25 C
Medan
Friday, November 22, 2024
spot_img

Kisah Tragis Bayi Satu Bulan Tewas di RSU Mitra Medika

8 Jam di ICU, Disuruh Teken Penyataan Lebih Dulu

Ibu muda itu menangis histeris begitu mengetahui buah hatinya Immanuel Pakpahan yang berusia satu bulan meregang nyawa di ruang ICU RSU Mitra Medika, Medan Deli. Mindo boru Hutabarat (32), ibu muda itu terus menyesali kelambanan pihak RS menangani anaknya. Satu lagi korban jatuh akibat pelayanan medis yang pilih kasih di negeri ini.

ROZI, Belawan

RAUT sedih dan duka bercampur kecewa tampak begitu jelas di wajah ibu dua anak ini. Bukan saja pilu lantaran ditinggal pergi putra keduanya itu, tapi juga marah lantaran anaknya terlambat ditangani tim dokter RS. Immanuel, putranya itu, yang mengidap penyakit kekurangan sel darah merah tidak mendapat penanganan semestinya selama lebih dari delapan jam. Kejadian naas itu terjadi pada Sabtu (28/1) kemarin. Satu lagi korban jatuh akibat ketidakberesan pelayanan medis di RS.

Kali ini Mindo menjadi korbannya.

Saat ditemui Sumut Pos, Mindo menuturkan penyakit Immanuel terungkap setelah dia dan Lomasi Pakpahan (34), suaminya, mengecek kondisi kesehatan sang anak di sebuah klinik di Jalan Sumatera, Belawan. Bermula dari kecurigaan terhadap anaknya yang terus-menerus menangis di rumah.

tangisan itu tak cuma beberapa jam, melainkan hingga beberapa hari. Sang bocah baru menangis bila tidur saja. Kasihan melihat anaknya yang lelah menangis, keduanya lantas membawa ke klinik terdekat. Setelah dicek, dokter klinik mendiagnosa Immanuel mengidap kekurangan sel darah merah. Dokter menyarankan sang bocah sesegera mungkin dibawa ke rumash sakit agar mendapat perawatan yang lebih intensif.

Pasangan suami-istri (pasutri) muda itu sempat kaget dengan diagnosa dokter. Namun perasaan khawatir atas keselamatan si buah hati mengalahkan rasa kaget tadi. Bermodal kartu Jamsostek, Jumat (27/1) sekitar pukul 15.30 Wib, pasutri yang berdomisili di Lingkungan 17 Kelurahan Pulo Sicanang, Belawan itu memboyong Immanuel ke RSU Mitra Medika.

Harapannya tentu tak lain agar sang anak cepat ditangani tim dokter. “Sekitar pukul 4 sore kami sudah tiba di RS. Sehabis registrasi anak kami itu langsung dibawa ke ruangan gawat darurat untuk diperiksa. Kami memang berobat di situ pakai kartu Jamsostek,” ujar Mindo dengan suara yang terisak.

Tak lama kemudian Immanuel ditempatkan di ruang Instalasi Gawat darurat (IGD). Di kamar pertolongan pertama itu pula Immanuel sempat menjalani pemeriksaan awal. Lengannya dipasang selang infus dan bagian hidung dimasukkan selang oksigen. Sekitar dua jam berada di ruang UGD, Immanuel lantas dipindah ke ruangan ICU. Di ruang ICU ini pula kisah tragis yang menimpa Mindo dan suaminya bermula.

Mindo ingat betul pukul 18.00 WIB pada Sabtu (28/1) petang kemarin kondisi Immanuel masih stabil. ‘’Masih belum kritis,’’ katanya.

Hanya saja selama berada di ruangan ICU tak satu pun dokter datang dan memeriksa anaknya.

Pihak RSU Mitra Medika justru menyarankan Immanuel segera dilakukan transfusi darah karena kekurangan sel darah merah serta cairan di tubuh. Dua jam setelah ditempatkan di ruang ICU tiba-tiba kondisi Immanuel kritis.

Mindo kebingungan menyaksikan anaknya seolah-olah berada antara hidup dan mati.

Mindo bergegas mendatangi perawat jaga yang berada di pintu ruangan ICU. Dia meminta tim dokter segera datang dan melakukan transfusi darah terhadap anaknya.

‘’Saya katakan tolong anak saya. Kalau perlu biaya tambahan kami akan siapkan,” ujar Mindo mengulangi. Namun jawaban yang diterima Mindo justru mengejutkan. Pihak RSU Medistra meminta dia meneken surat pernyataan lebih dulu. Surat pernyataan itu dibuat mengingat biaya satu kantong darah di RS tidak cukup disubsidi Jamsostek. Satu kantong darah bernilai Rp295 ribu, sedangkan Jamsostek hanya menutupi Rp200 ribu. ‘’Saya kesal karena pihak RS mementingkan surat pernyataan ketimbang menolong nyawa anak saya lebih dulu,’’ ujarnya dengan suara meninggi.

‘’Saking kesalnya saya bilang ke perawat, tolong jangan sepelekan nyawa anak saya.

Kalau soal biaya transfusi darah, kami siap membayarnya. Tapi perawatnya cuma bilang iya dan mesti membuat surat pernyataan dulu,” ucapnya.

Capek berdebat dengan petugas medis yang berjaga, Mindo mengaku akhirnya cuma bisa pasrah. Dia ingat baru sekitar pukul 23.30 WIB baru ada dokter spesialis anak yang masuk ruangan ICU untuk mengambil sampel darah anaknya. Setelah mengecek sampel darah Immanuel, sang suami lantas disuruh pihak RS membeli darah golongan A positif di RSU Malahayati Medan. Mendengar itu Lomasi segera meluncur mengambil darah buat buah hatinya itu. Sayang usaha itu tak berhasil menyelamatkan si bayi. Saat hendak kembali ke RSU Medistra, ponsel Lomasi berdering. Suara di seberang, yang tak lain adalah istrinya, mengabarkan berita yang membuat kedua lututnya lemas.

‘’Saya dikabari anak kami sudah tiada. Kalau tak salah sekitar pukul 00.30 WIB. Saya nggak bisa menahan tangis lagi, kaki pun rasanya lemas semua,” cerita Lomasi.

Apa yang dikesalkan Lomasi dan istrinya adalah lambatnya penanganan pihak RSU Mitra Medika terhadap buah hatinya. Tempo delapan jam sejak keduanya membawa Immanuel ke RS adalah masa yang relatif cukup untuk menangani putranya tersebut. “Kenapa sampai kritis dulu baru dokternya datang dan disuruh ambil darah. Kenapa tidak dari sore hari.

Padahal saat masuk ruangan UGD sudah bisa diambil kesimpulan bahwa anak saya kekurangan sel darah merah dan harus dilakukan transfusi,” ujar Mindo kesal.

Kekecewaan Mindo dan Lomas yang kehilangan anak mereka hanya sepotong cerita getir dari ribuan kisah tragis yang dialami wong cilik di RS. Pihak RS seakan tak jera menerapkan manajemen pelayanan yang tidak prorakyat, dan memberikan pelayanan dalam kacamata kelas sosial. Yang bayar kontan didahulukan, yang pakai surat miskin atau Jamsostek jangan berharap cepat dalam pelayanan.

Begitu juga halnya RSU Mitra Medika yang dimintai konfirmasi atas kasus kematian Immanuel. Tak ada petugas yang berani mengeluarkan suara.

“Saya tak tahu soal itu, tanya saja sama petugas medis di ruang ICU,” tukas perawat di lantai tiga. Sumut Pos coba mengonfirmasi yang lain. Tapi hasilnya setali tiga uang: petugas di ICU juga bungkam seribu bahasa. Oh, malangnya jadi orang tak punya di negeri ini! (*)

8 Jam di ICU, Disuruh Teken Penyataan Lebih Dulu

Ibu muda itu menangis histeris begitu mengetahui buah hatinya Immanuel Pakpahan yang berusia satu bulan meregang nyawa di ruang ICU RSU Mitra Medika, Medan Deli. Mindo boru Hutabarat (32), ibu muda itu terus menyesali kelambanan pihak RS menangani anaknya. Satu lagi korban jatuh akibat pelayanan medis yang pilih kasih di negeri ini.

ROZI, Belawan

RAUT sedih dan duka bercampur kecewa tampak begitu jelas di wajah ibu dua anak ini. Bukan saja pilu lantaran ditinggal pergi putra keduanya itu, tapi juga marah lantaran anaknya terlambat ditangani tim dokter RS. Immanuel, putranya itu, yang mengidap penyakit kekurangan sel darah merah tidak mendapat penanganan semestinya selama lebih dari delapan jam. Kejadian naas itu terjadi pada Sabtu (28/1) kemarin. Satu lagi korban jatuh akibat ketidakberesan pelayanan medis di RS.

Kali ini Mindo menjadi korbannya.

Saat ditemui Sumut Pos, Mindo menuturkan penyakit Immanuel terungkap setelah dia dan Lomasi Pakpahan (34), suaminya, mengecek kondisi kesehatan sang anak di sebuah klinik di Jalan Sumatera, Belawan. Bermula dari kecurigaan terhadap anaknya yang terus-menerus menangis di rumah.

tangisan itu tak cuma beberapa jam, melainkan hingga beberapa hari. Sang bocah baru menangis bila tidur saja. Kasihan melihat anaknya yang lelah menangis, keduanya lantas membawa ke klinik terdekat. Setelah dicek, dokter klinik mendiagnosa Immanuel mengidap kekurangan sel darah merah. Dokter menyarankan sang bocah sesegera mungkin dibawa ke rumash sakit agar mendapat perawatan yang lebih intensif.

Pasangan suami-istri (pasutri) muda itu sempat kaget dengan diagnosa dokter. Namun perasaan khawatir atas keselamatan si buah hati mengalahkan rasa kaget tadi. Bermodal kartu Jamsostek, Jumat (27/1) sekitar pukul 15.30 Wib, pasutri yang berdomisili di Lingkungan 17 Kelurahan Pulo Sicanang, Belawan itu memboyong Immanuel ke RSU Mitra Medika.

Harapannya tentu tak lain agar sang anak cepat ditangani tim dokter. “Sekitar pukul 4 sore kami sudah tiba di RS. Sehabis registrasi anak kami itu langsung dibawa ke ruangan gawat darurat untuk diperiksa. Kami memang berobat di situ pakai kartu Jamsostek,” ujar Mindo dengan suara yang terisak.

Tak lama kemudian Immanuel ditempatkan di ruang Instalasi Gawat darurat (IGD). Di kamar pertolongan pertama itu pula Immanuel sempat menjalani pemeriksaan awal. Lengannya dipasang selang infus dan bagian hidung dimasukkan selang oksigen. Sekitar dua jam berada di ruang UGD, Immanuel lantas dipindah ke ruangan ICU. Di ruang ICU ini pula kisah tragis yang menimpa Mindo dan suaminya bermula.

Mindo ingat betul pukul 18.00 WIB pada Sabtu (28/1) petang kemarin kondisi Immanuel masih stabil. ‘’Masih belum kritis,’’ katanya.

Hanya saja selama berada di ruangan ICU tak satu pun dokter datang dan memeriksa anaknya.

Pihak RSU Mitra Medika justru menyarankan Immanuel segera dilakukan transfusi darah karena kekurangan sel darah merah serta cairan di tubuh. Dua jam setelah ditempatkan di ruang ICU tiba-tiba kondisi Immanuel kritis.

Mindo kebingungan menyaksikan anaknya seolah-olah berada antara hidup dan mati.

Mindo bergegas mendatangi perawat jaga yang berada di pintu ruangan ICU. Dia meminta tim dokter segera datang dan melakukan transfusi darah terhadap anaknya.

‘’Saya katakan tolong anak saya. Kalau perlu biaya tambahan kami akan siapkan,” ujar Mindo mengulangi. Namun jawaban yang diterima Mindo justru mengejutkan. Pihak RSU Medistra meminta dia meneken surat pernyataan lebih dulu. Surat pernyataan itu dibuat mengingat biaya satu kantong darah di RS tidak cukup disubsidi Jamsostek. Satu kantong darah bernilai Rp295 ribu, sedangkan Jamsostek hanya menutupi Rp200 ribu. ‘’Saya kesal karena pihak RS mementingkan surat pernyataan ketimbang menolong nyawa anak saya lebih dulu,’’ ujarnya dengan suara meninggi.

‘’Saking kesalnya saya bilang ke perawat, tolong jangan sepelekan nyawa anak saya.

Kalau soal biaya transfusi darah, kami siap membayarnya. Tapi perawatnya cuma bilang iya dan mesti membuat surat pernyataan dulu,” ucapnya.

Capek berdebat dengan petugas medis yang berjaga, Mindo mengaku akhirnya cuma bisa pasrah. Dia ingat baru sekitar pukul 23.30 WIB baru ada dokter spesialis anak yang masuk ruangan ICU untuk mengambil sampel darah anaknya. Setelah mengecek sampel darah Immanuel, sang suami lantas disuruh pihak RS membeli darah golongan A positif di RSU Malahayati Medan. Mendengar itu Lomasi segera meluncur mengambil darah buat buah hatinya itu. Sayang usaha itu tak berhasil menyelamatkan si bayi. Saat hendak kembali ke RSU Medistra, ponsel Lomasi berdering. Suara di seberang, yang tak lain adalah istrinya, mengabarkan berita yang membuat kedua lututnya lemas.

‘’Saya dikabari anak kami sudah tiada. Kalau tak salah sekitar pukul 00.30 WIB. Saya nggak bisa menahan tangis lagi, kaki pun rasanya lemas semua,” cerita Lomasi.

Apa yang dikesalkan Lomasi dan istrinya adalah lambatnya penanganan pihak RSU Mitra Medika terhadap buah hatinya. Tempo delapan jam sejak keduanya membawa Immanuel ke RS adalah masa yang relatif cukup untuk menangani putranya tersebut. “Kenapa sampai kritis dulu baru dokternya datang dan disuruh ambil darah. Kenapa tidak dari sore hari.

Padahal saat masuk ruangan UGD sudah bisa diambil kesimpulan bahwa anak saya kekurangan sel darah merah dan harus dilakukan transfusi,” ujar Mindo kesal.

Kekecewaan Mindo dan Lomas yang kehilangan anak mereka hanya sepotong cerita getir dari ribuan kisah tragis yang dialami wong cilik di RS. Pihak RS seakan tak jera menerapkan manajemen pelayanan yang tidak prorakyat, dan memberikan pelayanan dalam kacamata kelas sosial. Yang bayar kontan didahulukan, yang pakai surat miskin atau Jamsostek jangan berharap cepat dalam pelayanan.

Begitu juga halnya RSU Mitra Medika yang dimintai konfirmasi atas kasus kematian Immanuel. Tak ada petugas yang berani mengeluarkan suara.

“Saya tak tahu soal itu, tanya saja sama petugas medis di ruang ICU,” tukas perawat di lantai tiga. Sumut Pos coba mengonfirmasi yang lain. Tapi hasilnya setali tiga uang: petugas di ICU juga bungkam seribu bahasa. Oh, malangnya jadi orang tak punya di negeri ini! (*)

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/