Tips Hindari Pecah Kongsi
Belum ada satu pun kandidat gubernur Sumut yang telah menetapkan siapa yang akan dijadikan pasangannya sebagai wagub dalam pilgub Sumut 2013 mendatang. Biasanya, berdasarkan pengalaman pilgub 2008 dan pilgub di sejumlah provinsi, penentuan pasangan baru dilakukan mendekati dibukanya masa pendaftaran pasangan calon ke KPU Provinsi.
Terkait dengan komposisi pasangan cagub-cawagub, politisi senior dari PDI Perjuangan, Irmadi Lubis, punya pendapat menarik. Mantan anggota DPR yang akan duduk lagi di DPR menggantikan Panda Nababan itu menyarankan agar pasangan cagub-cawagub dihindari komposisi politisi-politisi. Maksudnya, jika cagubnya berlatar belakang politisi, maka jangan sampai cawagubnya juga politisi atau sebaliknya.
Begitu juga, jangan sampai komposisinya pengusaha-pengusaha. “Jangan sama-sama pengusaha, jangan sama-sama politisi,” saran Irwadi Lubis di Jakarta, beberapa waktu lalu.
Mengapa? Politisi asal Siantar itu mengatakan, hal itu guna menghindari benturan kepentingan antara gubernur dengan wakilnya saat nantinya sudah berkuasa. “Sama-sama punya kepentingan. Nanti suka ganti-ganti kepala dinas,” sergahnya memberikan alasan.
Dia menyebut, benturan kepentingan antara gubernur dan wakilnya itulah yang kerap menjadi pemicu pecah kongsi.
“Karena dipilih dalam satu paket, secara umum 93 persen kepala daerah dan wakilnya pecah kongsi karena friksi, gontok-gontokan,” ujarnya.
Berdasarkan data Kemendagri seperti pernah disebutkan Kapuspen Kemendagri Reydonnyzar Moenek, dari 244 hasil pilkada pada 2010 dan 67 hasil pilkada di 2011, hampir 94 persennya berujung pecah kongsi.
Disebutkan juga, hanya 6,15 persen pasangan kepala daerah-wakil kepala daerah hasil pilkada 2010 dan 2011 yang tetap berpasangan pada pilkada periode selanjutnya.
Tidak usah jauh-jauh, sudah menjadi rahasia umum bahwa antara Syamsul Arifin dengan Gatot Pujo Nugroho juga terjadi pecah kongsi. Diduga kuat, mutasi-mutasi dan penempatan jabatan di kursi-kursi strategis di Pemprov Sumut yang dilakukan Syamsul sebelum tersangkut kasus korupsi, menjadi salah satu biang pecah kongsi.
Dengan alasan seperti itu, Irmadi Lubis menyatakan mendukung sepenuhnya gagasan pemerintah yang tertuang di RUU pemilukada, dimana hanya bupati/walikota saja yang akan dipilih secara langsung oleh rakyat, sedang wakilnya dipilih oleh DPRD dari pejabat birokrat karier tertinggi di daerah yang bersangkutan, yang nama-namanya diusulkan oleh bupati/walikota terpilih.
Irmadi dengan tegas juga menyatakan setuju materi di RUU pemilukda, yang mengatur pemilihan gubernur dilakukan oleh DPRD provinsi, sedang wakilnya, calonnya diusulkan oleh gubernur terpilih setelah enam bulan menjabat dan dipilih oleh DPRD. Dengan cara ini, maka sudah dipastikan tidak akan muncul komposisi politisi-politisi, atau pengusaha-pengusaha. Pasalnya, wakilnya otomatis berlatar belakang birokrat.
Hanya saja, Irmadi mengusulkan agar jika rumusan di RUU itu nantinya disetujui DPRD dan disahkan menjadi UU pemilukada, maka penerapannya harus setelah 2014.
Pasalnya, jika langsung diterapkan, maka sudah gampang terbaca, Partai Demokrat yang mendominasi DPRD hasil pemilu 2009, akan memenangkan pilgub di banyak daerah.
“Sebuah aturan harus fair. Sudah ketahuan petanya, DPRD dikuasai Partai Demokrat. Jadi, sebaiknya diterapkan setelah 2014,” ujarnya. Dikatakan, penundaan penerapan UU sudah biasa dilakukan. UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang pemda, lanjutnya, juga baru diterapkan 2001. “Bisa diatur di peralihan,” pungkasnya. (sam)