Setelah 20 Tahun Mengabdi
MEDAN-Bagi sebahagian guru mendidik merupakan tugas mulia yang dilandasi akan nilai kecintaan dan tanggung jawab. Namun siapa sangka tugas mulia yang telah dijalani Dra Chen Kui IK MPd, selama 20 tahun lamanya di sebuah sekolah swasta, ternoda dan seakan tak berharga karena keegoisan sang pemilik Yayasan. Pasalnya, setelah lulus dalam sertifikasi guru, yayasan tempat dirinya mengabdi itu memberhentikannya tanpa alasan yang pasti.
Kisah itu sendiri diungkapkan Chen Kui saat ditemui dalam acara peringatan Hari Guru oleh Gabungan Pendidik Tenaga Kependidikan (GP Tendik) di Wisma Halilintar, kawasan Simpang Selayang, Minggu (25/11) sore.
Wanita kelahiran 2 Agustus 1962 silam ini mengisahkan, jika awal kecintaan atas dunia pendidikan telah melekat sejak dirinya kecil. Untuk mencapai cita-citanya Chen Kui menempuh gelar S1 di UISU dan setelah itu melanjutkan S2 di Universitas Negeri Medan (Unimed).
“Sejak kecil saya punya dua cita-cita kalau tidak menjadi dokter saya menjadi guru. Namun karena biaya kedokteran mahal sementara keluarga memiliki keterbatasan ekonomi makanya saya mengubur impian menjadi dokter dan lebih memilih menjadi seorang guru,”ungkap Chen Kui wanita berdarah Tionghoa yang mengaku sebagai anak penjual sayur.
Awal karirnya sendiri dimulai tahun 1979 sebagai seorang guru Sekolah Menengah Pertama (SMP) Methodist 6 Binjai.
11 tahun mengabdi, selanjutnya, pada 1990 dirinya dipercaya menjabat sebagai Wakil Kepala Sekolah Dasar (SD) di sekolah Supriadi yang berlokasi di Jalan Pinang Baris Medan.
Dua tahun menjabat sebagai Wakepsek, karir Chen Kui terus menanjak hingga dipercaya menjabat sebagai Kepala SD hingga dipercaya menjadi Kepala SMP di sekolah tersebut.
Namun sebuah kenyataan pahit harus diterima Che Kui. Meskipun dirinya berhasil lulus ujian sertifikasi tanpa ujian atau dengan port folio karena dianggap memuhi poin yang ditentukan. Akan tetapi pihak Yayasan bukannya memberikan sebuah apresiasi atas prestasinya melainkan sebuah putusan mengejutkan yakni tidak lagi diberikan kepercayaan menjabat sebagai kepala sekolah melainkan hanya sebagai guru.
Ironisnya, Chen Kui yang biasanya mendapatkan gaji sebesar Rp2,9 Juta, harus menerima gaji yang sangat minim sebagai guru yakni Rp299 ribu.
“Pihak Yayasan bahkan tidak memberikan saya mata pelajaran untuk diajar ke murid. Hanya beberapa tahun saja, setelah itu pihak Yayasan menghubungi saya dan menyuruh saya berhenti mengajar tanpa alasan yang jelas dan pada 2010 saya resmi keluar dari sekolah itu,”ungkapnya kesal.
Atas kejadian itu, Chen Kui yang juga menjabat Wakil Ketua di PGSI, ditemani sejumlah kawannya mencoba mengadukannya ke kantor Dewan, namun tidak ada hasilnya. Tidak langsung berputus asa, dirinya lalu melaporkan kejadian yang dialaminya tersebut ke Dinas Tenaga Kerja (Disnaker).
“Dari Disnaker keluar surat tebusan, dan surat itu telah saya serahkan ke Lembaga Bantuan Hukumnya GP Tendik untuk ditindak lanjuti dan mendapatkan pendampingan hukum. Saat ini tinggal menunggu prosesnya aja, bagaimana hasilnya kita belum tau,”ujar Chen Kui.
Tidak ingin terlarut akan kesedihan dan kekecewaan. Chen Kui akhirnya memutuskan untuk melamar di sekolah dasar (SD) Swasta Cinta Budaya Komplek MMTC dan dipercaya menjabat sebagai Kepala Sekolah di SD tersebut. Bahkan kini dirinya mengaku memiliki pendapatan yang jauh lebih besar dibanding sekolah Supriadi temat dirinya mengabdi selama 20 tahun lamanya itu. “Kalau gaji yang saya terima saat ini lumayanlah, dan lebih besar dari sekolah sebelumnya,”ucap Ibu dua anak ini.
Kini tak banyak yang diharapkan Chen Kui, baginya kejadian pahit yang dialaminya ini tidak lagi dirasakan oleh orang lain.
“Kita bekerja karena kecintaan kita, bukan karena dasar materi. Jadi tolong hargai guru sebagai seorang manusia yang mengemban tugas dalam pengabdian,”tutur Chen Kui, sembari mengakhiri pertemuan dengan wartawan koran ini. (uma)