MEDAN, SUMUTPOS.CO – Batalnya pengesahan Perubahan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (P-APBD) Sumut tahun anggaran 2019 oleh DPRD Sumut, Selasa (27/8), dinilai sebagai bentuk ketidakseriusan dewan dalam menjalankan tanggung jawab. Selain menanggung beban sejarah yang berat dan jadi preseden buruk, kejadian itu tentu akan membuat persepsi buruk di mata masyarakat.
“Wajar saja ketika mengenai anggaran rakyat yang menjadi tugas wakil rakyat untuk mengesahkannyan
namun tak dilakukan oleh dewan, memunculkan banyak persepsi di masyarakat. Apalagi lebih dari 60 persen dewan yang sekarang tidak terpilih lagi,” kata pengamat anggaran, Elfenda Ananda menjawab Sumut Pos, Rabu (28/8).
Meski secara eksplisit dia tidak mau menyebut, namun salah satu persepsi di publik ketika pengesahan PAPBD 2019 gagal dilakukan DPRD Sumut, peristiwa dimaksud dapat menjadi sinyal bahwa anggota dewan menginginkan ‘imbalan’ atau semacam ‘uang pensiun’ dengan cara menggantung tahapan itu. Terutama bagi legislatif yang tidak terpilih kembali.
“Sebenarnya kalau kita mau evaluasi, pembahasan anggaran ini dilakukan oleh dewan periode sekarang. Meski tidak ada di UU memaksa harus disahkan untuk PAPBD, tetapi periode ini juga harus menyegerakan hal itu, namun faktanya mereka tidak serius dengan pekerjaannya. Saya tidak mengarah ke sana (dewan minta imbalan), tapi apa maksudnya mereka menggantung nasib rakyat Sumut. Dibahas iya, tapi tidak disahkan saat paripurna,” papar mantan Sekretaris Eksekutif Fitra Sumut tersebut.
Secara psikologi, imbuh dia, pengesahan RAPBD Sumut 2020 juga dikhawatirkan senasib dengan PAPBD 2019. Sebab Badan Anggaran yang membahas anggaran dan pengesahan notabene dari legislatif yang sekarang. “Mereka harus menjelaskan dan membuat keterangan kenapa tidak mau mengesahkan itu.
Tidak hanya sebatas alasan karena tidak kuorum saat pengesahan. Sehingga publik mengetahui dengan jelas apa yang terjadi sebenarnya. Karena ini menyangkut hajat hidup rakyat Sumut. Menyangkut belanja pembangunan, belanja sosial masyarakat dan belanja aparatur pemprov juga. Saya kira bisa saja nanti RAPBD seperti ini juga nasibnya,” katanya.
Plt Kepala Badan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD) Setdaprovsu, yang juga Sekretaris Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD) Sumut, Raja Indra Saleh, belum mau berkomentar lebih jauh pasca batalnya pengesahan PAPBD 2019. Dia hanya bilang, saat ini sedang dilakukan pembahasan anggaran antara TAPD dengan Banggar DPRD Sumut.
Namun Indra tak ingin menyebut pembahasan sekaitan RAPBD atau ada upaya lobi-lobi pasca batalnya pengesahan PAPBD. Tak hanya itu, saat disinggung soal kelanjutan cerita paska pembatalan pengesahan PAPBD ke Kemendagri untuk disahkan, dirinya juga enggan mengomentari. “Nantilah ya, ini saya lagi di DPRD Sumut bahas anggaran dengan Banggar. Sore aja nanti kita ketemu di kantor,” ujarnya singkat.
Seperti diberitakan, PAPBD Sumut 2019 akhirnya batal disahkan setelah tertunda dalam dua kali paripurna karena kehadiran anggota DPRD Sumut tidak kuorum. Dalam paripurna DPRDSU, Selasa (27/8), diputuskan, PAPBD 2019 tidak disahkan dan diserahkan ke Mendagri. Hanya sekitar 40-an anggota dewan yang hadir dalam paripurna tersebut.
“Kita sudah berikan kesempatan, tapi sampai saat ini kehadiran anggota DPRDSU tidak memungkinkan kita mengambil keputusan PAPBD 2019. Maka dengan berat hati, karena kita ikut pada aturan, PAPBD 2019 kita serahkan ke Mendagri,” ujar Ketua DPRDSU Wagirin Arman mengakhiri paripurna yang cukup alot tersebut.
Sebelumnya, paripurna pengambilan keputusan PAPBD 2019 dijadwalkan Selasa (27/8) pukul 14.00 WIB. Sempat diskors dua kali karena kehadiran anggota dewan tidak mencapai 2/3, maka sebagaimana Peraturan Pemerintah Nomor 12, jika dalam setelah dua kali skors, maka paripurna dibatalkan, dan jika dalam dua kali paripurna pengambilan keputusan tidak tercapai, maka pengambilan keputusan diserahkan ke Mendagri.
Sejumlah anggota dewan sempat meminta agar pimpinan rapat tidak menutup paripurna dan membatalkan pengambilan keputusan PAPBD tersebut, melainkan meminta agar pimpinan dewan berunding dengan ketua-ketua fraksi dan meminta agar anggota dewan dihadirkan dalam ruang paripurna. Rapat sempat diskors untuk ketiga kalinya, namun setelah dibuka kembali, kehadiran anggota dewan tetap tidak memenuhi kuorum.
“Sekarang semua terserah Mendagri, kita tidak bisa mengambil keputusan, karena (kehadiran dewan) tidak kuorum. Jumlah kehadiran tanda tangan saja tidak kuorum, apalagi fisiknya. Tidak ada yang namanya disharmonisasi legislatif dan eksekutif, yang salah disini adalah ketidakhadiran anggota dewan. Saya kecewa kehadiran anggota DPRDSU, ini sejarah jelek untuk Sumut. Saya mohon maaf kepada rakyat Sumut,” ungkap Wagirin. (prn)