MEDAN – Ungkapan anggota DPR RI, Ramadhan Pohan dan pejabat di Ditjen Kesbangpol Kemendagri, Bahtiar, yang menyebut wacana Sumut Merdeka merupakan gerakan separatis dibantah secara tegas oleh sejumlah akademisi Universitas Sumatera Utara (USU).
Seperti diutarakan akademisi USU, Bengkel Ginting kepada Sumut Pos, Kamis (28/11) saat ditemui di Penang Corner, Medan. “Sebutan Kemendagri dan anggota DPR RI mengenai gerakan separatis perlu diluruskan, apa yang disampaikan sebenarnya bukanlah sebuah statemen yang pantasn
disampaikan. Karena Kemendagri dan Anggota DPR RI itu belum mengetahui makna dari Sumut Merdeka,” katanya.
Dia menyebutkan, Sumut Merdeka merupakan satu gagasan dari diskusi lepas sejumlah akademisi, politisi dan praktisi hukum. Diskusi lepas itu membahas tentang peran Pemerintah Pusat kepada pembangunan dan kesejahteraan masyarakat Sumut. Ternyata setelah dilisting, nyaris sangat kecil kucuran pembangunan untuk Sumut. Padahal bila dikaji pajak yang dihisap dari Sumut sangat besar bagi Pemerintah Pusat.
“Anehnya sekarang ini, Pemerintah Pusat memberi ruang jeruk impor dari China, padahal jeruk di Karo itu sangat baik, hanya saja butuh pembinaan kepada petaninya agar lebih berkualitas. Harusnya inilah yang ditolong pemerintah, bukan malah memberi ruang bagi jeruk-jeruk impor yang terus menurunkan harga,” sebutnya.
Bengkel menyayangkan statmen anggota DPR RI dan Kemendagri tidak menelaah terlebih dahulu. “Harusnya bukan memvonis gerakan separatis, inikan hasil diskusi lepas. Ada baiknya anggota DPR RI itu berada di Sumut dan merasakan apa yang dirasakan masyarakat Sumut. Sehingga mengetahui betul apa yang terjadi di Sumut,” ujarnya.
Hal lainnya, ada juga pernyataan Ramadhan Pohan yang menyebutkan gagasan yang disampaikan sejumlah akademisi USU tak menghargai jasa-jasa Pahlawan. “Inikan sangat bertolak belakang dengan apa yang saat ini terjadi. Justru kami di Sumut menginginkan hidup ideal sebagaimana cita-cita para pejuang, sebaliknya saat ini kebijakan Pemerintah Pusat cenderung mengganggu masyarakat di Sumut,” sebutnya.
Dia mengakui, saat ini Sumut sangat kondusif, tapi kekondusifan itu dalam bentuk keamanan. Namun dari sisi sosial politik dan ekonomi, masyarakat malah dihisap karena kepentingan Pemerintah Pusat yang menginginkan menarik pajak sebesa-besarnya dari Sumut.
“Jadi apa yang menjadi gagasan hasil diskusi lepas bukan makar atau gerakan separatis. Ini murni inisiatif akademisi, bukan sisipan. Sebaiknya politisi itu harus menelaah isu yang muncul, jangan hanya berkomentas sesukanya,” ingatkannya.
Ungkapan berbeda disampaikan dosen Fisipol USU, Teka Brahmana menyatakan, gagasan Sumut Merdeka yang dilontarkan sejumlah akademisi merupakan revolusi pemikiran. Artinya merdeka dari prinsip politik, ekonomi, hukum, dan sosial budaya. “Selama ini sangat banyak ketidakadilan yang muncul, bahkan karena banyaknya ketidakadilan oknum politisi senayan cenderung ambil keuntungan di Sumut,” sebutnya.
Hadir dalam kesempatan yang sama, Prof DR Arif Nasution MA menyatakan, gagasan Sumut Merdeka sebenarnya bukanlah hal yang baru karena pada tahun sebelumnya sudah ada.
“Hanya saja sampai Pemerintah Pusat kurang menyadari dan mengubah kebiasaannya membodohi rakyat lewat peraturan dan kebijakannya. Sehingga masyarakat kian miskin, sedangkan kelompok elit politik dan pemodal semakin kaya,” ucapnya.
Dia mencontohkan di wilayah Tapanuli Selatan dan Mandailing Natal, kini kondisinya sering terjadi konflik tanah adat antara masyarakat dengan pemodal. “Persoalan inilah yang sebenarnya perlu dilakukan dengan satu revolusi pemikiran dengan istilah yang bisa disebut Sumut Merdeka,” katanya.
Direktur Pasca Sarjana Studi Pembangunan USU itu menyatakan, selain kondisi tanah adat, ada lagi yang tidak pas dilakukan Pemerintah Pusat terhadap Sumut, seperti pembangunan jalan serta infrastruktur lainnya.
“Bila dibandingkan pulau lainnya, sepertinya Sumut khususnya belum mendapatkan perhatian. Buktinya jalan tol hanya berapa km saja, bila dibandingkan daerah lainnya sudah panjang tolnya. Padahal Sumut inikan lumbungnya pendapat bagi republik ini. Harusnya ada perimbangan antara mengambil pendapatan dengan memberi pembangunan wilayah, sehingga tidak ada kecemburuan,” ucapnya.
Antara Wajar dan Konyol
Di tempat terpisah, Wakil Ketua DPRD Sumut, Kamaluddin Harahap, dia menilai wacana Sumut Merdeka itu merupakan hal yang wajar.
“Kalau ada permintaan ekstrem (ingin merdeka) dari masyarakat Sumatera Utara, saya anggap itu suatu hal yang wajar. Mengingat kita merasa dianaktirikan oleh pemerintah pusat,” kata Kamaluddin kepada wartawan, Kamis (28/11).
Diungkapkannya, hasil pendapatan daerah di Sumatera Utara, sepenuhnya diboyong ke pusat. Sementara, Sumatera Utara hanya dapat beberapa persen saja dari pendapatan yang dimiliki.
“Saya sudah pernah bicara masalah ini ke pemerintah pusat, tapi tidak ditanggapi. Nah, jangan sampai permintaan ini menjadi cukup besar. Makanya pemerintah pusat harus segera menyikapi permasalahan ini dengan arif dan bijaksana,” katanya.
Namun pernyataan berbeda disampaikan Ahmad Ikhyar Hasibuan, anggota DPRD Sumut dari Fraksi Demokrat. Menurutnya, wacana itu merupakan hal yang konyol, karena bukan masanya lagi meminta merdeka. “Untuk mendapatkan hak, kita harus berjuang. Bukannya malah minta merdeka. Persoalan permintaan merdeka ini adalah masalah sikap kita bagaimana memperjuangan pendapatakan daerah. Nah, ini masalah kebijakan negarawan. Terlalu konyol kita minta merdeka dengan kondisi yang saat ini kurang stabil. Karena Sumatera Utara ini adalah daerah pejuang,” tegasnya.(mag-5/rud)