29 C
Medan
Wednesday, May 22, 2024

AP 2: ILS Polonia Standar Internasional

MEDAN- Delay hingga empat jam karena cuaca membuat penikmat jasa penerbangan di Medan resah. Contohnya, tiga pesawat tujuan Medan yang pada Minggu (28/4) harus mendarat di luar negeri karena terhalang cuaca buruk. Tak pelak, Bandara Polonia pun dituding tidak memiliki teknologi canggih yang mampu ‘menggiring’ pesawat selamat di landasan meski cuaca sedang kacau.

AWAN: Pesawat terbang  antara awan gelap  menyelimuti  Bandara Polonia Medan, belum lama ini.//AMINOER RASYID/SUMUT POS
AWAN: Pesawat terbang di antara awan gelap yang menyelimuti Bandara Polonia Medan, belum lama ini.//AMINOER RASYID/SUMUT POS

Tudingan itu langsung dibantah pihak bandara. Elektronika Engineering Manager Angkasa Pura 2 Bandara Polonia Medan, Slamet Samiaji, mengatakan sistem pendaratan yang digunakan oleh bandara Polonia Medan adalah Instrument Landing System (ILS). Teknologi ini sudah menjadi standarisasi dan direkomendasikan oleh ICAO (International Civil Aviation Organization) yang merupakan organisasi pengamat dunia penerbangan internasional.

“Dalam penerbangan itu, harus berpasangan. Dengan kata lain, bila bandara menggunakan teknologi tertentu, maka pesawat yang mendarat di bandara tersebut juga harus menggunakan teknologi yang sama,” ujarnya, kemarin.

Dijelaskannya, ILS ini adalah teknologi yang ada di kokpit pesawat dan terhubung langsung dengan bandara. Fungsi ILS ini akan menunjukkan titik tengah landasan dan sudut pendaratan yang biasanya akan digunakan pada malam hari atau saat cuaca buruk.
“Walaupun begitu. Bukan berarti setiap cuaca buruk bisa dilakukan pendaratan. Karena banyak faktor. Misalnya, angin, jenis awan, hujan, desain pesawat, dan lainnya. Untuk jarak pandang juga menjadi alasan utama. Minimal bila dikarenakan kabut atau asap, jarak pandang minimal 2 km. Bila terjadi cuaca tersebut, bandara akan mengingatkan pilot. Nah, keputusan untuk tetap mendarat atau tidak tersebut tergantung dari pilot,” ujarnya.

Dengan tegas, Samiaji menyatakan bahwa ILS Polonia itu masih tahap layak pakai. Karena, setiap 6 bulan sekali, ILS akan dikalibrasi. “Dan terakhir kita kalibrasi itu sekitar 2 bulan. Hasil kalibrasi juga dibuat berita acara dan disebarkan ke seluruh bandara dan maskapai di dunia,” lanjutnya.

Hingga saat ini, dunia penerbangan hanya mengenal 2 teknologi dalam pendaratan. Yaitu, Instrument Landing System (ILS) yang digunakan dalam dunia penerbangan di Indonesia dan berbagai bandara internasional diseluruh dunia, dan Microwave Landing System (MLS), yang masih segelintir bandara yang menggunakan teknologi ini.

Perbedaan dari 2 alat ini ada pada teknologi pendukungnya. Misalnya, ILS menggunakan gelombang tinggi, dengan frekuensi pada 108 hingga 111,95 Mhz. Sedangkan MLS, lebih presisi karena menggunakan gelombang mikro. “Teknologi ini nantinya akan menunjukkan di alat penerima pesawat titik tengah landasan dan sudut pendaratan yang biasanya akan digunakan pada malam hari atau saat cuaca buruk,” tambah Samiaji.

Dijelaskannya, ILS secara umum digunakan semua bandara internasional. “Kalau MLS saya belum mengetahui pasti,” tambahnya.
Samiaji menyatakan MLS ini sudah ditemukan hampir 10 tahun yang lalu. Tetapi, dirinya belum mengetahui dengan pasti, apakah itu akan lebih baik atau tidak. Karena, hingga saat ini, aplikasinya belum terdengar dalam dunia penerbangan. “Karena begini, apakah mereka sudah produksi masal, received system yang terletak di kokpit pesawat? Karena bila sudah direkom, maka ICAO akan menyebarkan ke seluruh maskapai dan bandara tentang teknologi terbaru ini,” tambahnya.

Beberapa hari yang lalu (28/4), ada 3 pesawat yang divert (pengalihan pendaratan) dikarenakan cuaca buruk. Hujan deras disertai petir di sekitar bandara Polonia yang bersifat sangat lokal dan berlangsung singkat. Jarak pandang atau visibility sekitar 5-6 Km atau cukup aman bagi penerbangan. “Kemungkinan pesawat divert karena faktor hujan yang disertai dengan petir,” ujar Kepala Seksi Data dan Informasi Stasiun Meteorologi Polonia Medan, Mega Sirait.

Dijelaskannya, hujan yang terjadi akibat adanya pembentukan awan yang cukup cepat karena pemanasan yang tinggi. Pemanasan mengakibatkan penguapan dan pembentukan awan-awan hujan yang berpotensi mengakibatkan hujan disertai petir, namun kejadian hujan tidak begitu lama (sekitar 1 jam) dan sifatnya lokal atau tidak merata. (ram)

MEDAN- Delay hingga empat jam karena cuaca membuat penikmat jasa penerbangan di Medan resah. Contohnya, tiga pesawat tujuan Medan yang pada Minggu (28/4) harus mendarat di luar negeri karena terhalang cuaca buruk. Tak pelak, Bandara Polonia pun dituding tidak memiliki teknologi canggih yang mampu ‘menggiring’ pesawat selamat di landasan meski cuaca sedang kacau.

AWAN: Pesawat terbang  antara awan gelap  menyelimuti  Bandara Polonia Medan, belum lama ini.//AMINOER RASYID/SUMUT POS
AWAN: Pesawat terbang di antara awan gelap yang menyelimuti Bandara Polonia Medan, belum lama ini.//AMINOER RASYID/SUMUT POS

Tudingan itu langsung dibantah pihak bandara. Elektronika Engineering Manager Angkasa Pura 2 Bandara Polonia Medan, Slamet Samiaji, mengatakan sistem pendaratan yang digunakan oleh bandara Polonia Medan adalah Instrument Landing System (ILS). Teknologi ini sudah menjadi standarisasi dan direkomendasikan oleh ICAO (International Civil Aviation Organization) yang merupakan organisasi pengamat dunia penerbangan internasional.

“Dalam penerbangan itu, harus berpasangan. Dengan kata lain, bila bandara menggunakan teknologi tertentu, maka pesawat yang mendarat di bandara tersebut juga harus menggunakan teknologi yang sama,” ujarnya, kemarin.

Dijelaskannya, ILS ini adalah teknologi yang ada di kokpit pesawat dan terhubung langsung dengan bandara. Fungsi ILS ini akan menunjukkan titik tengah landasan dan sudut pendaratan yang biasanya akan digunakan pada malam hari atau saat cuaca buruk.
“Walaupun begitu. Bukan berarti setiap cuaca buruk bisa dilakukan pendaratan. Karena banyak faktor. Misalnya, angin, jenis awan, hujan, desain pesawat, dan lainnya. Untuk jarak pandang juga menjadi alasan utama. Minimal bila dikarenakan kabut atau asap, jarak pandang minimal 2 km. Bila terjadi cuaca tersebut, bandara akan mengingatkan pilot. Nah, keputusan untuk tetap mendarat atau tidak tersebut tergantung dari pilot,” ujarnya.

Dengan tegas, Samiaji menyatakan bahwa ILS Polonia itu masih tahap layak pakai. Karena, setiap 6 bulan sekali, ILS akan dikalibrasi. “Dan terakhir kita kalibrasi itu sekitar 2 bulan. Hasil kalibrasi juga dibuat berita acara dan disebarkan ke seluruh bandara dan maskapai di dunia,” lanjutnya.

Hingga saat ini, dunia penerbangan hanya mengenal 2 teknologi dalam pendaratan. Yaitu, Instrument Landing System (ILS) yang digunakan dalam dunia penerbangan di Indonesia dan berbagai bandara internasional diseluruh dunia, dan Microwave Landing System (MLS), yang masih segelintir bandara yang menggunakan teknologi ini.

Perbedaan dari 2 alat ini ada pada teknologi pendukungnya. Misalnya, ILS menggunakan gelombang tinggi, dengan frekuensi pada 108 hingga 111,95 Mhz. Sedangkan MLS, lebih presisi karena menggunakan gelombang mikro. “Teknologi ini nantinya akan menunjukkan di alat penerima pesawat titik tengah landasan dan sudut pendaratan yang biasanya akan digunakan pada malam hari atau saat cuaca buruk,” tambah Samiaji.

Dijelaskannya, ILS secara umum digunakan semua bandara internasional. “Kalau MLS saya belum mengetahui pasti,” tambahnya.
Samiaji menyatakan MLS ini sudah ditemukan hampir 10 tahun yang lalu. Tetapi, dirinya belum mengetahui dengan pasti, apakah itu akan lebih baik atau tidak. Karena, hingga saat ini, aplikasinya belum terdengar dalam dunia penerbangan. “Karena begini, apakah mereka sudah produksi masal, received system yang terletak di kokpit pesawat? Karena bila sudah direkom, maka ICAO akan menyebarkan ke seluruh maskapai dan bandara tentang teknologi terbaru ini,” tambahnya.

Beberapa hari yang lalu (28/4), ada 3 pesawat yang divert (pengalihan pendaratan) dikarenakan cuaca buruk. Hujan deras disertai petir di sekitar bandara Polonia yang bersifat sangat lokal dan berlangsung singkat. Jarak pandang atau visibility sekitar 5-6 Km atau cukup aman bagi penerbangan. “Kemungkinan pesawat divert karena faktor hujan yang disertai dengan petir,” ujar Kepala Seksi Data dan Informasi Stasiun Meteorologi Polonia Medan, Mega Sirait.

Dijelaskannya, hujan yang terjadi akibat adanya pembentukan awan yang cukup cepat karena pemanasan yang tinggi. Pemanasan mengakibatkan penguapan dan pembentukan awan-awan hujan yang berpotensi mengakibatkan hujan disertai petir, namun kejadian hujan tidak begitu lama (sekitar 1 jam) dan sifatnya lokal atau tidak merata. (ram)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/