprov. Namun ditinjau dari sisi etika kepatutan, Syamsul tak bisa mengambil keputusan dan kebijakan strategis di Sumut.

Dia menyarankan Depdagri membuat keputusan mendesak gubernur memberikan kewenangan pelaksanaan pemerintahan kepada wakil gubernur. Kewenangan ini diharapkan mampu meredam kemungkinan terbentuknya kekuatanbaru birokrat danleti politik jelang suksesi kepemimpinan jelang p enonaktifan Syamsul Arifin sebagai gubernur. “Harusnya politisi Sumut dan birokrat Sumut paham dengan etika pemerintahan,” katanya lagi.


Segera Dilantik
Hingga, Jumat (25/2)  di Kantor Gubsu, ada tiga pejabat eselon II yang akan dilantik. Ketiganya dikabarkan sudah mendapat restu dari Syamsul Arifin. Informasinya, pelantikan mestinya dilakukan kemarin. Namun tidak diketahui penyebabnya, pelantikan tersebut urung terjadi.
Adapun ketiga calon pejabat baru itu adalah Sabrina akan ’menggusur’ Riadil Akhir Lubis di pos Kepala Bapeda, Harjoni Munir menggantikan Djaili Azwar sebagai Asisten Ekonomi dan Pembangunan serta Alexius yang akan menggantikan posisi Kepala Pendidikat dan Pelatihan Pemprovsu, Mangasi Mungkur.

Amatan wartawan koran ini di Pemprovsu kemarin, ketiganya calon pejabat baru tampak hadir bersama sejumlah pejabat eselon II lainnya di salah satu ruangan di Kantor Gubsu. Tampak pejabat, sejumlah politisi dari partai berlambang beringin. (sam/ril)

Karena Syamsul, UU No 32 Direvisi

MEDAN- Selama ditahan di Rutan Salemba, Gubernur Syamsul Arifin tergolong rajin melakukan mutasi pejabat di Pemprov Sumut. Terakhir, di ujung masa sebelum Syamsul dijadikan terdakwa di pengadilan Tipikor yang diperkirakan berlangsung Maret ini, tiga pejabat eselon II dilantik, Jumat (25/2).

Ulah Syamsul ini membuat gerah kementerian dalam negeri (Kemendagri). Berdasarkan pengalaman kasus Sumut ini juga di sejumlah daerah lain, Kemendagri menyiapkan aturan yang nantinya dituangkan dalam revisi UU Nomor 32 Tahun 2004. Aturan baru akan melarang kepala daerah yang sedang dalam tahanan karena berstatus tersangka, melakukan mutasi jabatan.

Direktur Jenderal Otonomi Daerah (Dirjen Otda) Kemendagri Djohermansyah Djohan mengatakan, aturan sejenis juga akan diterapkan kepada kepala daerah menjelang berakhirnya masa jabatan. Pasalnya, ada tren kepala daerah di akhir-akhir masa jabatannya melakukan mutasi-mutasi jabatan. “Nanti kita larang, enam bulan sebelum berakhir masa jabatannya, tak boleh melakukan mutasi,” ujar Djohermansyah Djohan kepada Sumut Pos di Jakarta, kemarin.


Terkait kegiatan Syamsul yang sering membongkar pasang pejabat di Pemprovsu dari tahanan, Djohermansyah menilai Syamsul Arifin menerapkan prinsip aji mumpung. Mestinya, sesuai etika, ketika sedang ditahan, Syamsul menyerahkan urusan pemerintahan ke Wagub Sumut Gatot Pudjonugroho.

Djohermansyah mengatakan, Syamsul seharusnya lebih konsentrasi memikirkan kasus yang membelitnya, yakni sebagai tersangka dugaan korupsi APBD Langkat. “Mestinya ya urus saja masalah hukum itu. Jangan dipusingkan dengan pergantian pejabat. Sudahlah, biar diurus wagub. Tapi pendekatan etika ini tak jalan dan dia (Syamsul, Red) lebih menggunakan pendekatan kekuasaan, mumpung masih tersangka karena kalau sudah terdakwa sudah tak punya kewenangan (karena diberhentikan sementara, Red),” ujar Djo, begitu biasa Djohermansyah dipanggil.

Djo juga prihatin dengan mutasi jabatan dan pengisian Plt Sekdaprovsu dari Hasiholan Silaen yang baru dua bulan menjabat lantas digantikan Rahmadsyah. “Sekda baru berapa bulan diganti. Ini justru menimbulkan ketidaknyamanan di kalangan pejabat di sana,” ujar Djo.

Djo juga mengingatkan para pejabat di lingkungan Pemprov Sumut agar tidak tergiur dengan promosi jabatan dengan jalur pelicin. Pasalnya, dalam kondisi seperti saat ini, di mana Syamsul sebentar lagi menjadi terdakwa dan dinonaktifkan, maka jabatan yang didapat dengan pelicin itu tak ada jaminan bisa bertahan lama. “Kalau wagub nanti yang pegang, bagaimana dengan orang-orang yang dilantik ini? Bagaimana kalau dimutasi lagi?” ujar Djo mengingatkan.

Lantas, apa yang bisa dilakukan pemerintah pusat? Djo mengaku tidak bisa berbuat banyak. Alasannya, secara normatif, karena baru tersangka, Syamsul masih punya kewenangan melakukan mutasi. “Dan aturan mainnya, tidak ada pembatasan berapa kali boleh mutasi oleh kepala daerah yang berada dalam tahanan,” terangnya.


Mengenai wacana merevisi UU No 32, aktivis Koalisi Masyarakat Sipil Antikorupsi (Kompak), Ray Rangkuti menilai perlu menutup celah di regulasi tersebut untuk melindungi pejabat dari mutasi-mutasi seenaknya. Karenanya, dia mendesak perlunya segera disahkan UU Administrasi Pemerintahan, yang didalamnya mengatur mekanisme pengisian pejabat berdasarkan kualifikasi yang jelas.

Tatkala tak ada mekanisme yang transparan itulah, kata aktivis asal Mandailing Natal itu, maka tak ada pilihan lain bagi para pejabat untuk nyetor sebagai pelicin untuk mendapatkan jabatan. Tindakan Syamsul yang rajin memutasi jabatan tatkala berada di tahanan, kata Ray, juga disebabkan aturan bahwa seorang tersangka masih aktif sebagai kepala daerah. “Mestinya, begitu tersangka, langsung diberhentikan,” ucapnya.

Seperti pendapat Djohermansyah, Ray juga menilai Syamsul bersikap aji mumpung. “Mumpung masih tersangka, dia menggunakan peluang ini untuk mengeruk keuntungan pribadi. Korupsi yang besar saja berani, apalagi yang cuman kecil-kecil. Kapan lagi kalau bukan sekarang,” cetus Ray.

Saat ditanya apa yang harus dilakukan Gatot, Ray mengatakan, memang politisi PKS ini belum bisa berbuat apa-apa, lantaran secra normatif, kendali kekuasaan masih di tangan Syamsul. “Gatot masih wakil. Tapi setidaknya dia bisa melakukan pendekatan ke pejabat-pejabat di sana, agar jangan menuruti permintaan setoran-setoran untuk mendapatkan jabatan, dengan jaminan dia nanti (ketika sudah menjadi plt gubernur, Red) melakukan mutasi berdasarkan kebutuhan dan prestasi kerja,” terang Ray.

Pengamat Politik dan Pemerintahan di Medan, Ahmad Taufan Damanik juga berpendapat, Syamsul Arifin tidak melakukankesalahan saat melakukan bongkar pasang pejabat di pemprov. Namun ditinjau dari sisi etika kepatutan, Syamsul tak bisa mengambil keputusan dan kebijakan strategis di Sumut.

Dia menyarankan Depdagri membuat keputusan mendesak gubernur memberikan kewenangan pelaksanaan pemerintahan kepada wakil gubernur. Kewenangan ini diharapkan mampu meredam kemungkinan terbentuknya kekuatanbaru birokrat danleti politik jelang suksesi kepemimpinan jelang p enonaktifan Syamsul Arifin sebagai gubernur. “Harusnya politisi Sumut dan birokrat Sumut paham dengan etika pemerintahan,” katanya lagi.


Segera Dilantik
Hingga, Jumat (25/2)  di Kantor Gubsu, ada tiga pejabat eselon II yang akan dilantik. Ketiganya dikabarkan sudah mendapat restu dari Syamsul Arifin. Informasinya, pelantikan mestinya dilakukan kemarin. Namun tidak diketahui penyebabnya, pelantikan tersebut urung terjadi.
Adapun ketiga calon pejabat baru itu adalah Sabrina akan ’menggusur’ Riadil Akhir Lubis di pos Kepala Bapeda, Harjoni Munir menggantikan Djaili Azwar sebagai Asisten Ekonomi dan Pembangunan serta Alexius yang akan menggantikan posisi Kepala Pendidikat dan Pelatihan Pemprovsu, Mangasi Mungkur.

Amatan wartawan koran ini di Pemprovsu kemarin, ketiganya calon pejabat baru tampak hadir bersama sejumlah pejabat eselon II lainnya di salah satu ruangan di Kantor Gubsu. Tampak pejabat, sejumlah politisi dari partai berlambang beringin. (sam/ril)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/