MEDAN, SUMUTPOS.CO – Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) dan kekerasan seksual terus menghantui bagi keluarga di Indonesia. Ironisnya, para pelakunya adalah didominasi orang-orang terdekat dan masih memiliki ikatan saudara dengan korban sendiri. Kemudian, negara dinilai absen untuk melindungi korban secara haknya.
Hal itu diungkapkan oleh Ketua Dewan Pengurus Himpunan Serikat Perempuan Indonesia (HAPSARI), Lely Zailani pada Memperingati Hari Ibu, 22 Desember 2018 dengan mengusung tema ‘Mendesak DPR Mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) berlangsung di JM Bariani House di Medan, Senin (24/12) sore.
“Kekerasan seksual itu, tidak bisa menggunakan KUHPidana saja Tapi, ada payung hukum khusus untuk menangani kasus ini, yakni UU PKS. Cuma dari UU PKS ini, bisa diharapkan para pelaku dihukum seberat-berat dan menciptakan rasa keadilan bagi korban sendiri,” tutur Lely.
Lely menjelaskan, untuk tahun 2018 ini, HAPSARI mendamping 133 kasus kekerasan terhadap prempuan dan anak yang terjadi di dua Kabupaten, yaitu di Kabupaten Deliserdang dan Kabupaten Serdang Bedagai mayoritas terjadi di desa-desa di daerah tersebut.
“Dari 133 kasus tersebut, sebanyak 6,7 persen atau 9 orang korban adalah anak perempuan dan 90,2 persen atau 120 orang adalah KDRT dengan berbagai masalah yang dihadapi,” tutur Lely.
Dengan itu, lanjut Lely, harus hadirnya Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah untuk melindungi warganya dari segala bentuk kekerasan. Di sini lah dituntut peran Pemerintah untuk mencegah aksi serupa tidak terulang lagi bagi kaum wanita dan anak-anak. “RUU Penghapusan Kekerasan Seksual harus segera disahkan, untuk mencegah timbulnya kekerasan seksual sekaligus melindungi yang telah menjadi korban,” tegas Lely.
Yang menyedihkan lagi, menurut Lely kebanyakan banyak pelaku kekerasan seksual ini kerap terjadi kepada keluarga dekat, seperti kakek dengan cucu, paman dengan keponakan dan ketika pelaku ditangkap hanya dijerat dengan undang-undang perlindungan anak.
“Kalau pelaku ujung-ujungnya dihukum dengan perlindungan anak itu tidak bisa. Sebab, hukum perlindungan anak itu melindungi anak dari kekerasan. Namun, tidak bentuk kekerasannya seperti kekerasan seksual. Dan itu harus benar diperhatikan mulai dari penanganannya, dampak psikis anak itu,” ungkap Lely.
Belum disahkannya RUU PKS oleh DPR, menurut Lely bahwa DPR tidak tidak menganggap pentingnya persoalan yang dihadapi para korban kekerasan seksual dan KDRT itu. Padahal ini harus benar-benar diperhatikan pemerintah. Jangan biarkan terus berjatuhnya korban perempuan lainnya dalam kasus ini.
“Padahal 2015 RUU PKS ini sudah masuk. Namun, harus dipotong dengan MD3. Tahun 2017 sudah masuk Prolegnas artinya sudah masuk daftar penting untuk dibahas, tapi tidak juga,” katanya lagi.
Ia menambahkan, dalam memberikan layanan bagi perempuan dan anak korban kekerasan, HAPSARI lebih berperan pendampingan dan konseling. Sekaligus memberikan informasi tentang hak-hak sebagai korban.
“Oleh karena itu, HAPSARI ingin menutup catatan ini dengan desakan DPR harus segera mengesahkan RUU PKS, karena siapapun dapat menjadi korban, siapapun dapat menjadi pelaku,” pungkasnya. (gus/ila)