MEDAN, SUMUTPOS.CO – Tindakan seorang pria bernama Suherman, yang menggunakan C6 atas nama orang lain untuk pencoblosan suara ulang (PSU) di TPS 013 di jalan Amal Luhur kelurahan Dwikora Kecamatan Medan Helvetia, Kamis (25/4), ditengarai merupakan tindak pidana Pemilu.
Ketua Badan Pengawasan Pemilihan Umum (Bawaslu) Medan, Payung Harahap, mengatakan Suherman belum ditetapkan sebagai tersangka. Karena masih diperiksa oleh pihak Panitia Pengawas Kecamatan (Panwascam) Medan Helvetia.
“Kemarin memang sudah dibawa ke Bawaslu. Namun kita kembalikan lagi ke Panwas Kecamatan, karena mereka yang lebih paham dalam menelusuri pelanggaran ini. Karena diyakini yang terlibat dalam kasus ini bukan hanya Suherman, tapi pasti ada orang-orang lain di belakangnya. Ini masih didalami terus,” ucap Payung Harahap kepada Sumut Pos, Jumat (26/4).
Selain mencari dalang atau nama-nama yang terlibat, kata Payung, pihaknya juga masih melengkapi hal-hal yang berkaitan dengan pelanggaran yang dilakukan Suherman, agar dapat dilimpahkan ke Gakkumdu.
“Ini ‘kan jelas Pidana Pemilu. Jadi nanti Panwas Kecamatan melanjutkan proses ke Gakkumdu. Gakkumdu terdiri dari kepolisian dan kejaksaan. Nanti mereka yang akan melakukan penyidikan lebih dalam,” ujar Payung.
Menurut Payung, Suherman belum dapat ditahan atas perbuatannya. Karena secara undang-undang, Bawaslu tidak berwenang menahan. “Dia sudah kami kembalikan ke keluarganya. Tapi sebelum pulang, Suherman menandatangani surat pernyataan bersedia dipanggil kapan saja untuk dilakukan pemeriksaan,” jelasnya.
Suherman tertangkap tangan saat ingin mencoblos dengan Surat Keterangan (Suket) yang ternyata atas nama orang lain bernama Salli Afandi. Atas perbuatannya, Suherman langsung dibawa oleh pihak Panitia Pengawas Kecamatan (Panwascam) Medan Helvetia ke Bawaslu kota Medan, untuk diproses lebih lanjut.
Disebut Payung, salah satu yang menjadi keanehan adalah suket atas nama Salli Afandi ternyata dikeluarkan per tanggal 24 April 2019. Padahal, Salli Afandi diketahui telah lama tinggal di luar kota dan tidak pernah mengurus suket atas namanya.
“Suket itu siapa yang urus? Dan kenapa bisa dikeluarkan kalau orangnya tidak pernah mengurusnya? Ini ‘kan tanda tanya,” tanya Payung.
Oleh sebab itu, kata Payung, pihaknya akan terus mendalami pelanggaran ini untuk bisa dilanjutkan ke proses hukum.
Seperti diberitakan, perbuatan Suherman menggunakan Suket (pengganti e-KTP) atas nama Salli Afandin, terungkap ketika namanya dipanggil petugas KPPS untuk masuk ke bilik suara.
Saat mendatangi petugas KPPS untuk mengambil surat suara, tiba-tiba seorang perempuan menyergahnya. Ternyata, perempuan itu istri Salli Afandi yang heran nama suaminya dipanggil untuk mencoblos di TPS. Padahal suaminya sedang bekerja di luar kota.
Setelah diteliti lebih jauh, ternyata foto di Suket tersebut berbeda dengan wajah Suherman. Dia pun diamankan dan diserahkan ke Panwas Kecamatan.
Kapolsek Helvetia Sebut Emban Amanah
Sementara itu, tudingan Ketua Komisi A DPRD Medan, Sabar Samsurya Sitepu, yang menyebut petugas kepolisian dari Polsek Helvetia bersikap arogan saat pengamanan rapat pleno PPK Kecamatan Helvetia, ditanggapi Kapolsek Helvetia, Kompol Trila Murni. Menurutnya, itu hanya sebuah salah paham.
“Begini. Siapapun yang datang saat rapat pleno PPK Kecamatan Helvetia, kita sebagai pengamanan wajib mempertanyakan identitas dan kapasitasnya. Kita tidak menghalangi tapi mengawasi. Kalau ada pula datang ke objek pengamanan tanpa permisi, tiba-tiba nyelonong masuk dan membuat masalah, kita juga yang susah,” ungkapnya, Jumat (26/4).
Menurutnya, polisi pada dasarnya hanya ingin menganulir sekecil apapun gangguan keamanan di objek yang mereka jaga. Hasilnya, rapat pleno berjalan lancar mulai dari awal hingga akhir tanpa ada gangguan.
“Coba dicari dan ditanya, selama berlangsungnya rapat pleno kemarin di Kecamatan Helvetia, ada tidak yang komplain? Prosedurnya memang kami diminta (datang) apabila ada masalah dalam rapat pleno. Tapi kan tidak salah mengingatkan agar suasana lebih adem. Artinya lebih baik mencegah,”sebutnya.
Menurut Trila, pihak yang menyebut dirinya arogan lantaran belum mengenal dirinya. “Jadi kalau saya dibiang arogan, mungkin karena orang tersebut belum mengenal saya. Buktinya selama ini kita nyaman kok. Sama semua saksi dan sesama saksi, kita kompak. Kalau mungkin dirasa terlalu ketat, ya wajar ini amanah dari Allah, dari pimpinan tertinggi saya Pak Kapolri melalui Kapolda, dan diteruskan ke Kapolrestabes agar pelaksanaannya aman,” sebutnya.
Dalam mengambil tindakan, Trila mengklaim selalui berkoordinasi dengan PPK, Panwaslu. “Saya aparat keamanan, bukan penyelenggara. Jadi saya selalu berkoordinasi. Artinya tidak ada tindakan atau perintah saya itu yang mencampuri urusan penyelenggara Pemilu di sana,” tegas Trila.
Ia berharap semua pihak berhenti membuat gaduh, alih-alih menyudutkan institusi Polri yang bertugas melakukan pengamanan. Trila menegaskan, dirinya sebagai aparat kepolisian tetap netral dalam menjalankan tugasnya.
“PSU kemarin aman-aman saja. Potensi gangguan tetap ada, tapi tugas kita mengawalnya. Mari sama-sama kita menjaga dan tidak saling menyudutkan,” pungkas Trila.
Diketahui, Komisi A DPRD Medan yang diketuai Sabar Samsurya Sitepu memanggil Bawaslu Kota Medan membahas sejumlah masalah pascapemilu 17 April 2019 lalu. Pemanggilan tersebut dilakukan lantaran Komisi A menemukan banyaknya masalah yang terjadi dalam pesta demokrasi itu.
Sejumlah pertanyaan dilontarkan Komisi A DPRD kepada Ketua Bawaslu Medan, Payung Harahap, di antaranya mengenai sikap Kapolsek Helvetia Kompol Trila Murni yang dinilai mencampuri rapat pleno PPK Kecamatan Medan Helvetia.
Anggota Komisi A Henry John Hutagalung yang juga menjabat sebagai Ketua DPRD Medan mengatakan sikap Kapolsek Helvetia Kompol Trila Murni arogan. Dan ikut campur dalam penyelenggaraan Pemilu di Helvetia .
Saat PPK Helvetia mengadakan rapat pleno membahas Pemilu 2019, namun dilaksanakan tertutup. Padahal menurut John, seharusnya dilakukan terbuka sesuai dengan prinsip-prinsip pemilu.
“Saat salah satu masyarakat datang ke lokasi rapat, ditolak oleh Kapolsek. Saat diprotes, polisi tetap melarang. Nggak sopan pula melarangnya. Ini ‘kan demokrasi,” ujar Henry. (mag-1/dvs)