MEDAN-Rupanya ada pejabat yang menangguk keuntungan atas fenomena maraknya Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang menggadaikan Surat Keputusan (SK) ke bank. Semakin banyak yang utang ke bank, kantong pejabat itu makin tebal. Pejabat yang panen fee dari bank itu adalah pejabat di Pemda yang mengurusi perbendaharaan gaji PNS.
“Bagian perbendaharaan mendapat fee dari bank,” ujar sumber koran ini yang tahu persis mengenai praktik kerjan
pejabat perbendaharaan gaji PNS yang mirip karyawan marketing bank itu.
Pejabat itu mendapat fee atas tugasnya yang rutin memotong gaji PNS yang punya utang ke bank untuk membayar cicilan. Pasalnya, mekanisme pembayaran cicilan kredit oleh PNS, langsung dipotong dari gaji bulanannya. Fee itu, lanjut sumber, oleh pihak bank dianggap sebagai uang jasa karena tugas perbendaharaan gaji itu sudah mirip pegawai bank. “Bank juga diuntungkan karena kreditan PNS bisa lancar karena langsung diambilkan dari gaji,” imbuhnya lagi.
Seperti sudah diberitakan, dari 230 ribu lebih jumlah PNS yang ada di Sumut, 93 ribu orang ternyata menggadaikan SK pegawainya ke bank. Angka itu pun hanya di BRI Wilayah I Medan saja, belum termasuk yang menggadaikan SK di Bank Sumut dan bank-bank lainnya.
Eselon II pun Gadaikan SK
Soal gadai menggadai SK ini ternyata tidak hanya dilakukan PNS golongan rendah. Bahkan, mayoritas pejabat eselon II di Pemerintah Kota Medan pernah menggadaikan SK ke bank untuk meminjam uang.
“Ya, mayoritas para pejabat eselon II di Pemko Medan sekarang sudah pernah menggadaikan SK. Namun, ada yang sudah selesai dan ada beberapa masih terutang,” ujar seorang sumber di Pemko Medan kepada Sumut Pos, Selasa (28/5).
Dijelaskannya, para pejabat eselon II tersebut menggadaikan SK ketika mereka belum menjabat sebagai Kepala Satuan Perangkat Kerja Daerah (SKPD). Jumlah pinjaman yang diambil juga bermacam-macam antara kisaran Rp100 juta hingga Rp200 juta. “Para eselon II tersebut menggadaikan SK sebelum mereka menjabat sebagai Kepala SKPD. Ada yang menggadaikan ketika masih eselon III dan IV. Ada juga yang sudah lunas dan ada yang masih berhutang,” jelasnya.
Dikatakan, penggadaian SK tersebut tidak berpengaruh terhadap mutasi atau pemindahan PNS tersebut. Sebab, penggadaian SK tidak ada berkaitan dengan Pemko Medan karena rekomendasi penggadaian SK tersebut hanya cukup ditandatangani Kepala Dinas. “Kalau terhadap mutasi, tidak ada hubungannya. Sekarang penggadaian SK cukup rekomendasi kepala dinas dan diajukan ke bank. Artinya, pemotongan gaji langsung dilakukan oleh pihak bank, tidak ada lagi kaitan ke Pemko Medan,” paparnya.
Lantas, bagaimana dengan penggadaian SK tersebut membuat oknum PNS melakukan pungutan liar? Sumber tersebut tidak bisa memastikan. Dikatakan, ada sebagian PNS justru semakin termotivasi dan sebaliknya, mungkin ada juga yang meningkatkan tindakan pungli. “Kita tidak bisa pastikan, karena tergantung oknum masing-masing. Ada yang termotivasi dan ada juga yang melakukan pungli. Yang melakulan pungli itulah yang bisa dimutasikan,” sebutanya.
Sementara itu, seorang pejabat eselon II Pemko Medan yang dimintai keterangan mengatakan, dirinya memang pernah menggadaikan SK guna untuk menjadi modal bagi usaha istrinya. Dana yang dipinjam sekitar Rp100 juta dan sudah lunas tahun lalu. “Ya, saat itu saya membutuhkan uang untuk menjadi modal usaha istri. Sekarang usaha istri saya sudah berjalan baik dan pinjaman itu sudah terlunasi,” sebut mantan pejabat di Pemprovsu tersebut.
Menggadaikan SK bagi beberapa kalangan bahkan dianggap sebagai kebiasaaan. Ada yang menganggap mubazir jika SK itu tak digadaikan. “Itu kan uang kita juga, gaji kita. Kita hanya ngambil duluan karena ada keperluan. Daripada ngutang sama rentenir?” kata seorang PNS yang sudah dua kali menggadaikan SK-nya di Bank Sumut.
Lalu, bagaimana dengan kutipan yang dilakukan oleh bendahara? Untuk hal ini sang sumber tertawa. “Wah, kalau itu kan cuma uang rokok saja. Terserah kita. Dia bantu kita, ya kita kasih ucapan terima kasihlah. Gak ada patokan, seiklasnya. Dia kan dapaty juga dari bank,” katanya.
Namun, ketika didesak soal berapa banyak sang bendahara mendapat fee dari bank, sang sumber menggeleng. “Gak tahu aku. Yang kutahu pasti ada,” tegasnya.
Fenomena ini jelas menguntungkan pejabat terkait. Pasalnya, gadai SK sedemikian marak dan bahkan nyaris menjadi budaya PNS. Seperti kata pengamat ekonomi dari Universitas Sumatera Utara (USU), Wahyu Ario Pratomo. “Memang hasrat manusia untuk memiliki suatu barang yang diingini akan terpuaskan ketika mendapatkannya. Nah, untuk PNS memang sih bisa mendapatkan rumah atau mobil atau pinjaman tunai dengan SK PNS nya, tetapi juga harus mengetahui kemampuan keuangannya,” ujar Wahyu.
Wahyu menjelaskan gaji PNS tidak tinggi sebelum mendapat insentif. Misalnya, PNS golongan 3 yang mempunyai gaji sekitar Rp2,8 juta. Dengan kredit Rp100 juta, maka maksimal gajinya dipotong Rp1.680.000 tau 60 persen per bulan selama masa kredit yang disepakati. Artinya, sang PNS hanya hidup dengan sisa gaji yang sebesar Rp1.120.000 untuk satu bulan hingga kredit selesai.
Selain itu, jika pinjaman tunai, maka PNS wajib menyerahkan SK asli. Namun, jika berbentuk barang, di bank tertentu masih bisa ditanggung bank hanya memakai surat pengantar oleh bendahara penggajian. Jadi hal ini berindikasi seorang PNS akan membeli barang yang dijaminkan oleh Bank lebih dari satu bahkan kalau lebih parah lagi bisa saja menggadaikan SK palsu atau SK duplikat. “Ketika dia telah mencicil KPR rumah, dia juga ingin sepeda motor bahkan mobil. Hal seperti ini bisa saja terjadi, yang menjadi persolan adalah pembayaran cicilan. Ketika orang itu tidak sanggup membayar maka apa yang dibeli akan ditarik oleh bank,” jelas Wahyu.
Disebutkan Wahyu bahwa sebenarnya Bank yang bersangkutan bukan tak teliti kepada nasabahnya. Bank bisa saja tahu dengan mengecek nasabahnya tersebut masih mempunyai utang yang lain. Tetapi ada juga yang masih memperbolehkan dengan anggapan selama si peminjam masih sanggup membayar cicilan, meski entah dari sumber yang mana. “Bukan menuduh, tapi sebaiknya PNS menyesuaikan kemampuan keuangannya dengan hasrat yang diingininya untuk suati barang tertentu. Kita semua tahu seberapalah gaji PNS, apalagi di daerah. Kira-kira itulah solusi dari saya,” katanya.
Kolega Wahyu, Kasyful Mahalli menanggapi fenomena gadai SK ini dengan lebih bijak. Ekonom sekaligus dosen USU ini menjelaskan menjadi PNS memang dihadapi begitu banyak masalah hingga harus menggadaikan SK.
Dia mencontohkan dirinya sendiri. Kasyful adalah seorang PNS golongan 4A dengan gaji pokok Rp3 juta lebih. Uang masuk lainnya yang dia terima hanya dari honor mengajar serta kalaupun ada pemasukan lain itu berupa kegiatan kepanitiaan. Sementara kebutuhan hidup seakan tiada henti. Dalam hal ini dia mengatakan bahwa pemerintah seharusnya bisa selektif dan mengkaji ulang soal penerapan gaji serta pemberian insentif dalam memberi penilaian kepada PNS. “Jadi jangan asal pukul rata, PNS yang rajin dan malas,” ungkapnya. (sam/mag-9/mag-7)