25.6 C
Medan
Sunday, June 2, 2024

Wartawan Wajib Lindungi Identitas Anak Korban Kejahatan Asusia

Foto: dame/Sumut Pos
Plakat: Ketua PWI Sumut H Hermansjah menyerahkan plakat kepada Ketua Umum PWI Pusat, dalam bimbingan teknis tata kepemimpinan jurnalis dalam rangka mendukung good goverment dengan tema Meningkatkan Profesionalitas Wartawan, yang digelar PWI Sumut di Medan, Sabtu (27/4).

MEDAN, SUMUTPOS.CO – Wartawan diwajibkan melindungi identitas anak yang menjadi korban kejahatan asusila maupun anak yang menjadi pelaku kejahatan, dalam melakukan kegiatan pemberitaan. Hal itu diatur dalam Kode Etik Jurnalistik (KEJ) maupun Pedoman Pemberitaan Ramah Anak (PPRA) yang baru disahkan.

“Anak menurut KEJ adalah di bawah 16 tahun atau sudah menikah. Namun PPRA menyebutkan anak adalah usia hingga 18 tahun. Meski sudah menikah dan punya anak, dia tetap dikategorikan anak,” kata Kamsul Hasan, Ketua Komisi UKW PWI Pusat, dalam bimbingan teknis tata kepemimpinan jurnalis dalam rangka mendukung good goverment dengan tema Meningkatkan Profesionalitas Wartawan, yang digelar PWI Sumut di Medan, Sabtu (27/4).

Dalam bimtek yang dibuka Ketua Umum PWI Pusat, Attal S Depari itu, Kamsul mengatakan ada 11 pasal  yang diatur dalam PPRA.

Antara lain identitas anak korban kejahatan asusia maupun anak pelaku kejahatan, tidak diungkap ke publik. Rekonstruksi kasus asusila dilarang diungkap secara detail. Anak tidak boleh diwawancarai mengenai perceraian atau kematian orangtua, visual anak tidak boleh dimuat jelas, pelaku kejahatan seksual keluarga korban tidak boleh diekspos karena bisa mengungkap identitas anak, dan sebagainya.

“Jika melanggar, wartawan bisa dijerat dengan UU Peradilan Anak, dengan ancaman hukuman maksimal 5 tahun penjara dan denda Rp500 juta,” ungkapnya.

Dalam membuat pemberitaan, seluruh informasi yang bisa mengungkap identitas anak korban kejahatan harus ditutup, termasuk alamat lengkap, asal sekolah si anak, maupun data lainnya. “Untuk alamat, bisa ditulis sebatas nama kecamatan. Nama desa pun jangan ditulis,” katanya.

Identitas anak hilang boleh dipublikasikan secara lengkap berikut foto. Namun jika sudah ditemukan, identitas wajib ditutup kembali. Bahkan untuk media siber, diharapkan mengedit ulang berita yang sudah tayang sebelumnya.

PPRA disusun Dewan Pers karena tidak ingin wartawan Indonesia masuk penjara.

Ketum PWI Pusat, Attal S Depari, dalam sambutannya mengatakan, wartawan jangan berhenti belajar untuk menjadi profesional. “Anggota PWI itu harus militan dan bisa diandalkan. Tunjukkan bahwa anda wartawan profesional ” katanya.

 

Media Online Mengubah Platform Jurnalisme

Pembicara lainnya, Teguh Santosa, anggota DK PWI Pusat yang juga pemimpin umum RMOL dalam paparannya mengatakan, kehadiran media online takkan membunuh jurnalisme.

“Hanya saja, pindah platform dari cetak ke online. Karena media online lebih mudah mendekati pembaca dan lebih ekonomis. Sangat menghemat biaya besar yang dihadapi media cetak,” katanya.

Meski tantangannya luar biasa, menurutnya media online memberi  peluang baru. Seperti memadukan  teks dengan audio visual. Mengaitkan link berita lama sebagai rujukan. Dan sebagainya.

“Menghadapi kompetisi, media online bisa memanfaatkan semua media sosial. Kemudian lakukan jejaring,” katanya.

Asrul Kamal Rokan, anggota DK PWI Pusat yang juga mantan Pemred Harian Republika, dalam paparannya lebih menekankan mengenai independensi wartawan

“Pasal 1 KEJ menyebutkan. Wartawan Indonesia bersikap independen, menghasilkan berita yang akurat, berimbang, dan tidak beritikad buruk. Bahkan pemilik media pun tidak bisa mengintervensi pemberitaan,” katanya.

Ia menegaskan, wartawan harus berperan sebagai anjing penggonggong untuk mengoreksi kekuasaan. “Wartawan jangan melakukan pembenaran atas kekuasan atau kesalahan. Tapi mencari kebenaran lewat verifikasi,” tutupnya. (mea)

Foto: dame/Sumut Pos
Plakat: Ketua PWI Sumut H Hermansjah menyerahkan plakat kepada Ketua Umum PWI Pusat, dalam bimbingan teknis tata kepemimpinan jurnalis dalam rangka mendukung good goverment dengan tema Meningkatkan Profesionalitas Wartawan, yang digelar PWI Sumut di Medan, Sabtu (27/4).

MEDAN, SUMUTPOS.CO – Wartawan diwajibkan melindungi identitas anak yang menjadi korban kejahatan asusila maupun anak yang menjadi pelaku kejahatan, dalam melakukan kegiatan pemberitaan. Hal itu diatur dalam Kode Etik Jurnalistik (KEJ) maupun Pedoman Pemberitaan Ramah Anak (PPRA) yang baru disahkan.

“Anak menurut KEJ adalah di bawah 16 tahun atau sudah menikah. Namun PPRA menyebutkan anak adalah usia hingga 18 tahun. Meski sudah menikah dan punya anak, dia tetap dikategorikan anak,” kata Kamsul Hasan, Ketua Komisi UKW PWI Pusat, dalam bimbingan teknis tata kepemimpinan jurnalis dalam rangka mendukung good goverment dengan tema Meningkatkan Profesionalitas Wartawan, yang digelar PWI Sumut di Medan, Sabtu (27/4).

Dalam bimtek yang dibuka Ketua Umum PWI Pusat, Attal S Depari itu, Kamsul mengatakan ada 11 pasal  yang diatur dalam PPRA.

Antara lain identitas anak korban kejahatan asusia maupun anak pelaku kejahatan, tidak diungkap ke publik. Rekonstruksi kasus asusila dilarang diungkap secara detail. Anak tidak boleh diwawancarai mengenai perceraian atau kematian orangtua, visual anak tidak boleh dimuat jelas, pelaku kejahatan seksual keluarga korban tidak boleh diekspos karena bisa mengungkap identitas anak, dan sebagainya.

“Jika melanggar, wartawan bisa dijerat dengan UU Peradilan Anak, dengan ancaman hukuman maksimal 5 tahun penjara dan denda Rp500 juta,” ungkapnya.

Dalam membuat pemberitaan, seluruh informasi yang bisa mengungkap identitas anak korban kejahatan harus ditutup, termasuk alamat lengkap, asal sekolah si anak, maupun data lainnya. “Untuk alamat, bisa ditulis sebatas nama kecamatan. Nama desa pun jangan ditulis,” katanya.

Identitas anak hilang boleh dipublikasikan secara lengkap berikut foto. Namun jika sudah ditemukan, identitas wajib ditutup kembali. Bahkan untuk media siber, diharapkan mengedit ulang berita yang sudah tayang sebelumnya.

PPRA disusun Dewan Pers karena tidak ingin wartawan Indonesia masuk penjara.

Ketum PWI Pusat, Attal S Depari, dalam sambutannya mengatakan, wartawan jangan berhenti belajar untuk menjadi profesional. “Anggota PWI itu harus militan dan bisa diandalkan. Tunjukkan bahwa anda wartawan profesional ” katanya.

 

Media Online Mengubah Platform Jurnalisme

Pembicara lainnya, Teguh Santosa, anggota DK PWI Pusat yang juga pemimpin umum RMOL dalam paparannya mengatakan, kehadiran media online takkan membunuh jurnalisme.

“Hanya saja, pindah platform dari cetak ke online. Karena media online lebih mudah mendekati pembaca dan lebih ekonomis. Sangat menghemat biaya besar yang dihadapi media cetak,” katanya.

Meski tantangannya luar biasa, menurutnya media online memberi  peluang baru. Seperti memadukan  teks dengan audio visual. Mengaitkan link berita lama sebagai rujukan. Dan sebagainya.

“Menghadapi kompetisi, media online bisa memanfaatkan semua media sosial. Kemudian lakukan jejaring,” katanya.

Asrul Kamal Rokan, anggota DK PWI Pusat yang juga mantan Pemred Harian Republika, dalam paparannya lebih menekankan mengenai independensi wartawan

“Pasal 1 KEJ menyebutkan. Wartawan Indonesia bersikap independen, menghasilkan berita yang akurat, berimbang, dan tidak beritikad buruk. Bahkan pemilik media pun tidak bisa mengintervensi pemberitaan,” katanya.

Ia menegaskan, wartawan harus berperan sebagai anjing penggonggong untuk mengoreksi kekuasaan. “Wartawan jangan melakukan pembenaran atas kekuasan atau kesalahan. Tapi mencari kebenaran lewat verifikasi,” tutupnya. (mea)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/