28.9 C
Medan
Tuesday, May 7, 2024

Dugaan Penipuan Pinjaman Kredit BTN: Canaknya Akui Beli Sertifikat dari Mujianto

MEDAN, SUMUTPOS.CO – Pengusaha properti Kota Medan, Mujianto, disebut-sebut dalam sidang dugaan penipuan dan penggelapan sebanyak 93 Serifikat Hak Guna Bangunan (SHGB) di Bank Tabungan Negara (BTN) Cabang Medan. Terdakwa Canakya Suman, mengaku membeli sertifikat tersebut dari Mujianto, dan mengagunkannya ke BTN, demi pinjaman Rp39,5 miliar.

KETERANGAN: Canakya Suman, terdakwa dugaan penipuan dan penggelapan, saat memberikan keterangan secara virtual, Jumat (28/11).AGUSMAN/SUMUT POS.
KETERANGAN: Canakya Suman, terdakwa dugaan penipuan dan penggelapan, saat memberikan keterangan secara virtual, Jumat (28/11).AGUSMAN/SUMUT POS.

“Saya melakukan pinjaman kredit konstruksi untuk membangun perumahan di Komplek Graha Helvetia. Nilai pinjamannya Rp39,5 miliar dengan jaminan 93 sertifikat yang saya beli dari Mujianto,” ungkap Canakya di hadapan Hakim Ketua Tengku Oyong di Ruang Cakra 7 Pengadilan Negeri (PN) Medan, Jumat (27/11) lalu.

Canakya yang juga Direktur PT Krisna Agung Yuda Abadi (KAYA) ini, pun mengaku, sudah melunasi 48 dari 93 SHGB ke pihak BTN. Hanya saja, cara pengambilan SHGB yang sudah dilunasi tersebut, melalui Notaris Elvira dan staf notaris, bernama Sulianto alias Pak Lek, atas arahan pihak BTN.

“Sertifikat belum balik nama dan masih nama Mujianto. Ada 48 sertifikat yang sudah saya tebus ke pihak BTN. Caranya saya depositkan uang saya ke ATM dan secara auto cebit,” tuturnya lagi.

Dia juga menyebutkan, untuk menebus satu sertifikat, terdakwa harus mengeluarkan uang Rp515 juta.

“BTN tidak ada mengeluarkan sepucuk surat pun, dan hanya mengarahkan ke notaris untuk pengambilan SHGB yang sebelumnya jadi agunan,” beber Canakya.

Canakya pun mengaku, pada 2014, awal proses peminjaman uang tersebut, kondisi kredit tidak ada masalah. Hanya saja, pada akhir 2017 menuju awal 2018, pembayaran kredit ada kendala. Terkait pengambilan 48 SHGB yang telah dilunasi, terdakwa mengatakan, setelah mendapat arahan dari pihak BTN, lalu dia menemui Notaris Elvira. Dan setelah itu dia diarahkan untuk berurusan dengan Sulianto.

“Ada beberapa kali kami bertemu di Cambrige. Dan setiap pertemuan saya kasih Pak Lek (Sulianto) Rp100 ribu,” tuturnya.

Usai mendengarkan keterangan terdakwa, majelis hakim mengagendakan sidang lanjutan, dengan agenda pembacaan surat tuntutan dari Jaksa Penuntut Umum (JPU) Nelson Victor dari Kejati Sumut, pada 1 Desember 2020 mendatang.

Perkara itu mendapat sorotan khusus dari Bidang Pidsus Kejati Sumut. Setelah mengamati perkara tersebut di pengadilan, Kejati Sumut membentuk tim pemeriksa, guna pengusutan adanya indikasi dugaan korupsi atas proses pengucuran kredit tersebut. Bahkan, Tim Pidsus yang telah dibentuk itu, juga sudah melakukan pemanggilan terhadap petinggi bank pelat merah tersebut.

Sementara itu, mengutip dakwaan JPU, Nelson mengatakan, kasus bermula pada 2014, terdakwa Canakya sebagai Direktur PT KAYA, mengajukan kredit pinjaman kepada BTN, dengan nilai Rp39,5 miliar, jaminannya 93 SHGB atas nama PT Agung Cemara Realty. Saat itu, saksi Mujianto memberikan kuasa kepada terdakwa Canakya di Kantor Notaris Elvira, untuk menjual 93 SHGB, dan berdasarkan hal tersebut, terdakwa mendapat pinjaman kredit sebesar Rp39,5 miliar dari BTN.

Lebih lanjut Nelson mengatakan, di hadapan saksi Notaris Elvira, terdakwa memberikan kuasa kepada saksi Ferry Sonefille Abdullah, selaku Kepala Kantor BTN Cabang Medan, untuk menjual ke-93 SHGB yang dijadikan sebagai jaminan kredit sebelumnya.

Kemudian, pihak BTN melakukan kesepakatan yang dituangkan dalam Perjanjian Kerja Sama Nomor: 00640/Mdn.I/A/III/2011 tentang Pelayanan Jasa Notaris dan PPAT dalam Pelaksanaan Pemberian Kredit oleh Bank Negara. Pada awalnya, perjanjian tersebut berjalan lancar, sebanyak 58 SHGB telah dilakukan pembuatan Akta Pembebanan Hak Tanggungan (APHT).

Namun, terhadap 35 SHGB yang belum dilakukan APHT, terdakwa Canakya menghubungi saksi Sulianto, untuk meminta ke-35 SHGB yang sebelumnya lebih dulu memberitahukan kepada saksi Notaris Elvira.

Setelah 35 sertifikat tersebut berada pada saksi Sulianto, dia langsung menghubungi terdakwa Canakya untuk janji bertemu di Cambridge Hotel, dan menyerahkan sertifikat kepada terdakwa Canakya. Dan terdakwa Canakya memberikan uang kepada saksi Sulianto secara bervariasi, serta seterusnya perbuatan tersebut dilakukan oleh terdakwa Canakya, hingga akhirnya ke-35 sertifikat tersebut berada di tangan terdakwa Canakya.

Pada Juni 2016 sampai dengan Maret 2019, terdakwa Canakya mengalihkan dan atau menjual ke-35 sertifikat tersebut kepada orang lain tanpa seizin dari pihak BTN. Akibat perbuatan terdakwa Canakya, BTN mengalami kerugian berupa hilangnya 35 SHGB yang bernilai kurang lebih sebesar Rp14.775.000.000. (man/saz)

MEDAN, SUMUTPOS.CO – Pengusaha properti Kota Medan, Mujianto, disebut-sebut dalam sidang dugaan penipuan dan penggelapan sebanyak 93 Serifikat Hak Guna Bangunan (SHGB) di Bank Tabungan Negara (BTN) Cabang Medan. Terdakwa Canakya Suman, mengaku membeli sertifikat tersebut dari Mujianto, dan mengagunkannya ke BTN, demi pinjaman Rp39,5 miliar.

KETERANGAN: Canakya Suman, terdakwa dugaan penipuan dan penggelapan, saat memberikan keterangan secara virtual, Jumat (28/11).AGUSMAN/SUMUT POS.
KETERANGAN: Canakya Suman, terdakwa dugaan penipuan dan penggelapan, saat memberikan keterangan secara virtual, Jumat (28/11).AGUSMAN/SUMUT POS.

“Saya melakukan pinjaman kredit konstruksi untuk membangun perumahan di Komplek Graha Helvetia. Nilai pinjamannya Rp39,5 miliar dengan jaminan 93 sertifikat yang saya beli dari Mujianto,” ungkap Canakya di hadapan Hakim Ketua Tengku Oyong di Ruang Cakra 7 Pengadilan Negeri (PN) Medan, Jumat (27/11) lalu.

Canakya yang juga Direktur PT Krisna Agung Yuda Abadi (KAYA) ini, pun mengaku, sudah melunasi 48 dari 93 SHGB ke pihak BTN. Hanya saja, cara pengambilan SHGB yang sudah dilunasi tersebut, melalui Notaris Elvira dan staf notaris, bernama Sulianto alias Pak Lek, atas arahan pihak BTN.

“Sertifikat belum balik nama dan masih nama Mujianto. Ada 48 sertifikat yang sudah saya tebus ke pihak BTN. Caranya saya depositkan uang saya ke ATM dan secara auto cebit,” tuturnya lagi.

Dia juga menyebutkan, untuk menebus satu sertifikat, terdakwa harus mengeluarkan uang Rp515 juta.

“BTN tidak ada mengeluarkan sepucuk surat pun, dan hanya mengarahkan ke notaris untuk pengambilan SHGB yang sebelumnya jadi agunan,” beber Canakya.

Canakya pun mengaku, pada 2014, awal proses peminjaman uang tersebut, kondisi kredit tidak ada masalah. Hanya saja, pada akhir 2017 menuju awal 2018, pembayaran kredit ada kendala. Terkait pengambilan 48 SHGB yang telah dilunasi, terdakwa mengatakan, setelah mendapat arahan dari pihak BTN, lalu dia menemui Notaris Elvira. Dan setelah itu dia diarahkan untuk berurusan dengan Sulianto.

“Ada beberapa kali kami bertemu di Cambrige. Dan setiap pertemuan saya kasih Pak Lek (Sulianto) Rp100 ribu,” tuturnya.

Usai mendengarkan keterangan terdakwa, majelis hakim mengagendakan sidang lanjutan, dengan agenda pembacaan surat tuntutan dari Jaksa Penuntut Umum (JPU) Nelson Victor dari Kejati Sumut, pada 1 Desember 2020 mendatang.

Perkara itu mendapat sorotan khusus dari Bidang Pidsus Kejati Sumut. Setelah mengamati perkara tersebut di pengadilan, Kejati Sumut membentuk tim pemeriksa, guna pengusutan adanya indikasi dugaan korupsi atas proses pengucuran kredit tersebut. Bahkan, Tim Pidsus yang telah dibentuk itu, juga sudah melakukan pemanggilan terhadap petinggi bank pelat merah tersebut.

Sementara itu, mengutip dakwaan JPU, Nelson mengatakan, kasus bermula pada 2014, terdakwa Canakya sebagai Direktur PT KAYA, mengajukan kredit pinjaman kepada BTN, dengan nilai Rp39,5 miliar, jaminannya 93 SHGB atas nama PT Agung Cemara Realty. Saat itu, saksi Mujianto memberikan kuasa kepada terdakwa Canakya di Kantor Notaris Elvira, untuk menjual 93 SHGB, dan berdasarkan hal tersebut, terdakwa mendapat pinjaman kredit sebesar Rp39,5 miliar dari BTN.

Lebih lanjut Nelson mengatakan, di hadapan saksi Notaris Elvira, terdakwa memberikan kuasa kepada saksi Ferry Sonefille Abdullah, selaku Kepala Kantor BTN Cabang Medan, untuk menjual ke-93 SHGB yang dijadikan sebagai jaminan kredit sebelumnya.

Kemudian, pihak BTN melakukan kesepakatan yang dituangkan dalam Perjanjian Kerja Sama Nomor: 00640/Mdn.I/A/III/2011 tentang Pelayanan Jasa Notaris dan PPAT dalam Pelaksanaan Pemberian Kredit oleh Bank Negara. Pada awalnya, perjanjian tersebut berjalan lancar, sebanyak 58 SHGB telah dilakukan pembuatan Akta Pembebanan Hak Tanggungan (APHT).

Namun, terhadap 35 SHGB yang belum dilakukan APHT, terdakwa Canakya menghubungi saksi Sulianto, untuk meminta ke-35 SHGB yang sebelumnya lebih dulu memberitahukan kepada saksi Notaris Elvira.

Setelah 35 sertifikat tersebut berada pada saksi Sulianto, dia langsung menghubungi terdakwa Canakya untuk janji bertemu di Cambridge Hotel, dan menyerahkan sertifikat kepada terdakwa Canakya. Dan terdakwa Canakya memberikan uang kepada saksi Sulianto secara bervariasi, serta seterusnya perbuatan tersebut dilakukan oleh terdakwa Canakya, hingga akhirnya ke-35 sertifikat tersebut berada di tangan terdakwa Canakya.

Pada Juni 2016 sampai dengan Maret 2019, terdakwa Canakya mengalihkan dan atau menjual ke-35 sertifikat tersebut kepada orang lain tanpa seizin dari pihak BTN. Akibat perbuatan terdakwa Canakya, BTN mengalami kerugian berupa hilangnya 35 SHGB yang bernilai kurang lebih sebesar Rp14.775.000.000. (man/saz)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/