MEDAN, SUMUTPOS.CO – Pengamat Politik Sumatera Utara, Arifin Saleh, mengatakan bahwa keputusan MK yang memperbolehkan lembaga pendidikan sebagai tempat kampanye adalah hal yang sah-sah saja.
“Sah-sah saja, tentunya MK punya pertimbangan yang memperbolehkan dengan berbagai ketentuan,” ucap Arifin kepada Sumut Pos, Rabu (30/8/2023).
Akan tetapi, kata Arifin, perlu dipahami bahwa keputusan MK hanya bersifat ‘memperbolehkan’, bukan ‘mewajibkan’. Artinya, pihak pengelola berhak menolak agar sekolah ataupun kampus yang dikelolanya tidak dijadikan sebagai tempat kampanye.
“Namun perlu diketahui bahwa pihak pengelola berhak menolak agar kampus atau sekolah yang dikelolanya tidak dijadikan tempat kampanye. Karena bunyi putusan MK tersebut hanya memperbolehkan, bukan mewajibkan,” ujarnya.
Arifin pun mengatakan bahwa penolakan pihak sekolah ataupun kampus harus bisa diterima oleh pihak yang ingin berkampanye.
“Sebab berkampanye di kampus atau sekolah adalah bagian demokrasi. Namun, menolak kampanye di lokasi sekolah ataupun kampus juga bagian dari demokrasi,” katanya.
Lantas, adakah nilai plus dari putusan MK tersebut? Arifin mengatakan bahwa putusan MK tersebut tentunya membuat panggung para kandidat caleg menjadi lebih luas. Namun, setiap kandidat caleg juga harus memperhatikan apa yang menjadi urgensi sehingga kegiatan kampanye harus dilakukan di satuan pendidikan.
“Misalnya kalau di kampus, karena pasti mahasiswa sudah berusia 17 tahun ke atas. Begitu juga dengan tingkat SMA, mungkin targetnya untuk pemilih pemula. Namun untuk tingkat SMP ke bawah, saya fikir tidak perlu lah, tidak urgensinya meskipun diperbolehkan sesuai putusan MK,” pungkasnya.
Seperti diketahui, Mahkamah Konstitusi memperbolehkan peserta pemilu berkampanye di fasilitas pemerintah dan pendidikan (sekolah dan kampus) sepanjang tidak menggunakan atribut kampanye. Hal itu merupakan bunyi Putusan MK Nomor 65/PUU-XXI/2023 yang dibacakan pada Selasa (15/8/2023).
Putusan tersebut bermula dari permohonan uji materi yang diajukan dua warga negara, Handrey Mantiri dan Ong Yenni, karena menilai ada inkonsistensi norma terkait larangan kampanye dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.
Pasal 280 ayat 1 huruf h melarang kampanye di tempat ibadah, tempat pendidikan, dan fasilitas pemerintah. Sedangkan, dalam bagian Penjelasan beleid itu terdapat kelonggaran terkait larangan tersebut.
“Fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan dapat digunakan jika peserta pemilu hadir tanpa atribut kampanye pemilu atas undangan dari pihak penanggung jawab fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan,” demikian bunyi bagian Penjelasan itu.
MK dalam amar putusannya menyatakan, bagian Penjelasan itu tidak berkekuatan hukum mengikat karena menciptakan ambiguitas. Kendati demikian, MK memasukkan bunyi bagian Penjelasan itu ke dalam norma pokok Pasal 280 ayat 1 huruf h, kecuali frasa ‘tempat ibadah’. (map/ram)