Dengan keberagaman budaya yang dimiliki, Kota Medan justru tampak seolah tak bersinar. Industri yang menggila pun tidak memperlihatkan dampak yang lebih baik bagi kesejahteraan masyarakat. Berikut wawancara reporter Harian Sumut Pos Indra Juli Hutapea dengan Dosen Teknik Universitas Sumatera Utara, Jaya Arjuna yang ditemui di kediamannya Jalan Utama Nomor 216 Medan, Sabtu (25/6) lalu.
Bagaimana Kota Medan di mata Anda saat ini?
Kalau mau jujur ya, Kota Medan justru tak punya apa-apa. Di bilang kota industri toh warganya masih sibuk mencari pekerjaan. Mau dibilang kota wisata, tempat rekreasi adanya di luar kota. Kalau pun ada yang di dalam kota kondisinya tidak kondusif. Kalau begitu apa lagi mau dibilang?
Bukankah sebagai kota terbesar ketiga di Indonesia, Kota Medan harusnya punya ciri tersendiri?
Justru Kota Medan itu paling kaya untuk budaya. Bayangkan, ada 13 puak dari puak aksi, local, dan pendatang di wilayahnya. Seperti puak Batak saja sudah berapa, ditambah Melayu, Aceh, Jawa, India, dan Cina. Bahkan pada festival barongsai tingkat dunia saja kita tampil sebagai juara. Bukan dari Tinghoa sebagai negara asal. Jadi, masing-masing punya keistimewaan yang potensial untuk dikembangkan.
Pengembangan seperti apa?
Ya penggalian kembali nilai-nilai kearifan yang dimiliki masing-masing puak. Baik dalam pengelolaan keuangan, sistem pemerintahan, hingga seni budaya yang bisa dijadikan pemasukan di bidang pariwisata. Dengan pembangunan demikian rupa, bisa kita bayangkan bagaimana kekuatan-kekuatan tadi saling mendukung untuk kemajuan Kota Medan.
Sejauh ini apa hal itu belum tersentuh?
Jelas. Pemerintah Kota Medan justru mematikan potensi tadi dengan konsep industri yang diusung. Pembangunan itu tidak harus sama kok. Jangan karena di kota A banyak mal nya mau diikuti. Karena tiap-tiap kota punya warnanya tersendiri. Sedangkan di Pulau Jawa masing-masing kota punya taman budaya. Medan ada taman budayanya? Yang di Jalan Perintis Kemerdekaan itu taman budaya Sumatera Utara.
Masalahnya, pembangunan mal menjanjikan komisi bagi pemegang kebijakan. Lalu masyarakat harus kehilangan akar budayanya? Ketika generasi penerus nantinya tidak tahu menjelaskan latar belakangnya, siapa yang bertanggungjawab? Mau Pemko Medan yang bertanggungjawab?
Lalu apa yang harus dilakukan?
Mulai beri ruang bagi 13 puak tadi dan perhatian yang sama besar sehingga semua potensi yang ada tumbuh bersamaan sebagai satu mozaik. Untuk itu, harus ada tempat untuk memperlihatkan potensi yang dimiliki masing-masing puak. Kembalikan Lapangan Merdeka pada fungsinya, bangun di situ Taman Budaya Kota Medan.(*)