Perjuangan untuk mempertahankan Rumah Sakit Tembakau Deli (RSTD) tak akan berhenti. Lanjutnya, pihaknya akan memperjuangkan hal ini hingga akhir. Tidak hanya melalui Gerakan Penyelamat RSTD. Beragam elemen masyarakat berharap tempat sejarah sesuai Perda Nomor 2 tahun 2012 agar tak jadi kenangan.
Puput Julianti Damanik, Medan
“Kita lihat saja, Dinas Pariwisata sudah akan membuat plakat tentang ditetapkannya RSTD sebagai cagar budaya meskipun sampai saat ini belum tampak. Yah kita tetap harus bertahan untuk melawan dan membantu karyawan yang memang ikut menolak hal ini,” ungkap Edi Ikhsan, selaku kordinator Gerakan Penyelamat RSTD.
Ibnu avena Matondang, Direktur kreatif pada Micro Ethnography research yang bergerak dalam anotasi dan dokumentasi kebudayaan tak ketinggalan. Dia mengatakan, pemilik bangunan bersejarah di Kota Medan selama ini menyatakan ada keterbatasan mereka untuk merawat dan melestarikan bangunan bersejarah dikarenakan tidak memiliki dana yang cukup. Itulah sebab, sebagian besar dari pemilik bangunan bersejarah telah mengalihfungsikan bangunan bersejarah tersebut menjadi tempat usaha dan jasa.
“Berdasarkan hal tersebut, peran pemerintah sangat dibutuhkan sebagai upaya pencegahan terjadinya alih fungsi bangunan bersejarah menjadi bangunan komersial. Salah satu upaya pencegahan terjadinya alih fungsi ialah dengan di undangkannya Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang. Undang-Undang tersebut berfungsi untuk mengatur pelestarian mencakup tujuan untuk melindungi, mengembangkan, dan memanfaatkannya,” katanya.
Lanjut Avena, RSTD sudah memenuhi kriteria UU Nomor 11 tahun 2010 tentang cagar budaya. “Kalau RSTD tetap akan dialihfungsikan atau dirobohkan, maka saya juga siap bergabung untuk menentang hal tersebut. Karena dengan mengalihtangankan dan menjual RS ini, Medan akan kehilangan karakter pembentuk kota secara historis dan juga kehilangan pionir keberadaan RS di Kota Medan. Memang, peraturan menteri BUMN mengatakan tidak ada larangan bagi PTPN sebagai unit usaha BUMN untuk menjual aset yang dimiliki. Namun UU Nomor 11 tahun 2010 mengenai perlindungan bangunan bersejarah itu ada,” katanya.
Sementara itu, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Medan yang menerima pengaduan dari karyawan RSTD juga akan membantu nasib RSTD dan karyawan akan kembali bekerja seperti semula. “Tindakan Direksi PTPN II melakukan swap aset RSTD ke Dapenbun atau swasta dengan alasan untuk melakukan optimalisasi aset dalam penyelesaian kewajiban PTPN II terkesan mengada-ada dan ini sangat bertentangan dengan hukum dan terindikasi adanya perbuatan tindak pidana korupsi,” ujar Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Medan Surya Adinata kepada Sumut Pos.
Tambahnya, pihaknya telah mendapatkan fakta bahwa RSTD tidak mengalami kerugian selama operasionalnya bahkan mengalami keuntungan. “Yah kita lihat saja para karyawan RSTD masih tetap dapat bonus sebesar Rp2 juta. Indikasi korupsi di sini sudah sangat banyak, banyak kebohongan di PTPN II. Katanya, RSTD adalah aset yang tidak bermanfaat, padahal RSTD jelas banyak manfaatnya bagi seluruh karywan PTPN II juga masyarakat lainnya. Kita akan laporkan ini ke KPK. Kita juga harap perjuangan ini, ditanggapi oleh menteri BUMN,” katanya.
Di sisi lain, tepat pada hari Selasa (2/4) lalu, Achiro Johan salah satu karyawan PTPN II yang bekerja di RSTD bersama beberapa rekannya menghadiri undangan yang bertuliskan dari Kepala RS. Dr GL Tobing di ruang pertemuan RS GL Tobing di Tanjungmorawa untuk membicarakan rencana Anak Perusahaan (APRS) Unit RS Dr GL Tobing. Ia terkejut dengan pertemuan tersebut karena semua karyawan di Unit RS PTPN II akan dijadikan karyawan swasta murni.
“Kita terkejut masak semua karyawan di RSTD khususnya akan dijadikan karyawan swasta murni. Syaratnya dengan mengundurkan diri dahulu baru disuruh untuk melakukan tes penerimaan karyawan baru untuk anak perusahaan tersebut. Saat ini, status kami karyawan BUMN, kalau kami mendaftar di APRS itu, maka kami jadi karyawan swasta murni. Gaji jelas berbedalah” katanya.
Lanjut Achiro, pemberhentian karyawan atas permintaan sendiri harus memenuhi syarat yakni mengajuhkan permohonan pengunduran diri secara tertulis, melakukan serah terima pekerjaan dan inventaris kepada atasannya dan beberapa persyaratan lainnya yang dibuat khusus oleh pihak PTPN. “Selain persyaratan itu, perhitungan gaji per bulan untuk karyawan yang nantinya akan bekerja di APRS sangat kecil. Misalnya perawat tu hanya Rp1,5 juta,” katanya.
Ditambahkan, pihaknya sudah memberikan alternatif kepada pihak direksi, yakni dengan memberikan penugasan kepada ia dan rekannya ke APRS. “Alternatifnya, PTPN II bisa memberikan perintah penugasan karyawan yang ditunjuk untuk ditugaskan ke anak perusahaan. Kami tetap menjadi karyawan PTPN II dan hal ini sebenarnya, sudah ada di mekanisme dan pelaksanaan pengkaryaan tapi ketika kami ajuhkan, tidak diterima,” katanya.
Menanggapi hal ini, Edi Ikhsan, kordinator gerakan penyelamat RSTD mengatakan tindakan mengubah karyawan RSTD adalah akal-akalan dari pihak direksi. “Kalau di PHK kan harus melalui kesepakatan dari menteri, makanya caranya dengan memerintahkan karyawan untuk mengajuhkan surat pengunduran diri dahulu dan mendaftar menjadi karyawan lagi. Iya kalau diterima atau dijadikan karyawan tetap. Pensiunan merekapun tidak ada lagi,” katanya.
Hal yang sama juga disampaikan oleh Anggota Komisi E DPR Sumut, Brilian Mokhtar. “Manjadikan karyawan menjadi karyawan swasta atau menghilangkan pensiunannya maka ini bisa dikatakan sebagai perencanaan kejahatan tenaga kerja dan ini hukumnya lebih berat. Kecuali bila hak-hak pekerja dipenuhi dan karyawan setuju. Itu gayanya sudah premanisme. Direksi Bakara itu sudah tidak pantas jadi direksi lagi,” ujarnya.
Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) kota Medan, Surya Adinata mengatakan, pihaknya menolak tegas dengan tindakan yang dilakukan oleh karyawan RSTD. “Kalau memang begitu, seharusnya di PHK dan diberikan semua hak-hak karyawannya. Namun itu juga banyak ketentuannya. Karyawan BUMN yang dijadikan karyawan swasta itu tidak terjamin. Kita minta direksi itu dihentikan saja,” katanya.
Lanjutnya, pihaknya akan melaporkan tindakan ini ke KPK. “Kita akan bantu, akan kita laporkan ke KPK tentang ini. Kita harapkan juga ketegasan dari Menteri BUMN. Karena Menterilah yang bisa menentukan semua ini,” katanya.
Sementara itu, Staf Humas PTPN II, Rahmat saat dihubungi tidak mau berkomentar tentang hal ini. Ia menyarankan untuk menanyakan langsung ke Humas PTPN II. “Langsung saja ke Humas, saya tidak mengerti,” katanya. Saat dihubungi ke selulernya, HP Humas PTPN II, Rahmuddin tidak aktif. (*)