Selain jumlah bahan baku yang melimpah dimiliki Indonesia, menurut Abie, sekarang masyarakat dunia mulai melirik rotan. Yakni, sebagai bahan alternatif pengganti kayu.
Kecenderungan beralih ke rotan itu berbanding lurus dengan kesadaran masyarakat terkait dengan ancaman global warming. Seperti halnya bambu, penggunaan rotan secara masif diharapkan bisa mengurangi kegiatan penggundulan hutan di seluruh belahan dunia.
Kondisi itu pada akhirnya bukan semata-mata menjadi potensi. Tetapi, harus ada tantangan besar yang menyertai itu. Yaitu, bagaimana membawa produk rotan Indonesia naik menjadi kelas dunia.
“Ini tentu menuntut kita semua tidak boleh hanya jago di kandang. Kita juga harus siap menjadi warga dunia,” tandasnya.
Dalam proses itu pula, Abie kemudian menyadari bahwa desain-desain produk rotan ke depan tidak boleh semata-mata untuk kepentingan art. Dalam waktu yang sama, juga harus dipikirkan desain-desain rotan yang bisa membumi dan diterima pasar.
“Tentu, tanpa melupakan detail kualitas produk. Sebab, itu harus menjadi kekuatan produk Indonesia untuk bisa bersaing di luar negeri,” ingatnya.
Konsistensi Abie di bidang rotan selama ini akhirnya mengantarkan dirinya masuk menjadi bagian dari Pusat Inovasi Rotan Nasional (Pirnas) yang berkantor pusat di Palu. Di lembaga yang dipimpin Prof Andi Talla Tellu dari Universitas Tadulako itu, Abie dipercaya sebagai wakil kepala.
Pirnas adalah institusi di bawah Direktorat Pengembangan Fasilitasi Industri Wilayah III Direktorat Jenderal Pengembangan Perwilayahan Industri Kementerian Perindustrian. Berbagai kegiatan dilakukan di sana. Mulai riset hingga pengembangan produk rotan Indonesia.
“Intinya, sebelum terlambat dikuasai orang luar, rotan harus mulai mendapat perhatian banyak pihak. Sebelum kita menyesal nanti,” tegas Abie sembari mengingatkan tantangan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) yang semakin dekat. (*/ari)