Keterbatasan bukan alasan untuk tidak berprestasi. Setidaknya, itulah yang ditunjukkan Rachmitha Maun Harahap. Meski terlahir dengan keterbatasan pendengaran, dia mampu berkiprah layaknya orang normal.
DODY BAYU PRASETYO, Jakarta
MENJADI dosen bukanlah pekerjaan yang dibayangkan seorang penyandang tunarungu seperti Mitha, panggilan Rachmitha Maun Harahap. Namun, dia mampu meraihnya. Saat ini Mitha tercatat sebagai pengajar di Jurusan Desain Interior Universitas Mercu Buana, Jakarta.
Ditemui di kantor Yayasan Tunarungu Sehjira, lembaga bentukannya, di kawasan Jakarta Barat, Sabtu (23/11), Mitha menjelaskan panjang lebar perjuangannya sebagai penyandang tunarungu untuk hidup “normal”.
Meski dia sejak lahir cacat pendengaran, orang tuanya tidak pernah patah arang untuk menyemangati agar buah hatinya tetap bisa tumbuh layaknya anak-anak normal. Karena itu, tak heran, Mitha pun tidak pernah terlihat seperti anak tunarungu. Dia tidak pernah merasa minder punya “kelebihan” itu. Bahkan, dia ingin menunjukkan bahwa penyandang cacat tidak perlu dikasihani dan diperlakukan secara khusus.
“Aku lahir tunarungu. Tapi, aku percaya diri. Aku tidak rendah diri sehingga ingin (bisa ngomong) lancar seperti orang normal,” ungkap Mitha yang sejak umur 9 tahun menggunakan alat bantu dengar (ABD) untuk berkomunikasi dengan lawan bicara. Memang, cara bicaranya agak tersendat-sendat, namun maksud yang dikatakan bisa dimengerti.
Lahir di Padang Sidempuan, Sumatera Barat, 11 September 1969, Mitha kecil sempat disekolahkan di Sekolah Luar Biasa (SLB) Medan. Namun, belum lulus, dia diboyong orang tuanya ke Surabaya. Di Kota Pahlawan tersebut, ternyata Mitha bisa bersekolah di SD umum, tepatnya di SDN Kertajaya 10, sampai lulus.
Kendati sulit mendengar, Mitha termasuk anak cerdas. Buktinya, ketika pindah lagi ke Serang, Banten, dia diterima di SMPN 1 dan menamatkannya dengan nilai memuaskan.
Begitu pula saat masuk di SMAN 1 Serang, Mitha tidak mau menjadi siswa biasa-biasa saja. Dia pun aktif dalam kegiatan ekstrakurikuler olahraga tenis lapangan dan marching band. Hebatnya, di marching band yang membutuhkan kemampuan pendengaran yang baik, Mitha malah ditunjuk menjadi mayoret.
Prestasi yang diraih, dia terpilih sebagai mayoret terbaik se-Banten 1989, mengalahkan mayoret-mayoret yang tidak diberi “anugerah” cacat fisik seperti dirinya.
“Sejak kecil aku selalu ingin masuk sekolah umum. Ada tantangannya. Kalau di SLB, tidak ada,” ujar anak keempat di antara enam bersaudara putra pasangan Ali Panangaran Harapan dan Masniari Siregar itu.
Lulus SMA 1990, Mitha bermaksud mengambil jalan pintas. Dia ingin cepat bekerja agar bisa membantu ayahnya yang saat itu hampir pensiun sebagai pegawai di Kementerian Keuangan (Kemenkeu). Dia lalu ikut kursus menjahit dan salon kecantikan.
Selain itu, Mitha mengikuti kursus TOEFL dan Indonesian Sign Language (ISL) serta American Sign Language (ASL). Semua pelatihan tersebut dilakoni selama 2 tahun.
“Meski memiliki kekurangan, saya juga memiliki kelebihan. Saya bisa cepat belajar menjahit dan pandai potong rambut,” ujar perempuan bertinggi badan 161 sentimeter tersebut.
Namun, niat bekerja tersebut tidak didukung sang ayah. Mitha mengisahkan, ayahnya saat itu menghendaki dirinya melanjutkan kuliah. “Aku pun nurut ayah ikut ujian masuk perguruan tinggi,” kenang ibu Nabila Putri Rasheedah tersebut.
Saat itu dia mendaftar di Universitas Indonesia (UI) dan Institut Teknologi Bandung (ITB), tapi gagal. Akhirnya, dia diterima di Jurusan Teknik Arsitektur Universitas Mercu Buana.
“Sebenarnya ayah ingin aku masuk jurusan pertanian agar bisa mengolah lahan keluarga di Padang. Tapi, akhirnya ayah bisa menerima aku masuk jurusan arsitektur,” ujarnya.
Mitha menjalani kuliah dengan rajin dan disiplin. Setiap tugas dikerjakan dengan baik dan tepat waktu. Tak heran bila akhirnya dia mampu menyelesaikan studi dalam kurun waktu 4,5 tahun dengan predikat cum laude. Dia pun berhak mendapat beasiswa dari Ketua Yayasan Menara Bhakti (yang menaungi Universitas Mercu Buana) Probosutedjo untuk melanjutkan studi program magister (S-2).
Hebatnya, Mitha boleh memilih di dalam atau luar negeri. Yang ditawarkan adalah di ITB atau Gallaudet University di Washington, Amerika Serikat (AS). Gallaudet University adalah universitas tunarungu. Setelah memikir-mikir, akhirnya Mitha memilih kuliah di ITB Bandung.
“Sebab, beasiswa di Gallaudet University hanya separo. Yang separo lagi bayar sendiri sebesar Rp 300 juta. Akhirnya, aku pilih ITB jurusan desain interior,” terang dia.
Berkat usaha, ketekunan, dan doa, pada 2000 Mitha merampungkan program S2-nya di ITB. Setelah itu, dia melamar menjadi dosen di almamaternya, Universitas Mercu Buana. Lantaran prestasinya yang di atas rata-rata, Mitha pun diterima.
Dia mengaku awalnya sempat gugup mengajar para mahasiswa yang normal. Namun, pikiran itu tidak dibiarkan bersarang lama di otaknya. Akhirnya Mitha menerapkan metode khusus dalam mengajar di kelas.
“Sebelum mengajar, saya selalu membuat PowerPoint materi untuk saya paparkan di kelas sekitar 15 menit. Setelah itu, baru tanya jawab,” terang Mitha.
Namun, lanjut dia, metode tersebut tidak akan berhasil tanpa pemahaman para mahasiswa mengenai keadaan dirinya. “Setiap akan mengajar, saya selalu bilang ke mahasiswa bahwa saya punya keterbatasan. Akhirnya, dengan begitu, mahasiswa jauh lebih paham,” ucapnya.
Tapi, tidak berarti semua mahasiswa bisa menerima Mitha sebagai dosen. Dia pernah mendengar beberapa mahasiswa mengeluh terkait kondisi dirinya yang tunarungu.
“Saya dengar ada mahasiswa yang bilang bahwa saya tidak pantas jadi dosen. Saya sakit hati mendengarnya,” ujarnya pelan.
Perlakuan diskriminatif selama berprofesi dosen tidak hanya diterima dari mahasiswa. Mitha juga pernah menerima perlakuan kurang adil dari pimpinan universitas. Sebab, di antara karyawan kontrak, hanya dia yang saat itu tidak segera diangkat sebagai karyawan tetap.
“Aku minta kepada rektor agar diangkat sebagai pegawai tetap. Soalnya, aku sudah lima tahun kontrak. Dari 2000 sampai 2005. Teman-teman yang lain sudah diangkat, aku belum,” ucap Mitha.
Namun, setelah berbagai upaya ditempuh “termasuk menggandeng pengacara serta mengadu ke Lembaga Bantuan Hukum (LBH) dan Kementerian Sosial (Kemensos)” sang rektor pun melunak.
“Setelah aku ancam tentang pelanggaran HAM dendanya Rp 200 juta, Pak Rektor kaget. Akhirnya seminggu kemudian aku diteken jadi pegawai tetap,” cerita Mitha.
Di luar kampus, Mitha punya kepedulian terhadap para penyandang tunarungu. Dia pun mendirikan Yayasan Tunarungu Sehjira. Sehjira merupakan singkatan dari Sehat Jiwa Raga.
Yayasan itu didirikan Mitha 12 tahun silam, tepatnya pada 5 Desember 2001. Yayasan tersebut memberikan dukungan kepada para penyandang tunarungu untuk mendapatkan kesetaraan dalam berbagai bidang. Hingga kini Sehjira telah berdiri di 33 provinsi di Indonesia dengan jumlah anggota total 2.000 tunarungu.
Karena tunarungu, Mitha merasa tidak mudah mengajarkan komunikasi kepada anak didiknya. Terutama saat mengajarkan istilah atau kata yang tidak pernah “didengar” anak didiknya sepeti optimistis, pesimistis, positif, dan negatif dengan menggunakan bahasa isyarat.
Namun, Mitha tidak kehilangan akal. Dia mengganti kata-kata rumit tersebut dengan istilah yang lebih mengena dan mudah dipahami. Misalnya, kata senyum, rajin, semangat, untuk mengganti kata optimistis dan positif. Kata sedih dan cemberut untuk mengganti kata pesimistis dan negatif.
“Kalau aku bilang cita-cita dan hobi, mereka baru tahu apa itu motivasi. Aku sedih, cemberut, mereka baru tahu apa itu negatif,” terangnya sambil menunjukkan raut muka tersenyum dan sedih untuk menjelaskan maksudnya.
Selain itu, Sehjira memberikan pelatihan soft skill bagi anggotanya seperti kursus menjahit, bahasa Inggris, mengaji, komputer, dan origami (seni melipat kertas ala Jepang). Sayang, hingga saat ini Mitha belum memiliki gedung yayasan yang tetap. Meski Sehjira sudah berkembang di 33 provinsi, kantor yayasan di Jalan Perum Kompleks DPR RI-Pribadi Blok C No 40, Joglo, Jakarta Barat, tersebut masih mengontrak.
“Yayasan ini nonprofit, semuanya gratis. Penghasilanku jadi dosen dan honor mengisi acara aku bayarkan ke pemilik kontrakan. Impianku memiliki kantor sendiri belum terwujud,” ucap dia.
Prestasi Mitha di kancah internasional juga diakui. Saat ini dia menduduki jabatan wakil presiden di Asia-Pacific Federation of the Hard of Hearing and Deafened (APFHD) sejak 2012. APFHD yang berkedudukan di Bangkok, Thailand, merupakan organisasi tunarungu internasional yang beranggota sembilan negara. Yaitu, Bangladesh, Indonesia, Thailand, Filipina, Mongolia, Myanmar, Nepal, Pakistan, dan Papua Nugini (PNG).
“Pada 2012 aku ditawari jadi ketua, tapi tidak mau. Aku sudah sibuk jadi dosen,” tandasnya. (*/c5/c10/ari)