32 C
Medan
Wednesday, June 26, 2024

Dua Ancaman Intai Peserta Didik saat Belajar Tatap Muka, Pemko Medan Diminta Siapkan Strategi Detil

MEDAN, SUMUTPOS.CO – Pemerintah Kota (Pemko) Medan diingatkan untuk menyusun strategi dengan baik dan detil sebelum menerapkan pembelajaran tatap muka di sekolah pada awal Januari nanti. Selain potensi ancaman terpapar Covid-19 penurunan kemampuan belajar (learning loss) menjadi dua ancaman yang mengintai peserta didik.

DARING: Salah seorang mahasiswi saat belajar daring melalui laptopnya. Mahasiswa dan dosen dari 36 PTS di Sumut sudah terima bantuan kuota 50GB.
DARING: Salah seorang mahasiswi saat belajar daring melalui laptopnya.

“Ada banyak titik (sebenarnya) yang berpotensi membuat anak terpapar virus corona ketika sekolah benar-benar dibuka,” kata pemerhati pendidikan Fitriani Manurung kepada wartawan di Medan, Sabtu (26/12).

Salah satunya, sebut Fitriani, saat anak menggunakan kendaraan umum untuk pergi dan pulang sekolah. Potensi anak terpapar semakin besar karena mereka harus duduk berdesakan bersama penumpang lain.

Jika merujuk protokol kesehatan (prokes) 3M (memakai masker, mencuci tangan, dan menjaga jarak), maka kapasitas penumpang kendaraan umum seharusnya berkurang sampai 50 persen. “Tapi siapa yang harus bertanggungjawab memastikan kendaraan umum itu taat prokes 3M? Tidak mungkin sekolah dan orangtua. Pemko Medan-lah yang harus menjamin setiap kendaraan umum yang beroperasi aman untuk anak. Itu sebabnya harus ada skenario dan koordinasi lintas OPD yang jelas sebelum sekolah dibuka,” terang dia.

Pemko Medan, lanjut Fitriani, tidak bisa melihat pelaksanaan prokes 3M hanya di lingkungan sekolah semata. Dibutuhkan mitigasi potensi lain di luar sekolah. Sebab pembukaan sekolah akan memicu lonjakan penggunaan fasilitas publik secara masif. “Harus ada rencana aksi yang detil, agar lonjakan ini tidak menciptakan klaster baru. Rencana ini harus dipublikasikan secara luas, agar masyarakat tau dan bisa memberikan masukan,” kata alumnus Program Doktor Pendidikan Universitas Negeri Medan itu.

Lebih lanjut ia menyebutkan, selain potensi terpapar Covid-19, ancaman kedua yang mengintai adalah learning loss. Selama 10 bulan ini, anak belajar dalam kondisi darurat dengan dukungan teknis yang terbatas dari guru. Kondisi ini membuat kemampuan belajar anak menurun drastis. Terutama anak-anak dari keluarga miskin. “Jika anak-anak ini harus kembali ke sekolah, maka Pemko Medan harus melakukan asesmen (penilaian) ulang untuk memulihkan kemampuan belajar anak-anak itu sebelum mereka kembali belajar pada tingkatan yang seharusnya,” ungkapnya.

Fitriani menekankan, jika anak-anak tetap dipaksa belajar tanpa proses asesmen dan pemulihan kemampuan, maka mereka yang dari keluarga miskin berpotensi tertinggal jauh dari rekan sebayanya dari keluarga yang mampu. Mereka tidak akan mampu mengikuti proses pembelajaran karena tidak memiliki kompetensi yang dibutuhkan.

“Jika dibiarkan terus menerus maka di masa depan, anak-anak ini bisa kesulitan mendapatkan pekerjaan karena kompetensinya tidak memadai. Jika Pemko Medan mengabaikan fakta ini, maka masa depan anak-anak kita yang dipertaruhkan,” tukasnya.

Untuk mencegah terjadinya learning loss, diperlukan kebijakan pembelajaran yang terdiferensiasi. Anak-anak harus mendapatkan pembelajaran sesuai dengan kemampuannya (teaching at the right level), bukan lagi berdasarkan tingkatan kelasnya. Proses pemulihan ini dilakukan sampai kompetensi anak kembali, setelah itu anak baru dikembalikan ke kelas seharusnya.

“Kebijakan-kebijakan seperti ini yang seharusnya dipikirkan dan dibuat oleh Pemko Medan saat merencanakan pembukaan sekolah. Kebijakan terdiferensiasi seperti ini tidak akan jalan kalau diserahkan begitu saja kepada guru. Pemko harus menindaklanjuti kebijakan pembelajaran terdiferensiasi dengan pelatihan, pendampingan, dan monitoring berkala kepada guru secara intensif,” tegas dia.

Dinas Pendidikan Kota Medan, hemat Fitriani kurang transparan dalam mengelola PJJ (pembelajaran jarak jauh). Disdik tidak merespon masukan dari sejumlah tokoh dan organisasi masyarakat untuk melakukan pemetaan pembelajaran. Sampai sekarang tidak ada data yang dipublikasikan disdik tentang angka partisipasi belajar selama 10 bulan ini.

“Faktanya pada Oktober lalu, seorang siswi kelas 2 SD di Medan ditemukan delapan bulan tidak mengikuti PJJ, hanya karena tidak memiliki HP android. Fakta ini ditemukan oleh media massa, bukan oleh Disdik. Ini terjadi karena Disdik tidak punya pemetaan,” katanya.

Disdik seharusnya merangkul masyarakat untuk memperbaiki PJJ. Hasil survei yang diumumkan Yayasan Gugah Nurani Indonesia (GNI) pada September lalu contohnya, bisa dipakai untuk melakukan pemetaan yang lebih besar.

Survei itu menemukan, masih ada 33,49 persen siswa yang sama sekali tidak mengikuti PJJ. GNI bahkan menemukan, memiliki HP android tidak menjadi jaminan anak ikut PJJ setiap hari. Dari 125 siswa yang memiliki HP android, hanya 29,60 persen yang setiap hari mengikuti pembelajaran. Sedangkan sisanya 70,40 persen pernah absen beberapa kali.

“Angka 70,49 persen inilah yang berpotensi mengalami learning loss. Data-data seperti inilah yang seharusnya dimiliki Disdik untuk memitigasi potensi learning loss dan membuat kebijakan. Kalau Disdik tidak memiliki sumberdaya untuk melakukan pemetaan, mereka bisa menggandeng pihak lain,’’ katanya.

Terlebih sebagai kota besar di Indonesia, Medan seharusnya bisa menjadi contoh baik dalam pengelolaan PJJ. Medan bahkan bisa menjadi pionir untuk mengantisipasi potensi learning loss. “Kita tidak menolak pembukaan sekolah, tetapi kita minta Pemko Medan untuk lebih akuntabel dan bisa dipercaya. Pemko harus menunjukkan bahwa rencana pembukaan sekolah ini dilakukan dengan profesional, berbasis data, dan melibatkan para ahli,” tandasnya. (prn)

MEDAN, SUMUTPOS.CO – Pemerintah Kota (Pemko) Medan diingatkan untuk menyusun strategi dengan baik dan detil sebelum menerapkan pembelajaran tatap muka di sekolah pada awal Januari nanti. Selain potensi ancaman terpapar Covid-19 penurunan kemampuan belajar (learning loss) menjadi dua ancaman yang mengintai peserta didik.

DARING: Salah seorang mahasiswi saat belajar daring melalui laptopnya. Mahasiswa dan dosen dari 36 PTS di Sumut sudah terima bantuan kuota 50GB.
DARING: Salah seorang mahasiswi saat belajar daring melalui laptopnya.

“Ada banyak titik (sebenarnya) yang berpotensi membuat anak terpapar virus corona ketika sekolah benar-benar dibuka,” kata pemerhati pendidikan Fitriani Manurung kepada wartawan di Medan, Sabtu (26/12).

Salah satunya, sebut Fitriani, saat anak menggunakan kendaraan umum untuk pergi dan pulang sekolah. Potensi anak terpapar semakin besar karena mereka harus duduk berdesakan bersama penumpang lain.

Jika merujuk protokol kesehatan (prokes) 3M (memakai masker, mencuci tangan, dan menjaga jarak), maka kapasitas penumpang kendaraan umum seharusnya berkurang sampai 50 persen. “Tapi siapa yang harus bertanggungjawab memastikan kendaraan umum itu taat prokes 3M? Tidak mungkin sekolah dan orangtua. Pemko Medan-lah yang harus menjamin setiap kendaraan umum yang beroperasi aman untuk anak. Itu sebabnya harus ada skenario dan koordinasi lintas OPD yang jelas sebelum sekolah dibuka,” terang dia.

Pemko Medan, lanjut Fitriani, tidak bisa melihat pelaksanaan prokes 3M hanya di lingkungan sekolah semata. Dibutuhkan mitigasi potensi lain di luar sekolah. Sebab pembukaan sekolah akan memicu lonjakan penggunaan fasilitas publik secara masif. “Harus ada rencana aksi yang detil, agar lonjakan ini tidak menciptakan klaster baru. Rencana ini harus dipublikasikan secara luas, agar masyarakat tau dan bisa memberikan masukan,” kata alumnus Program Doktor Pendidikan Universitas Negeri Medan itu.

Lebih lanjut ia menyebutkan, selain potensi terpapar Covid-19, ancaman kedua yang mengintai adalah learning loss. Selama 10 bulan ini, anak belajar dalam kondisi darurat dengan dukungan teknis yang terbatas dari guru. Kondisi ini membuat kemampuan belajar anak menurun drastis. Terutama anak-anak dari keluarga miskin. “Jika anak-anak ini harus kembali ke sekolah, maka Pemko Medan harus melakukan asesmen (penilaian) ulang untuk memulihkan kemampuan belajar anak-anak itu sebelum mereka kembali belajar pada tingkatan yang seharusnya,” ungkapnya.

Fitriani menekankan, jika anak-anak tetap dipaksa belajar tanpa proses asesmen dan pemulihan kemampuan, maka mereka yang dari keluarga miskin berpotensi tertinggal jauh dari rekan sebayanya dari keluarga yang mampu. Mereka tidak akan mampu mengikuti proses pembelajaran karena tidak memiliki kompetensi yang dibutuhkan.

“Jika dibiarkan terus menerus maka di masa depan, anak-anak ini bisa kesulitan mendapatkan pekerjaan karena kompetensinya tidak memadai. Jika Pemko Medan mengabaikan fakta ini, maka masa depan anak-anak kita yang dipertaruhkan,” tukasnya.

Untuk mencegah terjadinya learning loss, diperlukan kebijakan pembelajaran yang terdiferensiasi. Anak-anak harus mendapatkan pembelajaran sesuai dengan kemampuannya (teaching at the right level), bukan lagi berdasarkan tingkatan kelasnya. Proses pemulihan ini dilakukan sampai kompetensi anak kembali, setelah itu anak baru dikembalikan ke kelas seharusnya.

“Kebijakan-kebijakan seperti ini yang seharusnya dipikirkan dan dibuat oleh Pemko Medan saat merencanakan pembukaan sekolah. Kebijakan terdiferensiasi seperti ini tidak akan jalan kalau diserahkan begitu saja kepada guru. Pemko harus menindaklanjuti kebijakan pembelajaran terdiferensiasi dengan pelatihan, pendampingan, dan monitoring berkala kepada guru secara intensif,” tegas dia.

Dinas Pendidikan Kota Medan, hemat Fitriani kurang transparan dalam mengelola PJJ (pembelajaran jarak jauh). Disdik tidak merespon masukan dari sejumlah tokoh dan organisasi masyarakat untuk melakukan pemetaan pembelajaran. Sampai sekarang tidak ada data yang dipublikasikan disdik tentang angka partisipasi belajar selama 10 bulan ini.

“Faktanya pada Oktober lalu, seorang siswi kelas 2 SD di Medan ditemukan delapan bulan tidak mengikuti PJJ, hanya karena tidak memiliki HP android. Fakta ini ditemukan oleh media massa, bukan oleh Disdik. Ini terjadi karena Disdik tidak punya pemetaan,” katanya.

Disdik seharusnya merangkul masyarakat untuk memperbaiki PJJ. Hasil survei yang diumumkan Yayasan Gugah Nurani Indonesia (GNI) pada September lalu contohnya, bisa dipakai untuk melakukan pemetaan yang lebih besar.

Survei itu menemukan, masih ada 33,49 persen siswa yang sama sekali tidak mengikuti PJJ. GNI bahkan menemukan, memiliki HP android tidak menjadi jaminan anak ikut PJJ setiap hari. Dari 125 siswa yang memiliki HP android, hanya 29,60 persen yang setiap hari mengikuti pembelajaran. Sedangkan sisanya 70,40 persen pernah absen beberapa kali.

“Angka 70,49 persen inilah yang berpotensi mengalami learning loss. Data-data seperti inilah yang seharusnya dimiliki Disdik untuk memitigasi potensi learning loss dan membuat kebijakan. Kalau Disdik tidak memiliki sumberdaya untuk melakukan pemetaan, mereka bisa menggandeng pihak lain,’’ katanya.

Terlebih sebagai kota besar di Indonesia, Medan seharusnya bisa menjadi contoh baik dalam pengelolaan PJJ. Medan bahkan bisa menjadi pionir untuk mengantisipasi potensi learning loss. “Kita tidak menolak pembukaan sekolah, tetapi kita minta Pemko Medan untuk lebih akuntabel dan bisa dipercaya. Pemko harus menunjukkan bahwa rencana pembukaan sekolah ini dilakukan dengan profesional, berbasis data, dan melibatkan para ahli,” tandasnya. (prn)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/