26 C
Medan
Sunday, June 30, 2024

Jatah Cuti Dipotong, Jam Kerja Ditambah

Cerita TKI asal Sumut setelah Ada Iklan Diskon di Malaysia

Tidak dipungkiri kalau Sumatera Utara merupakan satu dari beberapa daerah di Indonesia yang mengirimkan warganya menjadi Tenaga Kerja Indonesia  (TKI) di Malaysia. Seperti apa kisah mereka saat di Malaysia dan bagaimana sikap mereka setelah merebak iklan diskon pembantu rumah tangga asal Indonesia?

TKW: Sri Rezeki Agustina bersama satu orang anaknya.  ditemui  Jalan KL Yos Sudarso Kota Tebingtinggi,Senin (29/10).//sopian/sumut pos
TKW: Sri Rezeki Agustina bersama satu orang anaknya.
ditemui di Jalan KL Yos Sudarso Kota Tebingtinggi,Senin (29/10).//sopian/sumut pos

Sri Rezeki Agustina (27) memang bukan pekerja seperti iklan penjualan pembantu rumah tangga (PRT) yang meresahkan itu. Warga Jalan Komodor Laut Yos Sudarso Kelurahann
Rantaulaban Kecamatan Rambutan Kota Tebingtinggi ini bekerja di PT Darcem Dippo Perak Malaysia. Ya, dia memang bukan PRT. Namun, kisahnya tak kalah tragis dengan para PRT asal Indonesia di Malaysia.
Buktinya, meski kerja di pabrik – kilang, menurut istilah di Malaysia – pembuatan chip komputer, gaji yang dia terima cukup minim. Dalam sebulan tenaga dan pikirannya hanya dibayar 180 Ringgit atau sekitar Rp540 ribu.
“Sebelumnya pihak perusahaan jawatan di Malaysia bersama agensi yang di Medan, PT Miras, berjanji memberikan upah minimal Rp800 ribu per bulan. Selain itu ditambah dengan uang otti (lembur) hingga kalau ditotal mencapai Rp1,3 juta per bulan. Tapi apa, ternyata lembur dan gaji yang ditawarkan tidak cocok dengan janji semula,” jelas ibu satu anak ini di rumahnya kepada Sumut Pos, Senin (29/10).

Tidak hanya soal pendapatan, Agustina pun tidak tahan dengan ocehan sang mandor dan majikan perusahaan yang menganggap orang Indonesia bodoh dan malas. Alasan itu membuat dia bersama temannya kabur dari kilang tersebut.
“Enggak tahan Pak dengan ocehan mandor itu. Dibilangnya orang Indonesia bodoh dan cocok menjadi budak pekerja. Itulah yang membuat kami kabur, ditambah gaji yang kami terima per bulan sebesar Rp540 ribu tidak cukup setelah dipotong utang-utang saat akan berangkat ke Malaysia,” ujarnya.

Bekerja di kilang dirasakan Agustina selama enam bulan. Dalam pelariannya, dia sempat ditampung orang Indonesia yang sudah menetap di Malaysia, tepatnya di Kuala Lumpur. Saat itu dia sama sekali tidak memiliki uang untuk biaya kembali ke Indonesia. Beruntung dia mendapat pekerjaan sebagai penjaga game (warnet).

“Selama empat bulan itulah saya mengumpuli uang untuk pulang kampung. Saya pulang lewat Batam dan naik kapal laut menuju Tanjungbalai dan baru sampai ke Tebingtinggi. Itu, kira-kira sesudah lebaran lalu yaitu di bulan Agustus 2012,” beber Agustina.

Selama di Malaysia, tepatnya setelah melarikan diri dari kilang, Agustina mengaku selalu bermain kucing-kucingan dengan Polisi Diraja Malaysia. “Kalau mengingat kejadian itu sangat menakutkan, kita hidup tidak tenang selalu dalam ketakutan,” bilang Agustina.

Lalu, apa tanggapan Agustina soal iklan berdiskon tersebut? “Tidak mau kembali ke Malaysia,” tegasnya tanpa menjawab pertanyaan tadi.

Keberangkatan Agustina ke Malaysia adalah buah ajakan dari seorang temannya yang berada di Kota Medan. “PT Miras di Medan yang memberangkatkan kami. Memang tanpa biaya dengan perjanjian honor dipotong setelah bekerja. Sekitar November 2011 saya berangkat ke Medan, dijemput di Simpang Limun menggunakan mobil. Tempat dan nama jalan PT Miras itu enggak tahu. Saya takut Pak karena ijazah SMEA yang asli masih ditahan mereka,” ungkap Agustina.

Begitu juga yang diungkapkan Riza, seorang TKI asal Langkat. Dengan nada satire dia berkomentar soal iklan tersebut. “Aduh mak, hebat kali sampai seperti itu. Ada iklannya pakai diskon segala lagi,” kata Riza yang pernah 3 tahun bekerja di Penang, Malaysia.

Selama di Penang, Riza bekerja di sebuah rumah makan. “Kerdil kali sudah martabat TKI yang bekerja di negeri itu. Memang, tak jarang tenaga kerja dirugikan,” tambahnya. Kerugian yang dimaksud Riza cukup beragam, seperti jadwal kerja hingga izin tinggal dengan ancaman denda. Sejatinya, sebut Riza, sesuai kontrak pekerja memperoleh cuti atau libur bekerja empat hari. Tapi, kenyataannya hanya diperbolehkan dua hari saja. Tidak hanya itu, jam kerja semestinya delapan jam dijadikan 14 jam oleh majikan.

Kondisi itu semakin diperparah dengan pelanggaran kebijakan, sebut dia, sebab durasi bekerja sesuai izin didapati hanya dua tahun. Namun, tidak dibenarkan pulang ke Indonesia dan diharuskan tambah setahun lagi jika tidak ingin didenda Rp5 juta.

“Memang ada pemutihan kalau izin habis, namun kalau sudah seperti itu maka kita akan cepat melaporkan ke imigrasi untuk segera diatasi. Hal serupa juga terjadi dengan istri saya yang menjadi pembantu rumah tangga, untung cepat saya laporkan ke imigrasi makanya bisa pulang,” kisah Riza yang mengaku ke Malaysia pada 2007 dan kembali ke tanah air pada 2010.

Terlepas dari itu, soal diskon pekerja Indonesia di Malaysia langsung ditanggapi Kasi Kelembagaan dan Pemasyarakatan Program BP3TKI (Badan Pelayanan Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonsia) Medan Siti Rolijah. Katanya, keberadaan iklan tersebut patut dipertanyakan. “Masalah iklan diskon itu dipastikan tidak ada karena mengacu kepada sistem kontrak yang sudah dibuat, dari situlah ada kesepakatan terhadap TKI dan pengguna TKI. Dan, setiap TKI wajib ada kontrak kerjanya,” ucapnya di kantor BP3TKI dijalan Pendidikan no 357 Marendal I, Medan, Senin (29/10).
Sambungnya, tentang adanya diskon tersebut, diduga ada pihak yang bermain di Malaysia. Misalnya dari pihak agensi, majikan, oknum Pemerintahan, dan bisa jadi dari pekerja yang berani ke Malaysia secara ilegal.
“Karena pada 2009 untuk menjadi PRT tidak dilayani lagi, kecuali PRT itu sudah 3 hingga 4 tahun di sana,” katanya.
Di sisi lain, anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Sumatera Utara (Sumut), langsung memberi kecaman pada pihak yang nakal di Malaysia., terutama soal iklan diskon tadi. “Diskon yang murah tentu saja sangat melecehkan dan merendahkan, tidak hanya martabat bangsa Indonesia tapi juga martabat kemanusiaan. Karena sudah menganggap TKI sebagai budak yang diperjualbelikan,” tegas anggota Komisi E DPRD Sumut, Andi Arba.
“Bila perlu menarik TKI yang saat ini tengah di Malaysia!” tambahnya.
Richard Eddy M Lingga tidak ketinggalan. “Untuk kasus ini tentu saja jalan diplomasi tetap harus dilakukan. Tapi bukan diplomasi seperti yang sudah-sudah. Ini harus lebih keras,” tegasnya politisi dari Partai Golongan Karya (Golkar) Sumut ini. (mag-3/mag-4/mag-19/ari)

Keterangan Fhoto :
TKW : Sri Rezeki Agustina bersama satu orang anaknya ditemui di Jalan KL Yos Sudarso Kota Tebingtinggi,Senin (29/10).

Cerita TKI asal Sumut setelah Ada Iklan Diskon di Malaysia

Tidak dipungkiri kalau Sumatera Utara merupakan satu dari beberapa daerah di Indonesia yang mengirimkan warganya menjadi Tenaga Kerja Indonesia  (TKI) di Malaysia. Seperti apa kisah mereka saat di Malaysia dan bagaimana sikap mereka setelah merebak iklan diskon pembantu rumah tangga asal Indonesia?

TKW: Sri Rezeki Agustina bersama satu orang anaknya.  ditemui  Jalan KL Yos Sudarso Kota Tebingtinggi,Senin (29/10).//sopian/sumut pos
TKW: Sri Rezeki Agustina bersama satu orang anaknya.
ditemui di Jalan KL Yos Sudarso Kota Tebingtinggi,Senin (29/10).//sopian/sumut pos

Sri Rezeki Agustina (27) memang bukan pekerja seperti iklan penjualan pembantu rumah tangga (PRT) yang meresahkan itu. Warga Jalan Komodor Laut Yos Sudarso Kelurahann
Rantaulaban Kecamatan Rambutan Kota Tebingtinggi ini bekerja di PT Darcem Dippo Perak Malaysia. Ya, dia memang bukan PRT. Namun, kisahnya tak kalah tragis dengan para PRT asal Indonesia di Malaysia.
Buktinya, meski kerja di pabrik – kilang, menurut istilah di Malaysia – pembuatan chip komputer, gaji yang dia terima cukup minim. Dalam sebulan tenaga dan pikirannya hanya dibayar 180 Ringgit atau sekitar Rp540 ribu.
“Sebelumnya pihak perusahaan jawatan di Malaysia bersama agensi yang di Medan, PT Miras, berjanji memberikan upah minimal Rp800 ribu per bulan. Selain itu ditambah dengan uang otti (lembur) hingga kalau ditotal mencapai Rp1,3 juta per bulan. Tapi apa, ternyata lembur dan gaji yang ditawarkan tidak cocok dengan janji semula,” jelas ibu satu anak ini di rumahnya kepada Sumut Pos, Senin (29/10).

Tidak hanya soal pendapatan, Agustina pun tidak tahan dengan ocehan sang mandor dan majikan perusahaan yang menganggap orang Indonesia bodoh dan malas. Alasan itu membuat dia bersama temannya kabur dari kilang tersebut.
“Enggak tahan Pak dengan ocehan mandor itu. Dibilangnya orang Indonesia bodoh dan cocok menjadi budak pekerja. Itulah yang membuat kami kabur, ditambah gaji yang kami terima per bulan sebesar Rp540 ribu tidak cukup setelah dipotong utang-utang saat akan berangkat ke Malaysia,” ujarnya.

Bekerja di kilang dirasakan Agustina selama enam bulan. Dalam pelariannya, dia sempat ditampung orang Indonesia yang sudah menetap di Malaysia, tepatnya di Kuala Lumpur. Saat itu dia sama sekali tidak memiliki uang untuk biaya kembali ke Indonesia. Beruntung dia mendapat pekerjaan sebagai penjaga game (warnet).

“Selama empat bulan itulah saya mengumpuli uang untuk pulang kampung. Saya pulang lewat Batam dan naik kapal laut menuju Tanjungbalai dan baru sampai ke Tebingtinggi. Itu, kira-kira sesudah lebaran lalu yaitu di bulan Agustus 2012,” beber Agustina.

Selama di Malaysia, tepatnya setelah melarikan diri dari kilang, Agustina mengaku selalu bermain kucing-kucingan dengan Polisi Diraja Malaysia. “Kalau mengingat kejadian itu sangat menakutkan, kita hidup tidak tenang selalu dalam ketakutan,” bilang Agustina.

Lalu, apa tanggapan Agustina soal iklan berdiskon tersebut? “Tidak mau kembali ke Malaysia,” tegasnya tanpa menjawab pertanyaan tadi.

Keberangkatan Agustina ke Malaysia adalah buah ajakan dari seorang temannya yang berada di Kota Medan. “PT Miras di Medan yang memberangkatkan kami. Memang tanpa biaya dengan perjanjian honor dipotong setelah bekerja. Sekitar November 2011 saya berangkat ke Medan, dijemput di Simpang Limun menggunakan mobil. Tempat dan nama jalan PT Miras itu enggak tahu. Saya takut Pak karena ijazah SMEA yang asli masih ditahan mereka,” ungkap Agustina.

Begitu juga yang diungkapkan Riza, seorang TKI asal Langkat. Dengan nada satire dia berkomentar soal iklan tersebut. “Aduh mak, hebat kali sampai seperti itu. Ada iklannya pakai diskon segala lagi,” kata Riza yang pernah 3 tahun bekerja di Penang, Malaysia.

Selama di Penang, Riza bekerja di sebuah rumah makan. “Kerdil kali sudah martabat TKI yang bekerja di negeri itu. Memang, tak jarang tenaga kerja dirugikan,” tambahnya. Kerugian yang dimaksud Riza cukup beragam, seperti jadwal kerja hingga izin tinggal dengan ancaman denda. Sejatinya, sebut Riza, sesuai kontrak pekerja memperoleh cuti atau libur bekerja empat hari. Tapi, kenyataannya hanya diperbolehkan dua hari saja. Tidak hanya itu, jam kerja semestinya delapan jam dijadikan 14 jam oleh majikan.

Kondisi itu semakin diperparah dengan pelanggaran kebijakan, sebut dia, sebab durasi bekerja sesuai izin didapati hanya dua tahun. Namun, tidak dibenarkan pulang ke Indonesia dan diharuskan tambah setahun lagi jika tidak ingin didenda Rp5 juta.

“Memang ada pemutihan kalau izin habis, namun kalau sudah seperti itu maka kita akan cepat melaporkan ke imigrasi untuk segera diatasi. Hal serupa juga terjadi dengan istri saya yang menjadi pembantu rumah tangga, untung cepat saya laporkan ke imigrasi makanya bisa pulang,” kisah Riza yang mengaku ke Malaysia pada 2007 dan kembali ke tanah air pada 2010.

Terlepas dari itu, soal diskon pekerja Indonesia di Malaysia langsung ditanggapi Kasi Kelembagaan dan Pemasyarakatan Program BP3TKI (Badan Pelayanan Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonsia) Medan Siti Rolijah. Katanya, keberadaan iklan tersebut patut dipertanyakan. “Masalah iklan diskon itu dipastikan tidak ada karena mengacu kepada sistem kontrak yang sudah dibuat, dari situlah ada kesepakatan terhadap TKI dan pengguna TKI. Dan, setiap TKI wajib ada kontrak kerjanya,” ucapnya di kantor BP3TKI dijalan Pendidikan no 357 Marendal I, Medan, Senin (29/10).
Sambungnya, tentang adanya diskon tersebut, diduga ada pihak yang bermain di Malaysia. Misalnya dari pihak agensi, majikan, oknum Pemerintahan, dan bisa jadi dari pekerja yang berani ke Malaysia secara ilegal.
“Karena pada 2009 untuk menjadi PRT tidak dilayani lagi, kecuali PRT itu sudah 3 hingga 4 tahun di sana,” katanya.
Di sisi lain, anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Sumatera Utara (Sumut), langsung memberi kecaman pada pihak yang nakal di Malaysia., terutama soal iklan diskon tadi. “Diskon yang murah tentu saja sangat melecehkan dan merendahkan, tidak hanya martabat bangsa Indonesia tapi juga martabat kemanusiaan. Karena sudah menganggap TKI sebagai budak yang diperjualbelikan,” tegas anggota Komisi E DPRD Sumut, Andi Arba.
“Bila perlu menarik TKI yang saat ini tengah di Malaysia!” tambahnya.
Richard Eddy M Lingga tidak ketinggalan. “Untuk kasus ini tentu saja jalan diplomasi tetap harus dilakukan. Tapi bukan diplomasi seperti yang sudah-sudah. Ini harus lebih keras,” tegasnya politisi dari Partai Golongan Karya (Golkar) Sumut ini. (mag-3/mag-4/mag-19/ari)

Keterangan Fhoto :
TKW : Sri Rezeki Agustina bersama satu orang anaknya ditemui di Jalan KL Yos Sudarso Kota Tebingtinggi,Senin (29/10).

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/