26 C
Medan
Saturday, November 23, 2024
spot_img

Pemuda Nganjuk Jalan Kaki Keliling Indonesia

Wijianto, pemuda Asal Nganjuk Jalan Kaki Keliling Indonesia.(parlindungan Harahap-Sumut Pos)

SUMUTPOS.CO – VONIS positif HIV/AIDS oleh Dokter pada tahun 2011 lalu, menjadi awal lembaran kehidupan yang suram bagi Wijianto. Pria kelahiran Nganjuk, 7 November 1983 ini seakan pasrah menghadapi hidup yang serasa ‘mati’.

Penderitaan  Wijianto kian bertambah setelah istrinya meninggalkannya dengan membawa anak perempuan mereka yang saat itu berusia 1 tahun. Ya, isteri Wijianto tidak bisa menerima keadaan Wijianto yang menderita penyakit HIV/AIDS.

“Istri saya mencak-mencak setelah dengar saya positif HIV/AIDS.  Istri saya gak terima dan akhirnya kami berpisah. Alhamdulilah, setelah istri dan anak saya memeriksakan diri ke dokter, mereka ternyata negatif dan tak tertular,” ujar pria yang akrab disapa Gareng ini, saat ditemui di Kantor Sekretariat Komisi Penanganan AIDS (KPA) Sumut, Jalan Veteran, Medan Timur, Senin, (27/2) siang.

Wijianto mengisahkan, setelah ditinggal istri dan anaknya, ia langsung stres sehingga kondisi kesehatannya kian melemah.  Iapun dilarikan ke rumah sakit dengan penyakit penyerta, yakni penyakit kulit (Stevens Johnson). “Saat itu, saya sendiri di Rumah Sakit. Tiada istri dan anak yang menemani. Saya diskriminatifkan orang yang saya cintai,” ujarnya mengenang.

Namun, akhirnya Wijianto tak mau menyerah dengan keadaan.  Ia mencoba sekuat tenaga untuk bangkit dari ‘kematian.’ Ia berusaha survive (bertahan) dari penyakitnya dan membuktikan kalau dirinya sebagai ODHA (Orang Dengan Penyakit HIV/AISD) juga bisa menjalani hidup seperti manusia sehat lainnya.

“Saat saya dirawat di RS, saya memang tidak memberi tahu kedua orang tua karena takutnya nanti mereka jadi cemas, kebetulan saya anak tunggal. Tapi akhirnya orang tua tahu sendiri, gak tahu siapa yang membocorkan. Saya lalu pulang ke rumah orangtua saya yang menerima keadaan saya seperti ini,” kata Wijianto.

Sekitar 4 bulan di kampung halaman, lanjut cerita Wijianto, ia kembali ke Jakarta untuk bekerja. Namun tidak lagi bekerja di tempatnya lama  sebagai security. Ia melakoni pekerjaan baru sebagai penjual bakso keliling di kawasan Bekasi.

Demi bangkit untuk semangat, Wijianto pun mencari pengetahuan tentang HIV/AIDS.  Ia lalu dipertemukan oleh Yayasan Pelita Ilmu, KPA Nasional, dan Ikatakan Ahli Kesehatan Indoneaia. Setelah banyak sharing dan belajar serta mendengarkan curahan hati rekan sesama ODHA, ia lalu menyampaikan niatannya melakukan kampanye menghapus stigma negatif dan stop diskriminasi ODHA dengan keliling Indonesia.

Wijianto, pemuda Asal Nganjuk Jalan Kaki Keliling Indonesia.(parlindungan Harahap-Sumut Pos)

SUMUTPOS.CO – VONIS positif HIV/AIDS oleh Dokter pada tahun 2011 lalu, menjadi awal lembaran kehidupan yang suram bagi Wijianto. Pria kelahiran Nganjuk, 7 November 1983 ini seakan pasrah menghadapi hidup yang serasa ‘mati’.

Penderitaan  Wijianto kian bertambah setelah istrinya meninggalkannya dengan membawa anak perempuan mereka yang saat itu berusia 1 tahun. Ya, isteri Wijianto tidak bisa menerima keadaan Wijianto yang menderita penyakit HIV/AIDS.

“Istri saya mencak-mencak setelah dengar saya positif HIV/AIDS.  Istri saya gak terima dan akhirnya kami berpisah. Alhamdulilah, setelah istri dan anak saya memeriksakan diri ke dokter, mereka ternyata negatif dan tak tertular,” ujar pria yang akrab disapa Gareng ini, saat ditemui di Kantor Sekretariat Komisi Penanganan AIDS (KPA) Sumut, Jalan Veteran, Medan Timur, Senin, (27/2) siang.

Wijianto mengisahkan, setelah ditinggal istri dan anaknya, ia langsung stres sehingga kondisi kesehatannya kian melemah.  Iapun dilarikan ke rumah sakit dengan penyakit penyerta, yakni penyakit kulit (Stevens Johnson). “Saat itu, saya sendiri di Rumah Sakit. Tiada istri dan anak yang menemani. Saya diskriminatifkan orang yang saya cintai,” ujarnya mengenang.

Namun, akhirnya Wijianto tak mau menyerah dengan keadaan.  Ia mencoba sekuat tenaga untuk bangkit dari ‘kematian.’ Ia berusaha survive (bertahan) dari penyakitnya dan membuktikan kalau dirinya sebagai ODHA (Orang Dengan Penyakit HIV/AISD) juga bisa menjalani hidup seperti manusia sehat lainnya.

“Saat saya dirawat di RS, saya memang tidak memberi tahu kedua orang tua karena takutnya nanti mereka jadi cemas, kebetulan saya anak tunggal. Tapi akhirnya orang tua tahu sendiri, gak tahu siapa yang membocorkan. Saya lalu pulang ke rumah orangtua saya yang menerima keadaan saya seperti ini,” kata Wijianto.

Sekitar 4 bulan di kampung halaman, lanjut cerita Wijianto, ia kembali ke Jakarta untuk bekerja. Namun tidak lagi bekerja di tempatnya lama  sebagai security. Ia melakoni pekerjaan baru sebagai penjual bakso keliling di kawasan Bekasi.

Demi bangkit untuk semangat, Wijianto pun mencari pengetahuan tentang HIV/AIDS.  Ia lalu dipertemukan oleh Yayasan Pelita Ilmu, KPA Nasional, dan Ikatakan Ahli Kesehatan Indoneaia. Setelah banyak sharing dan belajar serta mendengarkan curahan hati rekan sesama ODHA, ia lalu menyampaikan niatannya melakukan kampanye menghapus stigma negatif dan stop diskriminasi ODHA dengan keliling Indonesia.

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/