31 C
Medan
Saturday, November 23, 2024
spot_img

Kisah Sri, Penderita HIV/AIDS Terjangkit Setelah Dapat Tranfusi Darah

rasyid/sumut pos TESTEMONI: Sri bersama LSM Medan Plus dan Konsulat Amerika di acara malam renungan HIV/AIDS.
rasyid/sumut pos
TESTEMONI: Sri bersama LSM Medan Plus dan Konsulat Amerika di acara malam renungan HIV/AIDS.

Tak pernah terbayangkan oleh Sri (44), kalau di dalam darahnya sudah terjangkit penyakit Human Immunodeficiency Virus Infection/ Acquired Immunodeficiency Syndrome (HIV/AIDS). Wanita yang berdomisili di Kota Medan ini terjangkit HIV/AIDS dari tranfusi darah saat melahirkan anaknya.

“Saya menjadi ODHA (Orang Dengan HIV/AIDS) sejak tahun 2008,” kata Sri saat menyampaikan testimoni tentang dirinya di atas panggung besar gedung Alfa Omega saat perayaan Hari Renungan AIDS, kemarin.

Sri menceritakan,  pada tahun 2005 ia melahirkan anak keempatn
Waktu itu ia mengalami pendarahan sehingga harus mendapat transfusi darah. Ironis, darah yang ditransfusikan untuknya ternyata mengandung virus HIV. “Berselang tiga tahun kemudian, tepatnya tahun 2008, saya menderita diare selama 7 bulan. Saya lalu periksakan darah ke dokter dan ternyata saya positif HIV/AIDS,” ujarnya.

Mengetahui dirinya menderita HIV/AIDS, Sri langsung panik dan tidak terima dengan kenyataan itu. Ia pun mencurigai sang suami sebagai pembawa virus penyakit tersebut. “Saya sempat curiga dengan suami. Saya lalu membawa suami untuk memeriksakan darahnya. Namun setelah diperiksa hasilnya negatif, sayapun lega. Akhirnya saya teringat kalau saya mendapat teranfusi darah milik orang lain saat melahirkan anak keempat. Dan darah itu rupanya mengandung HIV/AIDS,” tuturnya lagi.

Meski mengetahui dirinya menderita HIV/AIDS saat itu, namun ia sama sekali tidak tahu tentang penyakit HIV. Yang dia tahu kalau penderita HIV/AIDS tidak bakal berumur panjang. “Saya dulunya hanya tahu penyakit HIV melihat poster atau iklan tentang penyakit HIV bergambar tengkorak. Saya yakin umur saya tak panjang lagi saat itu,” katanya sambil berlinang air mata.
Dalam kondis kalut dan frustasi, Sri saat itu langsung pesimis menjalani hari-harinya. Ia sangat takut kalau anak bungsu yang ia lahirkan ikut tertular virus HIV/AIDS. “Saat itu saya takut sekali anak saya tertular virus HIV/AIDS karena saya memberikan air ASI. Tapi setelah saya bawa anak saya periksa ke dokter, hasilnya juga negatif, sayapun senang. Saya akhirnya tinggal memikirkan kehidupan saya selanjutnya,” bilang Sri.

Meskipun suami dan anaknya negatif, hatinya tetap tidak biasa dibohongi dengan rasa takut, rasa pesimis dan cemas yang selalu menghantui. Namun, berkat dukungan penuh keluarganya yang tidak pernah mengkucilkannya, ia akhirnya termotivasi untuk bangjit dari frustasi itu. “Saya awalnya termotivasi karena keluarga saya, begitu juga melihat  teman-teman penderita ODHA yang tetap sehat, tegar dan gemuk. Jika mereka saja bisa, kenapa saya tidak. Kemudian saya bergabung dengan relawan untuk mengurangi angka kematian pada ODHA,” katanya.

Kini hari-hari dilalui Sri penuh semangat dan motivasi. Tak ada rasa cemas, tak ada rasa frustasi, yang tertinggal hanyalah mengisi hari-harinya penuh arti bersama anak-anak dan suami yang sangat ia kasihi.
Menurut Sri, kematian ODHA sebenarnya lebih banyak karena stigma. Jika stigma kecil, maka angka kematian akan menurun. Berdasarkan pengalaman yang dihadapinya menjadi pendamping ODHA, kebanyakan ODHA meninggal bukan karena virusnya, tapi karena terkucil. “ODHA banyak meninggal karena terkucilkan. Mereka tidak memiliki pendamping dan teman yang memberi motivasi. Saya hanya ingin mengurangi angka kematian ODHA” katanya.

Diakuinya, sebelumnya ia memang kurang peduli dengan perkembangan penyakit ini dan ODHA. Padahal dia sering mendengar informasi dan mengetahui tentang ODHA dan HIV/AIDS dalam sosialisasi-sosialisasi di kantor lurah. Namun informasi yang diterimanya tersebut hanya sebatas mengetahui saja. “Namun sejak menderita HIV/AIDS, saya baru sadar bahwa penyakit HIV tidak menular secara sembarangan,” kata Sri.

Saat ini, Sri menjadi relawan di Medan Plus. Ia a mendampingi ODHA untuk terus minum obat dan menjaga kesehatan, seperti yang dilakukan keluarganya kepada dirinya. “Saya hanya ingin masyarakat tidak lagi memandang rendah dan mengucilkan para ODHA,” harapnya.
Direktur Medan Plus Eban Totonta Kaban menyebutkan, dari data kasus yang dirilis dinas kesehatan, ada sebanyak 50 penderita terinfeksi dari transfusi darah. “Di antara 50 penderita itu, ada yang menjadi dampingan Medan Plus. Salah satunya kak Sri,” ujarnya.
Eban juga mengharapkan agar peralatan medis juga lebih perhatian. “Skrining darah itu masih ada yang lolos dan tidak melalui prosedur sebenarnya. Misalnya PMI. Bahkan kalau tidak salah saya, ada beberapa PMI cabang di kabupaten/kota yang belum memiliki alat pendeteksi (skrining) darah. Jadi, betapa bahayanya, ketika ada kebutuhan darah, tidak melalui proses skrining ini. Jadi sebaiknya pemerintah dapat menyediakan alat tersebut, khususnya di daerah,” imbaunya. (*)

rasyid/sumut pos TESTEMONI: Sri bersama LSM Medan Plus dan Konsulat Amerika di acara malam renungan HIV/AIDS.
rasyid/sumut pos
TESTEMONI: Sri bersama LSM Medan Plus dan Konsulat Amerika di acara malam renungan HIV/AIDS.

Tak pernah terbayangkan oleh Sri (44), kalau di dalam darahnya sudah terjangkit penyakit Human Immunodeficiency Virus Infection/ Acquired Immunodeficiency Syndrome (HIV/AIDS). Wanita yang berdomisili di Kota Medan ini terjangkit HIV/AIDS dari tranfusi darah saat melahirkan anaknya.

“Saya menjadi ODHA (Orang Dengan HIV/AIDS) sejak tahun 2008,” kata Sri saat menyampaikan testimoni tentang dirinya di atas panggung besar gedung Alfa Omega saat perayaan Hari Renungan AIDS, kemarin.

Sri menceritakan,  pada tahun 2005 ia melahirkan anak keempatn
Waktu itu ia mengalami pendarahan sehingga harus mendapat transfusi darah. Ironis, darah yang ditransfusikan untuknya ternyata mengandung virus HIV. “Berselang tiga tahun kemudian, tepatnya tahun 2008, saya menderita diare selama 7 bulan. Saya lalu periksakan darah ke dokter dan ternyata saya positif HIV/AIDS,” ujarnya.

Mengetahui dirinya menderita HIV/AIDS, Sri langsung panik dan tidak terima dengan kenyataan itu. Ia pun mencurigai sang suami sebagai pembawa virus penyakit tersebut. “Saya sempat curiga dengan suami. Saya lalu membawa suami untuk memeriksakan darahnya. Namun setelah diperiksa hasilnya negatif, sayapun lega. Akhirnya saya teringat kalau saya mendapat teranfusi darah milik orang lain saat melahirkan anak keempat. Dan darah itu rupanya mengandung HIV/AIDS,” tuturnya lagi.

Meski mengetahui dirinya menderita HIV/AIDS saat itu, namun ia sama sekali tidak tahu tentang penyakit HIV. Yang dia tahu kalau penderita HIV/AIDS tidak bakal berumur panjang. “Saya dulunya hanya tahu penyakit HIV melihat poster atau iklan tentang penyakit HIV bergambar tengkorak. Saya yakin umur saya tak panjang lagi saat itu,” katanya sambil berlinang air mata.
Dalam kondis kalut dan frustasi, Sri saat itu langsung pesimis menjalani hari-harinya. Ia sangat takut kalau anak bungsu yang ia lahirkan ikut tertular virus HIV/AIDS. “Saat itu saya takut sekali anak saya tertular virus HIV/AIDS karena saya memberikan air ASI. Tapi setelah saya bawa anak saya periksa ke dokter, hasilnya juga negatif, sayapun senang. Saya akhirnya tinggal memikirkan kehidupan saya selanjutnya,” bilang Sri.

Meskipun suami dan anaknya negatif, hatinya tetap tidak biasa dibohongi dengan rasa takut, rasa pesimis dan cemas yang selalu menghantui. Namun, berkat dukungan penuh keluarganya yang tidak pernah mengkucilkannya, ia akhirnya termotivasi untuk bangjit dari frustasi itu. “Saya awalnya termotivasi karena keluarga saya, begitu juga melihat  teman-teman penderita ODHA yang tetap sehat, tegar dan gemuk. Jika mereka saja bisa, kenapa saya tidak. Kemudian saya bergabung dengan relawan untuk mengurangi angka kematian pada ODHA,” katanya.

Kini hari-hari dilalui Sri penuh semangat dan motivasi. Tak ada rasa cemas, tak ada rasa frustasi, yang tertinggal hanyalah mengisi hari-harinya penuh arti bersama anak-anak dan suami yang sangat ia kasihi.
Menurut Sri, kematian ODHA sebenarnya lebih banyak karena stigma. Jika stigma kecil, maka angka kematian akan menurun. Berdasarkan pengalaman yang dihadapinya menjadi pendamping ODHA, kebanyakan ODHA meninggal bukan karena virusnya, tapi karena terkucil. “ODHA banyak meninggal karena terkucilkan. Mereka tidak memiliki pendamping dan teman yang memberi motivasi. Saya hanya ingin mengurangi angka kematian ODHA” katanya.

Diakuinya, sebelumnya ia memang kurang peduli dengan perkembangan penyakit ini dan ODHA. Padahal dia sering mendengar informasi dan mengetahui tentang ODHA dan HIV/AIDS dalam sosialisasi-sosialisasi di kantor lurah. Namun informasi yang diterimanya tersebut hanya sebatas mengetahui saja. “Namun sejak menderita HIV/AIDS, saya baru sadar bahwa penyakit HIV tidak menular secara sembarangan,” kata Sri.

Saat ini, Sri menjadi relawan di Medan Plus. Ia a mendampingi ODHA untuk terus minum obat dan menjaga kesehatan, seperti yang dilakukan keluarganya kepada dirinya. “Saya hanya ingin masyarakat tidak lagi memandang rendah dan mengucilkan para ODHA,” harapnya.
Direktur Medan Plus Eban Totonta Kaban menyebutkan, dari data kasus yang dirilis dinas kesehatan, ada sebanyak 50 penderita terinfeksi dari transfusi darah. “Di antara 50 penderita itu, ada yang menjadi dampingan Medan Plus. Salah satunya kak Sri,” ujarnya.
Eban juga mengharapkan agar peralatan medis juga lebih perhatian. “Skrining darah itu masih ada yang lolos dan tidak melalui prosedur sebenarnya. Misalnya PMI. Bahkan kalau tidak salah saya, ada beberapa PMI cabang di kabupaten/kota yang belum memiliki alat pendeteksi (skrining) darah. Jadi, betapa bahayanya, ketika ada kebutuhan darah, tidak melalui proses skrining ini. Jadi sebaiknya pemerintah dapat menyediakan alat tersebut, khususnya di daerah,” imbaunya. (*)

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/