MEDAN, SUMUTPOS.CO – Kondisi perpolitikan di Indonesia khususnya di Sumatera Utara (Sumut) beberapa tahun belakangan dinilai semakin menghangat dan mengarah kepada simbolisasi dan labelisasi. Karena itu, Pilkada 2018 diharapkan menjadi titik dimana pemimpin dan rakyat bersama membangun daerah dan tidak mengkotak-kotakkan antara menang dan kalah.
Mantan Sekdaprov Sumut yang juga Calon Wakil Gubernur Sumut di Pilgub 2013 lalu, Rustam Effendi Nainggolan (RE Nainggolan) mengatakan bahwa suasana perpolitikan saat ini sedang berada pada posisi yang rumit. Sebab menurutnya wacana dan isu yang beredar di publik semakin menguatkan perbedaan dan pertentangan baik suku, agama dan hal berbau SARA lainnya.
“Yang pertama tentu kita patut bergembira karena tahapan Pilkada (Pilgub) saat ini berjalan dengan baik. Walaupun ada sedikit persoalan, naminada umumnya tidak menjadi masalah dan bisa diselesaikan dengan baik. Sehingga dapat dikatakan, kita masih kondusif,” ujar RE Nainggolan kepada Sumut Pos, Rabu (27/6).
Disampaikannya, kondisi itu harus disikapi dengan seksama dan mengedepankan konsep kebersamaan serta persatuan kesatuan. Sebab dalam kontestasi Pilgub Sumut misalnya, hanya ada dua pasangan calon (paslon) yakni Edy-Ijeck dan Djarot-Sihar. Keadaan ini katanya harus bisa dijaga jangan sampai perbedaan latar belakang, hingga berbeda pilihan politik, membuat rakyat yang memilh calon pemimpinnya masing-masing, menjadi terpecah.
“Kepada pemimpin yang nanti terpilih, kita minta mereka bisa merangkul semua pihak. Semua rakyat adalah rakyatnya. Jadi Gubernur dan Wakil Gubernur harus kembali kepada rakyatnya,” sebutnya.
Sementara kepada masyarakat Sumut lanjut RE, dirinya berharap untuk menjaga persaudaraan, persahabatan dan membangun suasana damai dan nyaman. Sumut maju kalau semua kita bersama.
Siapapun yang terpilih kata RE, seluruh rakyat harus memberikan dukungannya kepada paslon yang menang sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur. Di sisi lain, kepala daeah yang terpilih juga hendaknya dapat melihat secara keseluruhan dan objektif serta rasional.
Pun begitu, kondisi politik di Indonesia yang memanas khususnya pada Pilkada serentak 2018 hingga menjelang Pemilu 2019, menurut RE sangat mengkhawatirkan. Karena pemilihan kepala daerah dilatar belakangi alasan Agama dan unsur SARA lainya. Jika diteruskan katanya, bukan tidak mungkin hal ini akan meruncing.
“Memang ada yang mengatakan semua akan hilang setelah Pilkada, tetapi itu bisa saja terjadi. Akan ada hal-hal yang sangat merisaukan kita. Karena ada blok-blok antara satu dengan yang lain. Seakan ada tembok yang bisa menumbuhkan hal ekstrem bahkan orang yang Nasionalis sekalipun, bisa terpengaruh,” katanya.
Karena itu lanjut RE, sudah sebaiknya sistem pemilihan kepala daerah kembali diubah dan dialihkan kepada DPRD provinsi maupun kabupaten/kota. Meskipun masih ada kekurangan selama ini, namun bisa disempurnakan lagi.
“Kembalikan saja ke sistem pemilihan melalui legislatif. Cukup kepala desa dan presiden saja dipilih langsung oleh masyarakat, kalau kepala daerah kita minta DPR RI memperbaiki sistem pemilihan tidak langsung itu,” pungkasnya. (bal/ram)